05 Agustus 2022

Jakarta (pilar.id) – Hampir dua minggu, Distrik Kwiyawage, Kabupaten Lanny Jaya, Provinsi Papua, dilaporkan terjadi kekeringan ekstrem. Embun beku dan kekeringan mengakibatkan masyarakat mengalami kelaparan karena hasil bercocok tanam mengalami gagal panen.

“Bahkan informasi terkini sudah ada empat warga Lanny Jaya meninggal dunia,” kata pakar kebijakan publik Narasi Institute Achmad Nur Hidayat MPP, di Jakarta, Kamis (8/4/2022).

Beberapa pihak menuduh hal tersebut disebabkan karena pemerintah daerah kurang memperhatikan warganya. Mantan Anggota Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Natalius Pigai misalnya, mengatakan rakyat Papua tidak dilayani dengan baik karena para pejabat daerah baik gubernur, dan bupati semuanya hanya melayani keinginan Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan Jakarta agar merevisi Undang Undang Otonomi Khusus (Otsus), serta pembentukan daerah otonom baru (DOB).

Juru bicara Pemprov Papua Rifai Darus membantah tudingan Pigai tersebut. Menurutnya, yang terjadi sebenarnya adalah gambaran kekeringan di Lanny Jaya karena cuaca ekstrem.

Dirinya menjelaskan tanggal 6 sampai 16 Juli 2022, Papua dilanda cuaca ekstrem yang mengakibatkan 548 warga terdampak. Sementara empat orang dinyatakan meninggal karena penyakit. Pemerintah Provinsi Papua mengklaim, pemerintah setempat tengah mendampingi warga dan telah memberikan bantuan kepada mereka.

Rentan Ketersediaan Pangan?

Kejadian di Papua tersebut menunjukkan lemahnya rantai manajemen suplai bahan pangan di hampir seluruh daerah terutama wilayah timur Indonesia yang jauh tertinggal. Padahal, ketahanan pangan penting untuk mengantisipasi ancaman krisis pangan global yang salah satunya disebabkan oleh perubahan iklim dan konflik antarnegara, seperti perang Rusia dan Ukraina saat ini.

Menurut Hidayat, kasus kekeringan yang berulang kembali melanda Kabupaten Lanny Jaya, Provinsi Papua harus diantisipasi secara serius. Program food estate di tanah Papua terbukti gagal karena tanaman yang dibudidayakan adalah padi atau bukan sumber karbohidrat orang Papua asli seperti sagu dan palawija.

“Ini karena program tersebut menghilangkan kearifan lokal dan hanya mengejar produktivitas tanpa memperhatikan kebutuhan lokal,” kata dia.

Khusus di daerah Papua, kelaparan memiliki sejarah panjang. Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) mencatat, kelaparan di Papua terjadi sejak 2018 dan mulai diangkat di permukaan pada 2019, 2020, 2021, dan 2022.

“Media asing senang melaporkan berita tersebut sementara media lokal terkesan tidak memberikan perhatian yang cukup,” keluh Hidayat.

Hidayat mengatakan, kelaparan sebenarnya tidak hanya terjadi di Papua saja, tetapi di beberapa wilayah seperti Jawa, Sumatera, dan Sulawesi juga pernah mengalaminya akibat kegagalan panen dan kekeringan. Hanya saja, pemerintah daerahnya bergerak cepat. Karena itu, pemerintah pusat memberikan teguran keras kepada Pemprov Papua karena selama ini mereka menikmati dana Otsus dalam jumlah yang sangat besar tetapi membiarkan terjadi kelaparan.

“Tahun 2022 tercatat alokasi dana Otsus Papua dan Papua Barat sebesar Rp8,5 triliun. Dengan dana tambahan infrastruktur yang dibagi untuk Papua dan Papua Barat sebesar Rp4,3 triliun. Totalnya 12,8 triliun. Sementara untuk Aceh Rp7,5 tiliun,” beber Hidayat.

Untuk mewaspadai bahaya kelaparan, pemerintah pusat harus membentuk satgas khusus ketahanan pangan yang beranggotakan instansi Kementerian Pertanian (Kementan), Kementerian Koordinator Perekonomian (Kemenko), Kementerian PUPR, Badan Pangan Nasional (BPN), BUMN, TNI, serta Kementerian Pertahanan. Tugas satgas khusus tersebut tidak hanya berkoordinasi, namun eksekusi memanfaatkan tanah kosong untuk menghasilkan tanaman produktif.

Selain itu, Kementerian Keuangan (Kemenkeu) juga perlu lebih cermat lagi dalam memprioritaskan belanja negara. Pembangunan infrasturktur Ibu Kota Nusantara (IKN) misalnya, dan proyek kereta api cepat perlu ditunda dan alokasi dananya dialihkan untuk memperkuat program ketahanan pangan.

“DPR RI jangan diam saja, APBN ini harus dikawal dan APBN 2023 seharusnya dipergunakan sebesarnya untuk menyiapkan cadangan pangan dan program bansos yang lebih besar bukan pada belanja infrastruktur dan IKN,” kata Hidayat.

Namun, lanjut Hidayat, semuanya tergantung dari political will Presiden Jokowi sendiri. “Apakah peduli dengan mencari jalan keluar yang komprehensif di tengah keterbatasan APBN atau masih mengejar proyek mercusuar di atas ancaman kelaparan dan kerentanan pangan Indonesia,” urainya.

Sumber: pilar.id