Indeks Pembangunan Manusia I Pemerintah Targetkan Angka “Stunting” 14% pada 2024

Jumat, 09 Des 2022

JAKARTA – Bank Dunia mencatat Indeks Pembangunan Manusia/IPM atau Human Capital Index Indonesia berada di peringkat 130 dari 199 negara. Selain itu, peringkat Emotional Quotient Intelligence (EQ) RI juga menduduki peringkat keenam di antara negara-negara kawasan Asia Tenggara (Asean).

Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), Hasto Wardoyo, dalam Forum Nasional Stunting di Jakarta, baru-baru ini mengatakan dengan angka stunting saat ini yang masih 24,4 persen merupakan cerminan dari rendahnya kualitas sumber daya manusia (SDM) di Indonesia.

Dengan capaian indeks yang rendah maka masalah stunting menjadi salah satu fokus utama pemerintah dalam pembangunan.

Berdasarkan arahan Presiden dan Wakil Presiden, pada 2024, Indonesia harus bisa mencapai angka stunting 14 persen agar kualitas sumber daya manusia dapat semakin dipacu dan mewujudkan Indonesia Maju.

“Dari beberapa tahun sebelum tahun 2022 ini, penurunan stunting belum pernah melewati angka dua persen per tahun. Sesuai arahan Bapak Wapres di tahun 2022 ini, diharapkan optimalisasi penurunan angka stunting bisa mencapai tiga persen, sehingga bisa diproyeksikan tahun 2024 bisa mencapai angka 14 persen,” jelas Hasto.

Dalam menjalankan amanat yang dituangkan dalam Peraturan Presiden Nomor 72 Tahun 2021, BKKBN menekankan percepatan stunting didasari oleh penguatan sinergi dan kolaborasi antarkementerian/lembaga terkait melalui Rencana Aksi Nasional Percepatan Penurunan Angka Stunting Indonesia atau RAN Pasti.

Pengamat kebijakan publik Narasi Institut, Achmad Nur Hidayat, mengatakan rendahnya indeks pembangunan manusia Indonesia seharusnya menjadi momentum untuk mengevaluasi secara menyeluruh kebijakan pembangunan SDM Indonesia.

Pemerintah harus berani mengakui kalau mereka belum terlalu fokus meningkatkan dan membangun SDM, sehingga masuk pada kelompok yang sangat rendah dan memalukan.

“Kita ini the biggest populasi di Asean, wilayah dan kekayaan paling besar, tetapi otaknya nomor 6 kalah dari Vietnam. Ini memalukan,” kata Achmad saat dihubungi Kamis (8/12).

Dia mengakui dampak dari Covid-19 membuat seluruh program pemerintah terhambat. Namun, harus diingat seluruh negara juga terhambat sehingga Covid-19 dan pemulihan ekonomi yang menyertainya tidak bisa dijadikan pembelaan diri.

Dampak lanjutan dari IPM yang rendah tentu saja investor tidak akan tertarik masuk ke Indonesia. Sebab, investasi saat ini lebih mengarah ke negara yang kualitas SDM-nya menengah atas. Apalagi investasi lebih banyak bersifat hight tech dan kreatif.

Indonesia, jelasnya, sudah tidak bisa mengandalkan low labor skill karena di level itu Indonesia sudah kalah dari Bangladesh dan Vietnam.

“Saya heran kenapa indeks Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa IPM kita tahun ini meningkat dibanding tahun lalu? Metodenya apa beda dengan metode yang dipakai internasional? Saran saya, dua tahun terakhir ini fokus saja sama IPM jangan sampai jadi legacy buruk karena utang membengkak, tapi kualitas SDM rendah,” papar Achmad.

Sosio Budaya

Peneliti Mubiyarto Institute, Awan Santosa, mengatakan reorientasi ke pembangunan manusia harus konsisten dengan menjadikannya gerakan sosio budaya yang melibatkan seluruh elemen bangsa.

Selain aspek kesehatan, perlu juga menggunakan pendekatan sosio budaya yang berbasis komunitas dan melibatkan organisasi masyarakat/keagamaan, perguruan tinggi, dan elemen sosio budaya lainnya.

“Gerakan masyarakat yang sesuai dengan kearifan lokal untuk mencegah dan mengatasi stunting perlu didukung oleh berbagai pihak tersebut,” ungkapnya.

Sementara itu, Pengajar dari Universitas Diponegoro (Undip) Semarang, Esther Sri Astuti, mengatakan stunting masih menjadi problem di Indonesia terutama di bagian timur. Sebab, banyak penduduk yang tinggal di pedalaman dan makan seadanya, mereka juga tidak punya akses listrik, dan pakaian seadanya. Akses ke pendidikan juga terbatas, untuk pergi ke sekolah mereka harus berjalan kaki berkilo-kilo meter bahkan menyeberangi sungai.

“Jangan heran bila lebih dari 80 persen dari total penduduk Indonesia mempunyai tingkat pendidikan rendah,” kata Esther.

Oleh karena itu diperlukan terobosan kebijakan, mulai dari penyediaan bahan input seperti benih dan pupuk dan sarana prasarana pertanian yg memadai untuk memproduksi pangan lebih banyak.

ACHMAD NUR HIDAYAT | Pengamat Kebijakan Publik Narasi Institute

Sumber: koran-jakarta.com