Rilis 14 Maret 2022
Kami sering ditanya akankah sanksi terhadap Rusia setelah invasi ke Ukraina menyebabkan krisis energi baru? Bagaimana energi yang dipasok dari Rusia akan diganti? Apa prediksi para eksekutif perusahaan minyak? Bagaimana prediksi harga minyak dunia nanti? Bagaimana solusi untuk Indonesia
Tulisan ini berasal banyak dari catatan pertemuan para ribuan eksekutif perusahaan minyak yang berkumpul di Houston, ibu kota minyak dunia, untuk konferensi energi CERAWeek, yang diselenggarakan oleh S&P Global pada Senin 7 Maret 2022 Pekan lalu.
Pertemuan tersebut bicara sangat relevan karena selain berbicara perkembangan geopolitik yang disebabkan oleh invasi Rusia ke Ukraina, juga berbicara terkait krisis energi yang mungkin terjadi karena sanksi dan embargo terhadap Rusia. Kami akan share dengan anda.
Mohammad Barkindo, Sekretaris Jenderal Organisasi Negara Pengekspor Minyak atau OPEC, dalam sambutannya di Houston, menyampaikan perkembangan dramatis geopolitik yang terjadi dalam beberapa minggu terakhir.
Barkindo mengatakan bahwa sejak pembentukan organisasi OPEC pada tahun 1960, telah terjadi tujuh siklus pasang surut krisis minyak global. Barkondo khawatir bahwa krisis Rusia dapat menyebabkan ‘bencana’ lain seperti itu berarti siklus ke-8.
Peringatannya bertepatan dengan titik balik dalam sejarah energi. Sebagai pembalasan atas serangan Rusia di Ukraina, AS melarang impor minyak Rusia langsung pada 8 Maret, dan Inggris mengumumkan akan membuat langkah serupa dalam beberapa bulan mendatang.
Presiden Joe Biden berbicara tentang menargetkan fondasi dasar ekonomi Rusia yaitu minyak bumi.
Meskipun tidak ada negara UE yang bergabung dengan embargo, pada hari yang sama Komisi Eropa mengumumkan bahwa ketergantungan Uni Eropa pada gas Rusia adalah sekitar 40% dari total konsumsi bahan bakar fosil.
Uni Eropa kemudian menyampaikan strategi energi ke depannya yaitu bahwa ketergantungan Uni Eropa terhadap gas Rusia baru bisa lepas paling cepat 2027.
Putin menanggapi sanksi tersebut dengan pernyataan bahwa Rusia akan memotong ekspor komoditas. Patut diingat bahwa Rusia memiliki ekspor komoditas yang beraneka ragam mulai gandum hingga nikel.
Ekpor Rusia tersebut dapat mengganggu pasar dunia. Harga minyak mentah Brent, yang merupakan patokan internasional, naik di atas $130 per barel.
Bahkan eksekutif S&P Daniel Yergin memprediksi bahwa industri minyak dunia akan berbeda setelah embargo tersebut tidak peduli bagaimana akhirnya.
Mungkinkah Terjadi Kelangkaan Minyak?
Ketika embargo AS terhadap minyak rusia dimulai, para perusahaan minyak besar akan melakukan rehabilitasi sumber minyak di jangka pendek.
Eksekutif perusahaan minyak sadar akan menjadi bulan-bulanan kecaman publik karena harga energi naik oleh karena itu para perusahaan minyak besar akan berbicara tentang pentingnya energi yang ramah iklim merangkul raksasa energi AS yang tidak populer.
Politisi AS dan dunia pun akan menjadi latah bicara pentingnya energi ramah lingkungan disisi lain mereka akan memaksa CEO minyak tersebut untuk memproduksi lebih banyak minyak mentah untuk mengimbangi hilangnya pasokan dari Rusia.
Barkindo, Sekjen OPEC mengatakan “Kita perlu segera meningkatkan produksi minyak dan gas”. Para CEO minyak merasa senang dengan pernyataan Barkindo tersebut. Namun para CEO mulai khawatir karena ini artinya mereka harus berinvestasi lebih besar dimana hal tersebut sangat sulit dilakukan karena mereka tidak punya uang.
Para eksekutif perusahaan minyak khawatir jika minyak Rusia menjadi benar-benar hilang dari pasaran maka harga minyak mentah bisa mencapai $200 per barel tahun ini.
Para eksekutif menjadi gugup karena mereka khawatir bahwa krisis Rusia dapat mematikan industri mereka.
Mereka yang sudah lama melihat energi fosil sebagai energi kuno dan mendorong perlunya alternatif energi terbarukan atau dikenal green energy menjadi senang. Begitu juga politisi AS dan Uni Eropa berideologi lingkungan menjadi memiliki amunisi untuk mempercepat peralihan dari bahan bakar fosil. Akankah politik di negara barat beralih ke green party daripada partai yang berkuasa sekarang?
Apakah harga akan naik?
Apakah harga minyak akan terus naik? Jawabannya tergantung pada beberapa faktor, terutama embargo.
AS mengimpor sejumlah kecil produk minyak bumi dari Rusia, sehingga embargo tersebut tidak berdampak banyak.
Helen Currie, kepala ekonom di perusahaan minyak Amerika ConocoPhillips, berpikir larangan itu tidak akan berdampak banyak, karena kilang Amerika sudah menemukan cara untuk mengoptimalkan hilangnya impor ini.
Kanada juga begitu yakin bahwa mereka dapat meningkatkan produksi ‘besok’ untuk menggantikan sepertiga impor dari Rusia. Namun hal tersebut disikapi dengan lebih hati-hati oleh negara kawasan Uni Eropa, China dan India.
China dan India sebenarnya membenci sanksi Amerika dan menolak untuk mengutuk invasi Rusia dan sadar tidak akan terlibat dalam inisiatif embargo energi semacam itu.
Kenneth Medlock dari Rice University mengatakan bahwa kesepakatan gas baru-baru ini antara Rusia dan China dalam euro daripada dolar adalah tanda bahwa kedua negara melawan sanksi Amerika.
Antoine Halff dari firma analisis data Prancis Kayrros mengatakan bahwa ada pembeli Eropa, Jepang, dan Korea Selatan akan diam-diam membeli minyak Rusia secara diam-diam.
Dia menambahkan dirinya mendengar bisikan dari beberapa bisnis besar yang akan diam-diam juga untuk tetap melakukan pengiriman minyak rusia. Ini terlihat dari peningkatan besar dalam minyak mentah transit selama dua minggu terakhir dari Rusia.
Meskipun demikian data menunjukan bahwa banyak kapal tanker Rusia kehilangan pembeli dan sedang mencari pembeli baru dari tujuan awal mereka.
Ada sekitar 4,5 juta barel per hari sebelum perang, mungkin akan keluar dari pasar.
Barkindo, Sekjen OPEC tidak setuju jika OPEC dituntut meningkatkan produksi minyak mereka dengan mengatakan bahwa “tidak ada yang bisa menggantikan minyak Rusia. Dunia tidak memiliki kapasitas sebesar hilangnya 8 juta barel per hari dari Rusia.”
Ada analisis bahwa mungkin ada tambahan 2 juta dari 8 juta barel per hari akan berasal dari Arab dan Uni Emirat Arab. Namun sikap Arab dan Uni Emirat Arab tidak mau menerima “call dari Joe Biden” menunjukan kelihatannya rezim energi berbiaya tinggi akan muncul.
Arab dan Uni Emirat Arab tidak mau terburu-buru untuk memihak Amerika, para pemimpin Arab dan UEA tidak puas dengan kebijakan AS di Timur Tengah.
Solusi untuk Indonesia
Semua catatan tersebut menambah kekhawatiran dunia terkait harga minyak. Lantas apa yang harus dilakukan Indonesia?
Indonesia harus segera melakukan reorientasi terhadap kebijakan ketahanan energinya. Penggunaan energi fosil Indonesia yang sudah net importir harus dirombak. Kemandirian Energi harus segera diwujudkan. Indonesia harus segera mempercepat kemampuan konversi sawit CPOnya menjadi D100 (Diesel 100) dan Bensin100.
Kartel di dunia sawit harus diurai dan kemudian menjadikan konversi sawit menjadi prioritas kebijakan ekonomi. Indonesia harus menjadi negara pertama di dunia yang dapat mandiri dari energi fosil dalam waktu 1 tahun kedepan.
Hal tersebut sangat mungkin karena Indonesia adalah produksi CPO minyak sawit dunia terbesar di dunia. Indonesia harus segera bertindak jangan sampai menunggu harga minyak USD 200 per barel.
Kementerian ESDM, Kementerian Keuangan dan Kementerian BUMN harus melakukan koordinasi mempercepat konversi sawit menjadi bahan bakar diluar fosil bagi konsumsi dalam negeri dengan begitu Indonesia bisa selamat dari krisis energi yang dalam waktu dekat.
Indonesia tidak boleh salah prioritas lagi, fokus kepada kebijakan ketahanan energi jangan yang lain. Ini bukan waktunya pencitraan apalagi minta penundaan pemilu dan perpanjangan jabatan. Ayo bergerak! END