Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 82 Tahun 2024 tentang Kantor Komunikasi Kepresidenan (Presidential Communication Office/PCO) digugat ke Mahkamah Agung (MA) pada Kamis (17/4/2025). Gugatan ini diajukan oleh Windu Wijaya melalui kuasa hukumnya, Hazmin Andalusi, Ardin Firanata, Hendro Wijaya, serta Ali Hanif bersamaan setelah Presiden Prabowo Subianto menunjuk Menteri Sekretaris Negara, Prasetyo Hadi, sebagai juru bicara presiden.
Permohonan uji materiil atau judicial reviewtersebut didasarkan pada pertimbangan yuridis dan tata kelola pemerintahan, khususnya terkait keabsahan struktur kelembagaan negara ketika terjadi ketidaksesuaian antara tugas dan fungsi institusi pemerintahan. Dalam hal ini, pemohon menggugat empat pasal yang diantaranya adalah Pasal 3, Pasal 4, Pasal 48 ayat (1), dan Pasal 52.
Pasal 3 Perpres Nomor 82 Tahun 2024, menyebutkan bahwa Kantor Komunikasi Kepresidenan mempunyai tugas menyelenggarakan pemberian dukungan kepada Presiden dalam melaksanakan komunikasi dan informasi kebijakan strategis dan program prioritas Presiden.
Kemudian, Pasal 4 yang menyebutkan dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, Kantor Komunikasi Kepresidenan menyelenggarakan fungsi diantaranya:
a. Pelaksanaan analisis isu dan informasi aktual, strategis, dan politik terhadap kebijakan strategis dan program prioritas Presiden
b. Pelaksanaan pengelolaan materi dan strategi komunikasi atas isu dan informasi aktual, strategis, dan politik terhadap kebijakan strategis dan program prioritas Presiden
c. Pelaksanaan diseminasi informasi dan media komunikasi kebijakan strategis dan program prioritas Presiden
d. Pelaksanaan koordinasi dan sinkronisasi informasi strategis dan evaluasi komunikasi antar kementerian / lembaga terhadap kebijakan strategis dan program prioritas Presiden
e. Pelaksanaan administrasi Kantor Komunikasi Kepresidenan; dan
f. Pelaksanaan fungsi lain yang diberikan oleh Presiden
Selanjutnya Pasal 49 berisi pada saat Peraturan Presiden ini mulai berlaku, pelaksanaan fungsi di bidang pengelolaan strategi komunikasi di lingkungan lembaga kepresidenan, serta pengelolaan strategi komunikasi politik dan diseminasi informasi yang dilaksanakan oleh Kantor Staf Presiden sebagaimana diatur dalam peraturan Presiden Nomor 83 Tahun 2019 tentang Kantor Staf Presiden (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2019 Nomor 2441, dialihkan menjadi tugas dan fungsi Kantor Komunikasi Kepresidenan.
Pasal 52 menyebutkan bahwa pada saat Peraturan Presiden ini mulai berlaku, ketentuan yang mengatur mengenai fungsi pengelolaan strategi komunikasi di lingkungan lembaga kepresidenan, serta pengelolaan strategi komunikasi politik dan diseminasi informasi dalam Peraturan Presiden Nomor 83 Tahun 2019 tentang Kantor Staf Presiden dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Perpres tentang Kantor Komunikasi Kepresidenan yang digugat ini merupakanlegacy dari Presiden ke-7 Joko Widodo (Jokowi). Pada 15 Agustus 2024, Jokowi telah menandatangani Perpres tersebut dan diundangkan pada hari yang sama. Pembentukan Kantor Komunikasi Kepresidenan, saat itu dilakukan dengan pertimbangan untuk mewujudkan efektivitas penyelenggaraan komunikasi dan informasi strategis presiden secara sinergis dan terpadu.
“Kantor Komunikasi Kepresidenan adalah lembaga nonstruktural yang dibentuk oleh Presiden untuk melaksanakan komunikasi dan informasi kebijakan strategis dan program prioritas Presiden,” tulis Perpres yang dapat diakses di laman JDIH Sekretariat Kabinet ini.
Pembentukan Kantor Komunikasi Kepresidenan melalui Peraturan Presiden Nomor 82 Tahun 2024, memang bisa dipahami sebagai upaya pemerintah memperkuat citra dan publisitas kebijakan strategis. Dalam kerangka teori komunikasi publik, keberadaan PCO dapat dipandang sebagai saluran tersentralisasi yang dirancang untuk menyampaikan narasi Presiden secara terpadu kepada publik.
Argumen yang dikemukakan Menteri Sekretariat Negara, Pratikno, pada saat itu bahkan berfokus pada kebutuhan koordinasi materi kebijakan, analisis isu, serta penyusunan strategi komunikasi yang lebih matang, terutama di tengah arus informasi yang cepat dan kompleks.
“Tapi secara normatif, urgensi adanya PCO diukur dari seberapa efektif lembaga ini menghindarkan pesan presiden dari distorsi media dan intervensi kepentingan sektoral,” kata Ekonom dan Pakar Kebijakan Publik UPN Veteran Jakarta, Achmad Nur Hidayat, kepada Tirto, Rabu (23/4/2025).
Urgensi tersebut, seharusnya kata Achmad, seimbang dengan kehati-hatian dalam memastikan keselarasan fungsi dengan lembaga lain, terutama KSP yang sebelumnya memikul sebagian besar beban komunikasi politik presiden.
Tumpang Tindih Kewenangan
Secara struktural, kata Achmad, posisi PCO yang diatur langsung di bawah Presiden berbenturan dengan eksistensi KSP (Kantor Staf Presiden) yang sejak Perpres 83/2019 juga diposisikan sebagai kantor staf independen di bawah presiden. KSP mendapatkan mandat komunikasi politik dalam mendukung penyampaian visi dan misi presiden, namun pasal terkait fungsi tersebut tidak sepenuhnya dicabut dalam rangka pengalihan kewenangan ke PCO.
“Akibatnya, secara normatif terjadi inkonsistensi peraturan yang menimbulkan ruang tumpang tindih,” kata Achmad kepada Tirto, Rabu (23/4/2025).
Dari perspektif hukum administrasi, keberadaan dua lembaga nonstruktural dengan mandat serupa menimbulkan konflik norma dan ketidakpastian hukum, sebab tidak ada batasan tugas yang jelas dan pembeda mekanisme kerja yang memadai. Terlebih praktik birokrasi di Indonesia sendiri sudah sarat dengan multilayering yang menimbulkan duplikasi wewenang.
“PCO seakan menambah beban birokrasi tanpa menyelesaikan akar persoalan koordinasi antar lembaga,” jelas Achmad.
Bukti lapangan, kata Achmad juga menunjukkan bahwa PCO dan KSP sama-sama mengelola narasi politik presiden, sama-sama berkoordinasi dengan kementerian teknis, dan sama-sama mengeluarkan materi pers dan siaran pers. Jika tidak segera dikonsolidasikan, dwi-pola birokrasi ini akan menimbulkan kompetisi birokrasi sehat, di mana staf PCO dan staf KSP berlomba untuk mendapatkan akses informasi, anggaran, dan perhatian presiden.
“Kompetisi yang tidak diatur dengan baik bisa menimbulkan permainan wewenang, pungutan suara internal, dan inefisiensi,” jelas dia.
Analis Sosio-politik dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS), Musfi Romdoni, menambahkan sejak awal pembentukan Kantor Komunikasi Kepresidenan ini memang menimbulkan tanda tanya karena sudah ada Biro Pers Istana dan KSP.
“Awalnya saya kira PCO akan menjadi orkestrator komunikasi Istana, memberi arahan kepada Biro Pers atau KSP terkait bagaimana Istana merespons isu dan memberi informasi kepada publik. Tapi kan nyatanya PCO tidak menempati posisi itu,” jelas dia kepada Tirto,Rabu (22/4/2025).
Kini Biro Pers dan KSP seperti tenggelam. Publik seperti melihat terdapat tiga lembaga yang saling bersaing untuk menjadi Jubir Istana. Menurut Musfi ini adalah letak masalahnya dan sangat berbahaya karena informasi ke publik menjadi tidak jelas.
“Sampai Presiden Prabowo harus mengadakan konferensi pers khusus untuk meminta maaf terkait komunikasi Istana. Itu kan tamparan yang keras, sama saja presiden mengatakan pihak yang seharusnya menjadi jubir Istana tidak bekerja dengan benar dan membuatnya malu,” jelas dia.
Tirto sudah menghubungi Kepala Komunikasi Kepresidenan, Hasan Nasbi, untuk dimintai keterangan terkait gugatan Perpres 84 Tahun 2024 karena dinilai tumpang tindih. Namun, hingga artikel ini dirilis, Hasan Nasbi tidak merespons pertanyaan yang Tirto ajukan.
Sementara Menteri Sekretaris Negara sekaligus Juru Bicara Presiden RI, Prasetyo Hadi, justru menegaskan bahwa Peraturan Presiden yang mengatur pembentukan Kantor Komunikasi Kepresidenan tidak tumpang tindih dengan lembaga kepresidenan lainnya seperti Kantor Staf Presiden (KSP).
“Perpres PCO, Kantor Komunikasi Kepresidenan, kemudian KSP, itu sejak awal sudah didesain sedemikian rupa bahwa tidak ada tugas-tugas yang tadi disebutkan tumpang tindih. Itu tidak ada,” kata Prasetyo Hadi saat ditemui di Wisma Negara, Istana Kepresidenan, Jakarta, Senin (21/4/2025).
Terkait dengan gugatan, Hadi mengaku belum membaca salinan gugatan atas Perpres PCO. Di satu sisi, ia mengaku hendak mempelajari isi gugatan tersebut. “Belum, saya belum terima kopian gugatan tersebut, tapi apapun nanti, coba kita pelajari,” imbuhnya.
Perlu Diintegrasikan
Meski klaim tidak ada tumpang tindih terus dibantah, Musfi menyarankan perlunya sinkronisasi atau peleburan dengan lembaga lain yang memiliki tugas serupa, seperti Biro Pers dan KSP. Jika hal itu tidak dilakukan, menurutnya, PCO tidak layak dipertahankan. “Pilihannya hanya dua: dilebur atau dibubarkan,” tegas dia.
Dalam hal ini, menurut Achmad Nur Hidayat, presiden memang selayaknya memerintahkan klarifikasi fungsi, apakah PCO akan bertindak sebagai think tank komunikasi strategis atau KSP yang mempertahankan tugas komunikasi politik. Presiden harus mengintegrasikan PCO ke dalam struktur juru bicara presiden, memperjelas mandat KSP, serta menjalankan audit kelembagaan adalah langkah penting untuk memastikan efektivitas, akuntabilitas, dan efisiensi pengelolaan komunikasi publik.
Pun dalam dalam konteks efisiensi anggaran dan manajemen SDM, kata Achmad, juru bicara Presiden merupakan pilihan yang lebih ramping untuk mengemban fungsi komunikasi utama. Juru bicara presiden memiliki legitimasi formal sebagai perwakilan lisan kepala negara, bersifat fleksibel, dan mampu bergerak cepat mengikuti dinamika politik serta media. Ini berbeda dengan PCO yang berbentuk lembaga dengan struktur birokrasi tertentu.
“Juru bicara dapat dikontrak atau dipilih berdasarkan kebutuhan presiden, sehingga beban administrasi dan biaya operasionalnya jauh lebih rendah. Selain itu, peran juru bicara selama ini terbukti efektif dalam mengartikulasikan kebijakan, memberikan klarifikasi, dan meredam isu negatif,” jelas Achmad.
Maka, dengan meleburnya PCO ke dalam struktur juru bicara presiden, diharapkan akan mengoptimalkan fungsi komunikasi presiden melalui satu pintu saja. Hal ini dapat meminimalkan birokrasi dan mengurangi potensi penumpukan anggaran.
Hanya saja, untuk mendukung peleburan di atas, dibutuhkan kebijakan efisiensi kelembagaan yang lebih terarah. Pertama, pemerintah perlu melakukan audit kelembagaan secara berkala untuk memetakan fungsi, peran, dan anggaran tiap entitas. Dengan dasar data tersebut, setiap kewenangan yang tumpang tindih dapat diintegrasikan atau disatukan, meminimalkan duplikasi tugas.
Kedua, mekanisme peninjauan regulasi (regulatory review) harus dijalankan sebelum keluarnya Perpres atau Peraturan Menteri baru, guna memastikan harmonisasi antar peraturan dan keselarasan kewenangan. Ketiga, Presiden dapat menerbitkan pedoman teknis pengelolaan komunikasi publik yang menitikberatkan pada model utama-perwakilan, di mana juru bicara fungsional menjadi satu-satunya pintu keluar bagi segala bentuk pernyataan resmi kepresidenan.
Keempat dibutuhkan dorongan reformasi birokrasi berbasis e-government dan manajemen kinerja hasil (outcome-based performance management). Ini setidaknya akan membantu mengukur kinerja lembaga secara objektif, sehingga alokasi anggaran hanya difokuskan pada entitas yang berhasil memberikan nilai tambah nyata.
Pada akhirnya dengan pendekatan kebijakan efisiensi terarah, anggaran publik dapat dihemat, kinerja birokrasi ditingkatkan, dan pemerintah akan lebih responsif terhadap kebutuhan rakyat—sesuai semangat bela kepentingan publik.
sumber: tirto


