Opini

Menjelang keberangkatan jemaah haji yang akan dilaksanakan tanggal 4 Juni 2022 Indonesia dikagetkan dengan informasi permohonan penambahan dana haji di DPR sebesar 1,5 triliun. Tentunya DPR pun terkejut dengan permintaan yang sangat mendadak ini mengingat pemberangkatan haji sudah sangat dekat.

Tambahan dana ini bersumber dari nilai manfaat dan nilai efisiensi dana keuangan haji dari tahun 2014 sampai tahun 2019 jadi tidak ada setoran tambahan dari jamaah haji yang berangkat tahun ini.

Tambahan disebabkan oleh kenaikan biaya masyair yang diinformasikan oleh otoritas Arab Saudi pada tanggal 21 Mei yang lalu secara mendadak. 

Pada dasarnya DPR menyetujui permintaan dari menteri agama untuk menambah dana haji yang diminta 3 hari sebelum pemberangkatan jamaah adalah keputusan yang tepat. Hal ini akan membuat para jamaah haji merasa tenang. Tapi yang kurang dari catatan rapat dari RDP adalah DPR harusnya meminta BPK atau BPKP untuk mengaudit. Kesempatan penambahan dana haji ini tidak boleh ada penyimpangan. Jangan sampai karena waktu yang sudah mendesak karena jamaah harus berangkat maka kemudian pemerintah mengajukan anggaran secara serampangan, tidak transparan dan terdapat konflik kepentingan di dalamnya.

Untuk itu DPR perlu menugaskan BPK dan BPKP untuk mengaudit ini. Apakah dana besar tersebut digunakan untuk tambahan biaya layanan masyair atau konflik kepentingan di dalamnya.

Ini dana publik jadi harus diawasi dengan benar. Walaupun dana ini diambil dari dana pengolahan BPKH tapi harus diwaspadai karena ini menyangkut dana yang besar. Pengalaman di beberapa periode yang lalu dana haji ini sering dijadikan praktek-praktek konflik kepentingan dan korupsi.

Tahun depan Kemenag harus lebih matang lagi dalam merencanakan. Jika dilihat dari komponen dana tambahan disebutkan bahwa biaya masya’ir sebesar Rp. ,4 triliun, kemudian ada tambahan cukup besar sekitar 25 miliar untuk biaya teknik landing jamaah untuk embarkasi Surabaya. Kenapa hanya Surabaya saja yang mendapat biaya tambahan? Selanjutnya 19 miliar sebagai dikarenakan oleh selisih kurs kontak penerbangan dengan biaya uptodate. Harusnya selisih kurs ini dikomunikasikan dengan Bank Indonesia (BI), karena BI mempunyai program Non Derivable Forward (NDF) untuk melindungi nilai dari selisih kurs. Dan BI adalah perangkat negara. Bisa saja dengan dibuatkan satu opsi yaitu Depag membeli NDF nya BI, biar nanti yang mencover bukan Jamaah, tapi dibiarkan menggunakan mekanisme pasar. 19 miliar hanya untuk selisih kurs ini amat disayangkan.

Dari sisi negosiasi quota haji juga pemerintah harusnya bisa menegosiasikan jemaah untuk tahun depan berapa penambahannya. Mengingat dua tahun ini jemaah Indonesia tidak diberangkatkan. Ini adalah kewajiban diplomasi dari pemerintah Indonesia yang dalam hal ini Departemen Agama dan Dirjen Penyelenggara haji untuk melakukan negosiasi.

Biaya tambahan masyair harus juga di crosscheck ke pemerintahan Arab Saudi. Jika benar maka pemerintah memberikan satu Notis kenapa permintaan ini sangat mendadak. Ini bagian embeded dari DPR untuk melakukan investigasi atas semua permintaannya pemerintah. Ini butuh waktu. Manakala penambahan ini terbukti tidak benar dan mengandung konflik kepentingan di dalamnya maka Kemenag harus bertanggung jawab.

Untuk hal semacam ini perlu adanya kehati-hatian, pengawasan dan investigasi sehingga tidak terjadi penyimpangan.