Presiden Joko Widodo baru-baru ini memberikan sebuah pidato yang mengajak rakyat untuk berhati-hati dalam memilih pemimpin di masa mendatang. Namun, dalam konteks politik dan isu-isu terkini, pesannya menjadi lebih menarik ketika dipandang dari sudut pandang yang berbeda.

Dinasti Politik: Masa Depan Kekuasaan Keluarga Jokowi

Jokowi telah memerintah Indonesia selama dua periode dan sekarang muncul pertanyaan apakah ada upaya untuk mempertahankan kekuasaan di keluarga, yang bisa menjadi bentuk baru dari dinasti politik.

Kritik Terhadap Pidato Jokowi: Ironi Antara Visi dan Realitas

Saat Jokowi menekankan pentingnya pemimpin yang memiliki visi taktis jelas dan berani menghadapi tantangan, beberapa orang mungkin melihatnya sebagai sebuah ironi. Ada kekhawatiran bahwa fokus utama saat ini adalah melanjutkan kekuasaan dalam keluarga atau kelompok tertentu, bukan semata-mata untuk kepentingan rakyat.

Karena terlihat ada tanda-tanda bahwa Jokowi telah merancang sebuah bentuk politik dinasti yang akan berlanjut di masa mendatang. Ada beberapa alasan yang mendasari pandangan ini, dan semuanya berpusat pada upaya untuk mempertahankan kekuasaan di tangan keluarganya.

Mengapa Upaya Mempertahankan Kekuasaan Keluarga Jadi Kontroversial?

Pertama, Jokowi tampaknya sangat peduli dengan menjaga stabilitas politik. Beliau telah memahami dinamika politik Indonesia dengan baik, dan dia tahu betapa pentingnya mempertahankan kekuasaan dalam keluarganya untuk memastikan stabilitas politik.

Jokowi menyadari bahwa dengan tetap berada di pusat kekuasaan, dia dapat menjaga kendali terhadap partainya dan memastikan kelangsungan kebijakan-kebijakan yang telah diterapkan selama pemerintahannya.

Kedua, Jokowi melihat pentingnya menjaga kelangsungan program-program yang telah dia dan pemerintahannya mulai jalankan. Di tengah persaingan geopolitik antara dua kekuatan besar, Tiongkok dan Eropa, Indonesia harus memastikan keberlanjutan program-program ekonomi dan politik yang telah diterapkan.

Jokowi mungkin merasa bahwa hanya dengan mempertahankan kendali atas pemerintahan, program-program tersebut dapat berlanjut tanpa gangguan yang berlebihan.

Ketiga, yang mungkin merupakan aspek paling kontroversial dari dugaan politik dinasti ini, adalah upaya untuk memperkuat peran Jokowi dalam politik Indonesia melalui generasi berikutnya.

Kasus yang hangat dibicarakan terkait gugatan calon wakil presiden (cawapres) telah memunculkan spekulasi bahwa anak Jokowi, Gibran Rakabuming Raka, mungkin akan menjadi cawapres. Ini mungkin merupakan upaya untuk memastikan bahwa pengaruh politik Jokowi tidak hanya berlanjut selama masa pemerintahannya, tetapi juga melalui keturunannya.

Namun, Keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menolak gugatan uji materi terkait batas usia calon presiden (capres) dan wakil presiden (cawapres) mungkin membuat Jokowi dan kawan-kawannya merasa tidak pasti. Mereka mungkin merasa ketar-ketir karena keputusan tersebut dapat memengaruhi strategi politik mereka.

Dalam menghadapi situasi ini, mereka harus memutuskan apakah akan menerima keputusan MK atau mencari cara alternatif lain, untuk tetap mempertahankan pengaruh politik mereka.

Keputusanny akan berdampak besar pada dinamika politik di Indonesia ke depan.

Dampak Ketagihan Kekuasaan dalam Politik dan Penderitaannya

Ketika melihat kontroversi seputar kedinastian politik yang diperdebatkan dalam konteks Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan keluarganya, terlihat jelas bahwa dorongan untuk mempertahankan dan mewarisi kekuasaan bisa membawa dampak penderitaan yang mendalam, seperti yang telah dibahas dalam berita sebelumnya.

Pandangan bahwa keluarga politik, mulai dari bapak, anak, mantu, hingga ipar, semuanya bergerak maju dengan kehausan akan kekuasaan duniawi memunculkan pertanyaan tentang apakah motivasi ini telah meracuni pikiran mereka.

Terlebih lagi, apakah upaya mereka untuk mempertahankan kekuasaan telah mendorong mereka untuk melakukan berbagai cara untuk mencapai tujuan ini.

Dalam konteks ini, tiga alasan yang telah diperdebatkan sebelumnya menjadi semakin relevan. Pertama, menjaga stabilitas politik adalah prioritas, dan hal ini sering diartikan sebagai menjaga kelangsungan kekuasaan keluarga. Kedua, menjaga keberlanjutan program-program adalah alasan yang sering digunakan untuk membenarkan upaya mempertahankan kekuasaan. Dan ketiga, upaya untuk memperkuat peran Jokowi dalam politik Indonesia, terutama melalui kasus yang sedang hangat dibicarakan terkait gugatan cawapres, menunjukkan keinginan untuk memastikan bahwa pengaruh politiknya akan berlanjut melalui keturunannya.

Sangat ironis melihat bagaimana seorang pemimpin yang mungkin mulai berpolitik dengan niat mulia – seperti melayani rakyat dan memperbaiki negara – terperangkap dalam siklus ketagihan kekuasaan.

Mereka mungkin semula ingin membawa perubahan positif, tetapi kekuasaan bisa menjadi racun yang mengubah prioritas mereka. Keinginan untuk mempertahankan dan memperluas pengaruh mereka mengalahkan niat awal mereka.

Dalam upaya untuk memenuhi keinginan ini, keluarga politik dapat terlibat dalam berbagai taktik yang merugikan, termasuk pembohongan, manipulasi, dan pelanggaran hak asasi manusia. Mereka mungkin menggunakan sumber daya negara untuk mengamankan posisi mereka, bahkan jika itu melibatkan penyalahgunaan kekuasaan.

Penderitaan yang ditimbulkan oleh ketagihan kekuasaan ini adalah tidak hanya bagi penguasa, tetapi juga bagi rakyat yang mereka layani. Kepentingan pribadi seringkali mendahului kepentingan nasional, dan keputusan politik dibuat untuk mempertahankan kekuasaan daripada untuk kesejahteraan rakyat.

Oleh karena itu, peran masyarakat sangat penting dalam mengawasi dan memegang pemimpin mereka bertanggung jawab. Dengan memahami dinamika politik dan mengikuti perkembangan berita, dapat berpartisipasi aktif dalam politik dan mengadvokasi prinsip-prinsip demokrasi, sehingga bisa berupaya untuk menghindari penderitaan yang mungkin muncul akibat ketagihan akan kekuasaan dalam konteks kedinastian politik.

Oleh: Achmad Nur Hidayat, Ekonom dan Pakar Kebijakan Publik UPN Veteran Jakarta