Apakah keputusan Kementerian Kesehatan (Kemenkes) untuk memberlakukan pengendalian iklan rokok di media siber melalui Satgas yang menjalankan Pasal 446 PP 28/2024 sejak 26 Juni 2025 merupakan kebijakan yang tepat sasaran? 

Atau justru langkah ini terlalu berlebihan, menambah beban sektor media daring yang tengah menghadapi ketidakpastian bisnis?

Pertanyaan ini muncul ketika publik mendengar kebijakan tersebut diumumkan tanpa sosialisasi memadai, menimbulkan kekhawatiran akan pemutusan konten yang serampangan. 

Tanpa panduan operasional yang jelas, kekhawatiran ini bukanlah isapan jempol belaka. 

Ibarat orang menebang pohon di hutan gelap tanpa lampu senter, kebijakan ini bisa menebas bukan hanya batang beracun, tetapi juga pepohonan sehat yang menopang ekosistem media dan ruang diskusi publik.

Jika ditelaah lebih dalam, masalahnya terletak pada gap antara tujuan normatif dan desain implementasi kebijakan. 

Pasal 446 PP 28/2024 jelas melarang iklan rokok di media digital demi melindungi masyarakat, terutama anak dan remaja, dari paparan promosi rokok yang adiktif. 

Dari perspektif ekonomi kesehatan publik, kebijakan ini memiliki dasar kuat: rokok menyumbang beban biaya kesehatan yang signifikan, menurunkan produktivitas angkatan kerja, dan membebani sistem jaminan sosial. 

World Bank bahkan mencatat konsumsi rokok di negara berpendapatan menengah seperti Indonesia menurunkan PDB nasional hingga 1-2% akibat hilangnya hari kerja produktif dan pengeluaran kesehatan jangka panjang.

Namun, di sisi lain, PP 28/2024 tidak mendefinisikan secara rinci apa yang dimaksud dengan “media sosial berbasis digital” dan bagaimana batasan iklan rokok diinterpretasikan di ranah platform terbuka seperti Instagram, TikTok, YouTube, atau media daring berbasis artikel. 

Ketidakjelasan ini dapat menimbulkan interpretasi yang terlalu luas. Seperti seseorang yang diberi kapak tanpa diberi peta, Satgas Kemenkes berpotensi menebang semua konten terkait rokok tanpa memilah mana iklan promosi produk dan mana yang merupakan berita kesehatan, riset, atau edukasi pengurangan dampak merokok.

Analogi lain yang relevan adalah kebijakan pembatasan kendaraan bermotor berbasis pelat nomor genap-ganjil di Jakarta. 

Tujuannya untuk mengurangi polusi dan kemacetan, tetapi tanpa rambu penunjuk zona dan waktu yang jelas, kebijakan tersebut justru menimbulkan kebingungan, denda salah sasaran, dan ketidakpuasan publik. 

Demikian pula, kebijakan pengendalian iklan rokok oleh Kemenkes membutuhkan definisi operasional, panduan teknis, serta komunikasi lintas institusi agar tidak menimbulkan kegaduhan baru di sektor media daring yang kini tengah berjuang mempertahankan keberlanjutan bisnis di tengah penurunan belanja iklan.

Saya menilai kebijakan ini memang bukan di luar kewenangan Kemenkes. 

Pasal 446 PP 28/2024 telah memberikan mandat kepada Menteri Kominfo untuk memutus akses informasi atas rekomendasi Kemenkes. 

Namun, pelaksanaannya bisa menjadi problematik jika dioperasionalkan tanpa SOP yang terukur. 

Pengalaman kita menunjukkan bahwa kebijakan yang diterapkan tanpa socialization dan readiness assessment berpotensi menimbulkan resistensi. 

Dalam konteks iklan rokok digital, hal ini juga berpotensi menimbulkan kerugian ekonomi, terutama bagi media daring dan kreator konten yang kehilangan traffic atau revenue akibat konten mereka di-take down, padahal bukan promosi langsung produk tembakau.

Langkah paling rasional yang semestinya diambil Kemenkes adalah menerapkan phased enforcement, yaitu penegakan bertahap dengan masa transisi.

Tahap awal digunakan untuk sosialisasi intensif, penerbitan panduan teknis, dan pembentukan mekanisme pengaduan serta banding yang mudah diakses. 

Strategi ini telah diterapkan oleh banyak negara ketika meluncurkan kebijakan pajak soda atau pembatasan plastik sekali pakai: fase pertama edukasi dan insentif, fase kedua peringatan, dan fase ketiga penegakan hukum dengan penalti.

Selain itu, Kemenkes perlu menjelaskan kepada publik dan pelaku industri media bahwa kebijakan ini bukan bentuk represi atas kebebasan pers atau kreativitas konten digital. 

Justru, kebijakan pengendalian iklan rokok di media siber seharusnya melindungi generasi muda dari normalisasi perilaku merokok yang kini didorong melalui algoritma digital. 

Data WHO menunjukkan bahwa algoritma media sosial kerap mengamplifikasi konten promosi rokok elektronik ke akun-akun remaja, menimbulkan efek “gateway” atau transisi ke rokok konvensional. 

Dalam perspektif behavioral economics, konten iklan rokok digital menciptakan ‘nudge negatif’ yang menormalisasi konsumsi rokok, sebaliknya kebijakan pengendalian iklan rokok adalah ‘nudge positif’ untuk menurunkan prevalensi perokok muda.

Namun untuk mewujudkan tujuan tersebut, Kemenkes tidak bisa bekerja sendiri. 

Diperlukan harmonisasi kebijakan dengan Kominfo, BPOM, dan Kementerian Keuangan (mengatur cukai dan pita rokok digital). 

Kolaborasi ini akan menghasilkan satu peta jalan (roadmap) yang memuat standar pengendalian iklan rokok digital, klasifikasi konten yang dilarang, SOP pemutusan akses, serta sistem monitoring dan evaluasi berbasis data.

Yang juga penting, Kemenkes perlu memastikan kebijakan ini tidak menimbulkan kegaduhan politik dan resistensi industri secara berlebihan. 

Publik perlu diyakinkan bahwa kebijakan ini berbasis data kesehatan publik dan evidence-based policy making, bukan semata keputusan moralistik atau tekanan politik anti-industri. 

Untuk itu, transparansi proses perumusan kebijakan dan pelibatan pemangku kepentingan utama menjadi kunci efektivitasnya.

Di akhir, kebijakan pengendalian iklan rokok di media siber oleh Kemenkes bisa diibaratkan seperti operasi pembedahan tumor ganas. 

Tujuannya mulia: menyelamatkan tubuh publik dari kanker adiksi nikotin yang mematikan. 

Namun, operasi ini harus dilakukan dengan pisau bedah kebijakan yang tajam, prosedur yang steril, dan dokter bedah kebijakan yang kompeten. 

Jika tidak, risiko pendarahan sosial dan ekonomi akan lebih besar daripada manfaat kesehatannya.

Tugas negara adalah melindungi rakyat, tetapi perlindungan harus dilakukan dengan presisi dan kehati-hatian. 

Kebijakan pengendalian iklan rokok digital memang langkah maju untuk kesehatan masyarakat, tetapi tanpa regulasi turunan yang detail dan implementasi yang transparan, kebijakan ini hanya akan menjadi sumber resistensi baru yang menambah daftar panjang problem tata kelola kesehatan kita. 

Kemenkes perlu bergerak cepat untuk menyusun pedoman teknis, melibatkan media daring dalam proses transisi, dan memastikan bahwa setiap langkah kebijakan menyeimbangkan antara perlindungan kesehatan publik dan keberlanjutan ekonomi media nasional.

END