PR KUNINGAN (KOLOM PAKAR) — Pemerintah Indonesia berencana memulai sosialisasi penyaluran BBM bersubsidi yang lebih tepat sasaran dengan mengadopsi standar Euro 4 pada 1 September 2024. Langkah ini bertujuan untuk meningkatkan kualitas udara dan memastikan subsidi BBM diterima oleh yang benar-benar membutuhkan.

Besarnya subsidi BBM yang terus membesar, dengan alokasi anggaran mencapai Rp189,1 triliun pada 2024, mencerminkan upaya pemerintah untuk menyeimbangkan kebutuhan ekonomi dan lingkungan. Namun, kebijakan ini menghadapi berbagai tantangan, termasuk potensi praktik rente dan ketidaksesuaian teknologi mesin kendaraan di Indonesia.

Subsidi BBM dan LPG pada 2024 menunjukkan peningkatan yang signifikan dari 2023. Total alokasi subsidi naik dari Rp164,29 triliun menjadi Rp189,10 triliun. Kenaikan ini sebesar 15,1% diantaranya ditujukan untuk mengadopsi standar Euro 4 dalam rangka mengurangi polusi udara.

Kritik Terhadap Kebijakan Produk BBM Euro 4

Kebijakan BBM Euro 4 bukannya tanpa kritik, pengunaan BBM Euro 4 di Indonesia berpotensi merusak kinerja mesin berkompresi rendah, memperbesar subsidi serta memperluas benturan kepentingan dan praktik memburu rente.

Ketidaksesuaian dengan Mesin Kendaraan Mayoritas kendaraan di Indonesia masih menggunakan mesin dengan teknologi injeksi bahan bakar dan kompresi rendah. Bahan bakar dengan RON tinggi seperti standar Euro 4 memerlukan tekanan dan suhu pembakaran yang lebih tinggi untuk terbakar dengan sempurna. Pada mesin berkompresi rendah, ini dapat menyebabkan pembakaran yang tidak sempurna, menghasilkan emisi berbahaya yang lebih tinggi seperti karbon monoksida dan hidrokarbon yang tidak terbakar sepenuhnya. Alih-alih memperbaiki kualitas udara, hal ini dapat memperburuk polusi udara.

Ketidaktepatan Sasaran Subsidi Subsidi BBM selama ini sering kali tidak tepat sasaran, lebih banyak dinikmati oleh kalangan mampu yang memiliki kendaraan pribadi dibandingkan dengan masyarakat miskin yang lebih membutuhkan. Pengalaman sebelumnya menunjukkan bahwa penyalahgunaan dan penyelewengan subsidi BBM masih sering terjadi. Tanpa pengawasan yang ketat, risiko ketidaktepatan sasaran subsidi akan terus ada.

1. Konsumsi Bensin (Pertalite, Pertamax, Pertamax Turbo)

Pertalite adalah jenis bahan bakar yang paling banyak dikonsumsi di Indonesia, dengan total konsumsi sebesar 23 juta KL, mencapai biaya Rp 230 triliun. Hal ini menunjukkan ketergantungan masyarakat terhadap bahan bakar dengan RON 90 yang disubsidi. Pertamax dan Pertamax Turbo memiliki konsumsi yang lebih rendah, dengan total biaya masing-masing Rp 74,01 triliun dan Rp 6,92 triliun. Ini mencerminkan preferensi pengguna kendaraan yang mencari bahan bakar berkualitas lebih tinggi dan siap membayar lebih mahal untuk performa mesin yang lebih baik.

2. Konsumsi Solar

Konsumsi solar diperkirakan mencapai 15 juta KL dengan biaya sekitar Rp 225 triliun. Solar banyak digunakan di sektor transportasi berat, industri, dan pembangkit listrik. Dominasi penggunaan solar mengindikasikan ketergantungan sektor-sektor tersebut pada bahan bakar ini.

3. Konsumsi LPG

LPG 3 kg dan LPG 12 kg menunjukkan konsumsi yang signifikan, dengan total biaya masing-masing Rp 90 triliun dan Rp 60 triliun. LPG 3 kg, yang lebih banyak digunakan oleh rumah tangga berpendapatan rendah, menunjukkan pentingnya subsidi untuk jenis bahan bakar ini guna menjaga daya beli masyarakat.

4. Konsumsi Listrik

Konsumsi listrik yang tinggi, mencapai 280,000 GWh dengan biaya Rp 392 triliun, mencerminkan pertumbuhan kebutuhan energi listrik di berbagai sektor, termasuk rumah tangga, komersial, dan industri. Ini juga mengindikasikan perlunya investasi dalam infrastruktur listrik dan pengembangan energi terbarukan untuk memenuhi permintaan yang terus meningkat.

5. Konsumsi Batu Bara

Batu bara memiliki konsumsi yang sangat tinggi, mencapai 600 juta ton dengan nilai Rp 1,200 triliun. Ini mencerminkan peran batu bara yang dominan dalam pembangkit listrik dan industri berat di Indonesia, meskipun ada tekanan global untuk mengurangi penggunaan bahan bakar fosil karena dampak lingkungan. Benturan Kepentingan dan Praktik Rente Rencana penggantian Pertalite dengan BBM berstandar Euro 4 rawan benturan kepentingan. Upaya ini rentan terhadap manipulasi oleh mafia migas yang mungkin berusaha mengelabui publik dengan dalih peningkatan RON namun sebenarnya hanya untuk menyuburkan pemburu rente dari produksi jenis BBM baru. Sejarah menunjukkan bahwa setiap kali ada perubahan kebijakan besar di sektor migas, peluang bagi praktik rente sering kali meningkat, mengingat kompleksitas dan nilai ekonomi yang terlibat.

Analisis: Estimasi Biaya Produksi BBM Standar Euro 4 lebih tinggi dibandingkan dengan BBM biasa seperti Pertalite karena membutuhkan proses pengolahan yang lebih canggih untuk mencapai kandungan sulfur yang sangat rendah. Biaya tambahan ini mencakup penggunaan teknologi hidrotreating dan katalis khusus untuk mengurangi kandungan sulfur. Biaya produksi bisa mencapai sekitar 20-30% lebih tinggi dibandingkan dengan Pertalite.

Rekomendasi yang perlu dilakukan subsidi BBM tepat sasaran dan tidak menjadi kejaran pemburu rente adalah sebagai berikut:

Perlunya Transparansi dan Pengawasan yang Ketat Pemerintah perlu memastikan bahwa semua tahapan dan keputusan dalam proses transisi dari Pertalite ke BBM RON Euro 4 dilakukan secara transparan. Informasi terkait harga, distribusi, dan mekanisme subsidi harus tersedia secara terbuka untuk publik. Penggunaan teknologi digital untuk pelacakan distribusi dan penjualan BBM juga dapat meningkatkan efektivitas pengawasan.

Digitalisasi Distribusi dan Blockchain Implementasi sistem digital untuk melacak distribusi BBM bersubsidi dapat membantu mencegah penyalahgunaan. Sistem ini dapat mencakup penggunaan kartu pintar atau aplikasi digital yang memungkinkan konsumen terverifikasi untuk membeli BBM bersubsidi. Teknologi blockchain dapat digunakan untuk mencatat transaksi dan pergerakan BBM dari kilang hingga SPBU, menyediakan catatan yang tidak dapat diubah dan meningkatkan transparansi serta akuntabilitas.

Perlunya Penegakan Hukum yang Tegas Pemerintah harus menetapkan sanksi yang tegas bagi pihak-pihak yang terbukti melakukan praktik rente atau penyalahgunaan distribusi BBM bersubsidi. Kerjasama yang erat antara lembaga penegak hukum, pengawas keuangan, dan lembaga pengawas sektor energi sangat penting untuk memastikan bahwa setiap bentuk kecurangan dapat dideteksi dan ditindak dengan cepat.

Perlunya Edukasi dan Partisipasi Masyarakat Kampanye edukasi yang komprehensif untuk menjelaskan manfaat dan kebutuhan dari transisi ke BBM berstandar Euro 4 sangat penting. Edukasi ini juga harus mencakup informasi tentang bagaimana masyarakat dapat melaporkan jika menemukan indikasi penyalahgunaan subsidi atau praktik rente. Program whistleblower yang melindungi identitas dan memberikan insentif bagi pelapor pelanggaran dapat menjadi alat yang efektif untuk mencegah praktik rente.

Reformasi Kebijakan Subsidi Kebijakan subsidi harus dievaluasi secara berkala untuk memastikan efektivitas dan ketepatan sasarannya. Diversifikasi energi dengan mendorong penggunaan energi alternatif seperti kendaraan listrik dan bahan bakar nabati (biofuel) dapat mengurangi ketergantungan pada BBM fosil dan mengurangi peluang praktik rente. Insentif untuk energi bersih dapat menarik minat masyarakat dan industri untuk beralih ke solusi yang lebih berkelanjutan.

Rencana pemerintah untuk mensosialisasikan penyaluran BBM bersubsidi tepat sasaran dan berstandar Euro 4 harus diterapkan dengan hati-hati karena diduga akan menghadapi berbagai tantangan. Transparansi, pengawasan ketat, penggunaan teknologi digital, penegakan hukum yang tegas, edukasi dan partisipasi masyarakat, serta reformasi kebijakan subsidi adalah kunci untuk mencapai rencana oenyaluran subsidi BBM yang tepat. Dengan demikian, kebijakan ini tidak hanya akan membantu mengurangi emisi dan meningkatkan kualitas udara, tetapi juga memastikan bahwa subsidi BBM benar-benar sampai kepada mereka yang membutuhkannya, menghindari kerugian bagi publik dan negara, serta menghindari penyuburan para pemburu rente dari perkenalan produk BBM baru.

Oleh: Achmad Nur Hidayat MPP (Pakar Kebijakan Publik dan Ekonom UPN Veteran Jakarta)

Sumber: kuningan.pikiran-rakyat.com