Kenaikan tarif ojol mungkin menjadi kabar baik sesaat bagi driver, tetapi tanpa pembenahan struktural, itu hanya ilusi kesejahteraan
Apakah Kenaikan Tarif Ojol Memang untuk Kebaikan Pengemudi?
Mengapa tarif ojek online akan dinaikkan 8 hingga 15 persen, dan apa makna kebijakan ini bagi rakyat?
Mungkin di mata pemerintah, kenaikan tarif ojol adalah solusi instan untuk menenangkan para pengemudi yang sudah lama menuntut keadilan tarif.
Namun, benarkah kenaikan tarif ini akan membuat kehidupan mereka lebih sejahtera?
Jika kita melihat kenyataan di lapangan, tarif naik memang terdengar menyejukkan bagi para pengemudi, seolah pendapatan mereka akan langsung bertambah.
Namun, di balik narasi itu tersembunyi fakta yang lebih dalam.
Kenaikan tarif tidak otomatis menaikkan pendapatan driver karena potongan dari aplikator tetap tinggi.
Bahkan, sebagian pihak menilai, kebijakan ini justru menguntungkan perusahaan platform ketimbang pengemudi itu sendiri.
Tarif Naik, Keadilan Tidak Ikut Naik
Bayangkan seseorang menimba air dari sumur, tetapi timbanya bocor.
Seberapa banyak pun air yang diambil, jika kebocoran itu tidak diperbaiki, maka air tak pernah cukup untuk memenuhi kebutuhan.
Kenaikan tarif ojol ibarat menambah banyaknya air yang ditimba, tapi kebocoran di timba tidak pernah ditambal.
Kebocoran itu adalah potongan pendapatan driver oleh aplikator, yang bisa mencapai 20 hingga 40 persen dari total tarif yang dibayar pelanggan.
Secara logika sederhana, kenaikan tarif tanpa pembatasan potongan hanya akan meningkatkan pemasukan bruto, bukan bersih.
Perusahaan aplikator mendapatkan persentase dari tarif, sehingga saat tarif naik, pendapatan aplikator juga naik.
Namun bagi pengemudi, jika kenaikan tarif diikuti penurunan jumlah penumpang karena harga menjadi mahal, pendapatan bersihnya justru stagnan atau bahkan turun.
Siapa yang Diuntungkan?
Di sinilah letak masalah kebijakan publik kita yang kerap berhenti di permukaan.
Saat pemerintah hanya menetapkan tarif minimum tanpa meregulasi potongan aplikator atau skema insentif yang manusiawi, maka kebijakan itu ibarat menabur pupuk di tanah yang sudah tandus, tanpa pernah membajak atau menyiraminya.
Yang tumbuh hanya ilusi hijau, bukan kesejahteraan sejati.
Jika orientasi kebijakan ini adalah keadilan sosial, maka semestinya pengemudi memiliki daya tawar untuk menentukan tarif dan potongan yang adil.
Namun hingga hari ini, mereka hanya disebut “mitra” secara formal, tanpa hak mengambil keputusan strategis atas nasib sendiri.
Bahkan penentuan insentif, skema kerja, hingga tarif, sepenuhnya berada di tangan aplikator dan regulator. Pengemudi hanya melaksanakan, menerima, dan menanggung risiko atas setiap kebijakan.
Ketimpangan dalam Platform Ekonomi Digital
Kita sering memuja teknologi digital sebagai penopang inklusi ekonomi.
Namun, bagaimana jika inklusi itu hanya ilusi?
Struktur kerja platform ojol yang menempatkan driver sebagai mitra tanpa hak tawar mencerminkan ketimpangan relasi industrial modern.
Mereka bukan pekerja tetap dengan jaminan, namun juga bukan pengusaha yang menentukan harga jual jasanya.
Mereka hidup dalam ruang abu-abu, tanpa kepastian, tanpa kejelasan jaminan sosial memadai, dan tanpa suara dalam pembuatan keputusan.
Analogi lain, driver ojol seperti petani plasma di bawah perusahaan inti.
Mereka boleh mengelola lahannya, tetapi harga jual, bibit, dan distribusi dikendalikan perusahaan inti.
Dalam kondisi demikian, risiko jatuh di pundak mereka, sedangkan keuntungan besar dinikmati perusahaan.
Kenaikan Tarif dan Inflasi Barang: Siapa Menanggung?
Dari sisi makroekonomi, kenaikan tarif ojol menambah tekanan inflasi pada barang konsumsi rakyat.
Banyak UMKM menggunakan layanan ojol untuk distribusi barang dan makanan.
Ketika tarif naik, biaya distribusi naik, harga jual barang pun terdorong naik.
Pada akhirnya, konsumen yang sebagian besar masyarakat menengah bawah harus membayar harga lebih mahal. Keadilan sosial seperti apa yang sedang kita bangun jika kebijakan ini justru menambah beban hidup rakyat kecil?
Pemerintah mungkin berargumen, kenaikan tarif ini demi menjaga kelangsungan profesi driver.
Namun jika profesi itu sendiri tidak memberikan kesejahteraan meski tarif naik, apa yang sebenarnya sedang kita pelihara?
Bukankah kita justru sedang menunda ledakan sosial yang lebih besar, ketika para driver ini semakin sadar bahwa posisi mereka makin lemah di hadapan platform dan negara?
Solusi Berkeadilan: Lebih dari Sekadar Tarif
Keadilan dalam ekosistem transportasi digital membutuhkan keberanian pemerintah mengatur potongan aplikator secara tegas.
Pembatasan potongan maksimal 10-15 persen adalah langkah awal yang bisa memastikan kenaikan tarif benar-benar dinikmati driver, bukan hanya menambah keuntungan perusahaan.
Lebih dari itu, perlu ada perumusan formula tarif berbasis inflasi dan pertumbuhan ekonomi.
Tidak bisa tarif ditentukan secara sepihak oleh regulator dan aplikator tanpa mekanisme partisipasi pengemudi.
Sama halnya dengan penetapan upah minimum pekerja yang melibatkan serikat buruh, pengemudi ojol juga perlu forum serupa.
Keadilan juga menuntut negara mengakui realitas: driver ojol bukan sekadar mitra.
Mereka bekerja penuh waktu, mengandalkan hidup sepenuhnya dari platform.
Dengan demikian, skema jaminan sosial ketenagakerjaan dan kesehatan wajib menjadi tanggung jawab bersama pemerintah dan aplikator.
Jika negara hanya berdiri di sisi aplikator atas nama efisiensi digital, maka negara sedang meninggalkan prinsip keadilan sosial yang tertuang dalam konstitusi.
Mengembalikan Keadilan Sosial bagi Driver Ojol
Kita selalu bangga menyebut Indonesia sebagai negara gotong royong.
Namun, gotong royong itu semestinya juga tercermin dalam ekosistem ekonomi digital kita.
Jangan biarkan aplikator menikmati laba jutaan dolar, sementara para driver hanya mendapat remah, bahkan tak memiliki ruang untuk menentukan skema kerja yang layak.
Kenaikan tarif ojol mungkin menjadi kabar baik sesaat bagi driver, tetapi tanpa pembenahan struktural, itu hanya ilusi kesejahteraan.
Kebijakan yang menambah beban rakyat kecil bukanlah solusi. Keadilan ekonomi digital menuntut keberpihakan negara kepada yang lemah dan tersisih oleh mekanisme pasar platform.
Jika driver ojol masih diposisikan sebagai mitra tanpa hak tawar, maka kenaikan tarif hanya akan menambah keuntungan aplikator dan membebani rakyat.
Negara harus hadir untuk menegakkan keadilan sosial, memastikan driver hidup layak, dan rakyat tidak menanggung inflasi transportasi yang seharusnya menjadi tanggung jawab bersama.
Penutup: Keadilan Tarif, Keadilan Sosial
Pada akhirnya, pertanyaan sederhana yang harus kita jawab: untuk siapa tarif ojol dinaikkan?
Jika jawabannya untuk kesejahteraan driver, maka kebijakan ini harus diikuti dengan pembatasan potongan aplikator dan penguatan hak tawar mereka dalam struktur kerja digital.
Jika tidak, maka kenaikan tarif hanya akan menambah keuntungan perusahaan platform dan membebani rakyat kecil.
Kebijakan publik sejati adalah kebijakan yang berpihak pada keadilan sosial dan kemanusiaan, bukan sekadar menambah angka dalam tarif tanpa membenahi struktur ketimpangan di baliknya.
END


