Kamis, 04 Agustus 2022
Warta Ekonomi, Jakarta – Tepat setelah kedatangan Ketua DPR Amerika Serikat Nancy Pelosi pada Selasa (2/8/2022), kantor berita pemerintah China Xinhua merilis pengumuman bahwa Beijing melakukan manuver militer.
Tentara Pembebasan Rakyat (PLA) segara menyelenggarakan operasi pelatihan militer yang penting dan latihan peluru tajam yang berlangsung di enam lokasi maritim di sekitar Taiwan antara Kamis (4/8/2022) dan Minggu pekan ini.
Kementerian Luar Negeri China menambahkan dari perjalanan Pelosi bahwa “China dengan tegas menentang dan mengutuk keras ini, dan telah membuat demarche serius dan protes keras ke AS.” Demarche adalah pengaduan melalui saluran diplomatik.
Pada saat yang sama, otoritas maritim China mengumumkan latihan militer tambahan di Laut China Selatan (LCS) dan latihan tembakan langsung di Laut Bohai, dekat Semenanjung Korea.
Reuters, mengutip sumber yang tidak disebutkan namanya, melaporkan bahwa jet tempur China pada hari Selasa terbang dekat dengan garis tengah Selat Taiwan, perbatasan militer tidak resmi.
Maskapai China Xiamen Airlines mengumumkan gangguan pada setidaknya 30 penerbangan karena pembatasan lalu lintas udara di Fujian, provinsi China tepat di seberang selat dari Taiwan.
Melihat ketegangan tersebut, pakar kebijakan publik Achmad Nur Hidayat menilai Presiden Joko Widodo (Jokowi) perlu menengahi persoalan itu karena bila terjadi gesekan militer di Taiwan tentu penyelenggaraan KTT G20 di Bali tidak akan sukses.
“Presiden Jokowi perlu melakukan kontak langsung baik dengan pihak China maupun dengan AS agar gesekan militer tidak terjadi,” kata Achmad.
Dampak Ekonomi Bila Pecah Perang China-Taiwan
Bila terjadi gesekan militer secara fisik maka bisa dipastikan akan menambah berat ekonomi dunia. Kerugian dunia tidak hanya jiwa namun juga ekonomi, sosial dan budaya.
Korban jiwa pasti akan terjadi di kedua belah pihak. Namun yang pasti rugi besar adalah rakyat Taiwan itu sendiri.
Satu hal yang pasti terjadi, kontribusi ekspor semikonduktor Taiwan akan terhenti.
Taiwan menguasai 48 persen suplai semi konduktor dunia dan menguasai 61 persen manufaktur sektor peralatan dunia world’s equipment. Chips Prosessor dari Apple, Intel sampai Tesla tergantung pada Taiwan.
Jika ekspor semi konduktor tersebut berhenti, peralatan teknologi yang diproduksi Apple, Intel sampai Tesla akan menjadi hilang.
Rute perdagangan laut pun akan terganggu di perairan Taiwan dan perairan Laut China Selatan akan berhenti dan itu menghentikan 78% perdagangan laut dunia.
Bisa dibayangkan bila perdagangan laut terhenti, harga-harga impor pasti akan naik dan dunia dalam hitungan bulan akan mengalami hyperinflasi dimana-mana.
Oleh karena itu, peran Indonesia sangat dibutuhkan untuk terlibat mendamaikan para pihak.
Kementerian Luar Negeri harusnya segera menyatakan sikapnya agar pihak AS dan pihak China tidak saling provokasi. Masalahnya adalah Presiden Jokowi baru saja ketemu Presiden XI Jinping. Bila tidak hati-hati pernyataan Indonesia akan dinilai berat sebelah ke China.
Penulis: Achmad Nur Hidayat, Pakar Kebijakan Publik
Sumber: wartaekonomi.co.id