Oleh Achmad Nur Hidayat, MPP. (Ekonom dan Pakar Kebijakan Publik UPN Veteran Jakarta)

Menyimak hasil penelitian yang dilakukan oleh Lembaga Penelitian dan Ekonomi Masyarakat (LPEM) FEB UI yang menyatakan Indonesia bisa gagal menjadi negara maju pada 2045 adalah penelitian yang sangat rasional dan terukur.

Penelitian tersebut didasarkan pada sejumlah indikator yang menunjukkan bahwa Indonesia belum memenuhi syarat cukup dan syarat perlu untuk menjadi negara maju meliputi: Pertumbuhan ekonomi Indonesia stagnan di level 5%, Pertumbuhan kredit per tahun tak pernah tembus 15%, Rasio pajak terhadap PDB tak pernah melampaui 11%, Kontribusi industri terhadap PDB yang terus merosot hingga kini di level 18%, Kemiskinan ekstrem yang persisten di level 1,7%.

Sangat benar bahwa indikator-indikator tersebut menunjukkan bahwa Indonesia masih memiliki sejumlah permasalahan yang perlu diselesaikan jika ingin menjadi negara maju.

Ada beberapa yang sangat menghambat Indonesia menjadi negara maju diantaranya pertumbuhan ekonomi yang stagnan, investasi yang belum optimal, daya saing industri yang masih rendah, kemiskinan yang masih tinggi.

Selain indikator-indikator tersebut, ada faktor lain yang tidak kalah penting dan berpengaruh kepada sulitnya Indonesia menjadi negara maju, yaitu faktor penegakkan hukum yang lemah khususnya dalam pemberantasan korupsi, lemahnya pengawasan terhadap eksplorasi sumber daya alam, dan lemahnya negosiasi dalam kerjasama dengan pihak asing terkait pemanfaatan sumber daya alam sehingga Indonesia tidak mendapatkan manfaat sebagaimana mestinya.

Faktor-faktor tersebut dapat menghambat pembangunan ekonomi dan menghambat upaya Indonesia untuk keluar dari jebakan negara berpendapatan menengah (middle income trap).

Misalnya, lemahnya penegakan hukum dalam pemberantasan korupsi dapat menyebabkan terjadinya korupsi di berbagai sektor, termasuk sektor ekonomi. Hal ini dapat menghambat investasi, mengurangi produktivitas, dan meningkatkan ketidakadilan sosial.

Lemahnya pengawasan terhadap eksplorasi sumber daya alam dapat menyebabkan terjadinya eksploitasi sumber daya alam secara berlebihan, tidak terkontrol dan tidak berkelanjutan. Hal ini dapat menyebabkan kerusakan lingkungan dan mengurangi potensi sumber daya alam untuk mendukung pembangunan ekonomi.

Lemahnya negosiasi dalam kerjasama dengan pihak asing terkait pemanfaatan sumber daya alam dapat menyebabkan Indonesia tidak mendapatkan manfaat yang maksimal dari pemanfaatan sumber daya alam tersebut. Hal ini dapat menyebabkan Indonesia kehilangan potensi pendapatan yang besar.

Pernyataan Airlangga Hartarto, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, yang mengungkapkan empat peluang atau potensi yang saat ini dimiliki Indonesia untuk bisa keluar dari jebakan negara berpendapatan menengah dan menjadi negara maju pada 2045, yaitu: populasi, hilirisasi, digitalisasi, dan inovasi, juga tidaklah cukup.

Ada satu peluang besar dan signifikan menopang perekomian yang luput dari yang disebutkan oleh Airlangga, yaitu reindustrialisasi.

Reindustrialisasi adalah upaya untuk meningkatkan kontribusi sektor industri terhadap perekonomian. Reindustrialisasi penting untuk dilakukan karena dapat memberikan sejumlah manfaat, antara lain: meningkatkan pertumbuhan ekonomi, meningkatkan daya saing perekonomian, mengurangi ketergantungan terhadap impor, meningkatkan kemandirian perekonomian.

Indonesia memiliki potensi yang besar untuk melakukan reindustrialisasi. Indonesia memiliki sumber daya alam yang melimpah, tenaga kerja yang terampil, dan pasar domestik yang besar.

Oleh karena itu, pemerintah perlu mendorong reindustrialisasi sebagai salah satu upaya untuk mewujudkan Indonesia sebagai negara maju pada 2045.

Untuk mewujudkan hal tersebut, pemerintah perlu melakukan sejumlah kebijakan, antara lain: meningkatkan investasi di sektor industri, meningkatkan kualitas sumber daya manusia di sektor industri, meningkatkan daya saing industri.

Dengan kerja keras dan sinergi dari berbagai pihak, Indonesia akan dapat mewujudkan cita-citanya untuk menjadi negara maju pada 2045.