JAKARTA – Pemerintah dan Bank Indonesia (BI) harus bekerja ekstra keras melakukan terobosan kebijakan guna mencegah kurs rupiah terdepresiasi semakin dalam. Hal itu penting karena pelemahan rupiah merupakan inflasi langsung yang nyata dirasakan masyarakat.

Bukan sekadar angka statistik yang disajikan secara periodik oleh Badan Pusat Statistik (BPS), tetapi oleh sebagian kalangan kurang dianggap valid karena hanya sekadar utak-atik angka saja, jauh dari realita yang dirasakan masyarakat banyak.

Para pemimpin pun seperti Menteri Keuangan dan jajaran pimpinan Bank Indonesia (BI) sebaiknya tidak membuat pernyataan yang terkesan kurs rupiah melemah sebagai sesuatu yang wajar seperti yang dialami negara-negara lain.

Apalagi dalam berbagai kesempatan, para decision maker di sektor keuangan kerap membandingkan pelemahan rupiah terhadap dollar Amerika Serikat (AS) masih lebih baik dibanding dengan negara-negara lain, padahal sudah terdepresiasi lebih dari 5 persen hanya dalam empat bulan.

Ekonom UPN Veteran Jakarta, Achmad Nur Hidayat, saat diminta pandangannya di Jakarta, Minggu (28/4), mengatakan statement yang disampaikan para pejabat itu sengaja menggiring opini publik. Terperosoknya rupiah seakan-sakan karena dampak eksternal, yaitu ketidakpastian ekonomi global dan sinyal Bank Sentral AS, Federal Reserve yang menahan penurunan suku bunga acuan Fed Fund Rate, karena target inflasi 2 persen sulit tercapai.

Padahal, masalah yang fundamental membuat rupiah jatuh karena kegagalan membuat kebijakan yang bisa memperkuat perekonomian nasional saat ekonomi global lesu, terutama mengupayakan kemandirian pangan dan energi, serta mengurangi kebergantungan pada komoditas impor.

Dia mencontohkan kurang seriusnya pemerintah mengembangkan energi baru terbarukan (EBT) dan memacu produksi pangan dalam negeri yang membuat kebergantungan pada impor masih sangat besar. “Ketika harga pangan dan energi di dunia melonjak maka subsidi APBN untuk dua sektor tersebut naik drastis,” kata Achmad.

Dia pun meminta BI memperkuat nilai tukar rupiah bukan hanya melalui intervensi pasar, tetapi melalui pembenahan struktural yang akan memperbaiki ekonomi dari dalam. Melalui pendekatan yang lebih holistik dan fokus pada kekuatan internal ekonomi, Indonesia dapat membangun fondasi yang lebih kokoh untuk pertumbuhan ekonomi jangka panjang yang inklusif dan berkelanjutan.

Achmad mengatakan kalau tidak serius membenahi tingkat suku bunga dan fiskal, nilai tukar rupiah tidak akan menguat secara berkelanjutan, malah makin jeblok. Untuk aspek fundamental ekonomi, Indonesia memerlukan serangkaian reformasi yang mendalam.

“Upaya ini harus dengan serius dilakukan, karena jika tidak, cadangan devisa Indonesia tidak akan mencukupi untuk mengintervensi dollar AS yang sudden flight,” katanya.

Menyikapi pelemahan rupiah seminggu terakhir, dia memperkirakan cadangan devisa sudah tergerus 2,6 miliar dollar AS menjadi 137,8 miliar dollar AS per akhir April 2024.

Dia juga mendorong pemerintah untuk melakukan serangkaian diversifikasi pembiayaan pembangunan ekonomi dengan mengurangi ketergantungan pada utang luar negeri baik jangka pendek maupun jangka panjang.

“Kurangi ketergantungan pada dollar karena kenaikan rupiah saat ini benar-benar memberatkan masyarakat, inflasi di masyarakat nyata adanya,” katanya.

Utang dan impor, menurut Achmad, sangat membebani anggaran negara dengan pembayaran bunga yang besar sehingga membatasi kemampuan pemerintah untuk berinvestasi dalam pembangunan ekonomi domestik.

Demikian pula defisit transaksi berjalan di Indonesia yang terus-menerus mencerminkan ketidakseimbangan antara impor dan ekspor, yang menunjukkan kekurangan dalam daya saing produk domestik atau ketergantungan pada impor.

“Ketidakseimbangan neraca perdagangan ini memperparah tekanan pada rupiah, membuat ekonomi Indonesia lebih rentan terhadap guncangan eksternal, sehingga sangat penting untuk melakukan reformasi ekonomi yang lebih mendalam dan berkelanjutan, bukan hanya merespons fluktuasi nilai tukar semata. Kita perlu mendorong peningkatan produksi domestik dan diversifikasi ekspor untuk mencapai keseimbangan ekonomi yang lebih stabil dan berkelanjutan,” kata Achmad.

Subsidi BBM Bengkak

Secara terpisah, Direktur Eksekutif Indef, Esther Sri Astuti, mengatakan rasio utang terhadap produk domestik bruto (PDB) sudah mencapai 38 persen sehingga dengan nilai tukar yang terdepresiasi akan meningkatkan nilai cicilan dan bunga karena utang luar negeri dibayar dengan dollar AS.

“Belum lagi besarnya subsidi bahan bakar minyak (BBM) juga akan bengkak karena harga minyak naik, sehingga kenaikan harga minyak dan depresiasi nilai tukar rupiah akan berdampak pada inflasi,” katanya.

Ia juga mengimbau pemerintah agar lebih efisien dan tidak boros dengan memilih program prioritas yang berdampak jangka panjang dan mempunyai multiplier effect besar.

Sumber: koran-jakarta.com