NERACA Jakarta – Setahun lebih telah berlalu sejak pengesahan UU Cipta Kerja Omnibus Law, namun suara penolakan dari kalangan buruh dan pekerja terus bergema, terutama pada peringatan Hari Buruh 2024. Pasalnya masih menjadi bagi kaum buruh hal itu disampaikan oleh Achmad Nur Hidayat MPP, Pakar Kebijakan Publik dan Ekonom UPN Veteran Jakarta.
Menurut Achmad, ada beberapa hal yang membuat kaum buruh terus melakukan penolakan terhadap UU Cipta Kerja Omnibus Law. Pertama dan terutama, di tengah kondisi ekonomi yang tertekan dengan kenaikan harga sembako dan biaya hidup, buruh merasa bahwa perlindungan yang mereka peroleh semakin mengkhawatirkan. “UU ini, yang dimaksudkan untuk memudahkan investasi dan efisiensi industri, tampaknya memperburuk kondisi pekerja dengan menetapkan upah minimum yang tidak memadai, terutama di tengah inflasi yang tinggi,” ujar Achmad seperti diketerangannya kepada Neraca, Rabu (1/5).
Selain itu, salah satu isu utama yang diangkat adalah konsep ‘upah murah’ yang diperkenalkan oleh UU ini. UU Cipta Kerja menghapuskan mekanisme penetapan upah yang melibatkan unsur tripartit, yang biasanya lebih menguntungkan pekerja dengan mempertimbangkan inflasi dan pertumbuhan ekonomi. “Sebaliknya, aturan baru ini memungkinkan penetapan upah yang tidak memenuhi standar kelayakan hidup, membuat pekerja merasa tidak ada peningkatan nyata dalam kesejahteraan mereka,” ujarnya lagi.
Disamping itu, lanjut Achmad, Outsourcing menjadi sorotan karena tidak lagi dibatasi jenis pekerjaannya, yang bisa berarti pekerjaan apapun dapat di-outsourcing. Ini menciptakan ketidakpastian kerja yang besar bagi buruh, yang mungkin harus menghadapi kontrak yang berulang-ulang tanpa harapan menjadi pegawai tetap.
Lalu, PHK yang dipermudah dan pesangon yang dikurangi menjadi hanya 0,5 kali dari sebelumnya adalah dua perubahan yang sangat mengkhawatirkan. Praktik ‘easy hiring easy firing’ ini membuat pekerja merasa tidak ada keamanan dan stabilitas kerja, sementara pengurangan pesangon memperlemah jaring pengaman finansial mereka saat menghadapi pemutusan hubungan kerja.
Kemudian, peraturan terkait tenaga kerja asing juga menjadi titik tekan. Kini, TKA dapat bekerja terlebih dahulu sebelum urusan administrasi mereka diselesaikan, yang membuka pintu bagi praktik tenaga kerja murah yang dapat menggusur pekerja lokal.
Dan sorotan terakhir adalah terhadap fleksibilitas jam kerja dan pengaturan cuti, yang memperparah ketidakpastian upah—terutama bagi buruh perempuan yang mengambil cuti menstruasi atau melahirkan—dan dihapusnya beberapa sanksi pidana yang sebelumnya melindungi hak-hak buruh.
“Kombinasi dari semua faktor ini menunjukkan sebuah gambaran dimana buruh dan pekerja merasa sebagai kelas yang paling menderita di bawah undang-undang baru ini, terutama di saat ekonomi sedang tidak stabil. Makanya UU Cipta Kerja Omnibus Law masih menjadi ancaman dan momok menakutkan bagi para buruh,” tegasnya.
Sementara itu, Asosiasi Serikat Pekerja (Aspek) Indonesia meminta Prabowo Subianto – Gibran Rakabuming Raka sebagai Presiden dan Wakil Presiden terpilih yang akan menggantikan pemerintahan Joko Widodo untuk mencabut Omnibus Law UU Cipta Kerja yang disebut merugikan tenaga kerja di seluruh Tanah Air.
Presiden Dewan Pimpinan Pusat Aspek, Mirah Sumirat mengatakan dampak buruk Omnibus Law Undang Undang Cipta Kerja, khususnya isu terkait dengan Ketenagakerjaan telah dirasakan oleh rakyat Indonesia. “Undang-undang Cipta Kerja telah membuat pekerja Indonesia semakin miskin, karena telah menghilangkan jaminan kepastian kerja, jaminan kepastian upah dan juga jaminan sosial,” kata Mirah.
Dia pun menjelaskan sederet dampak buruk penerapan UU Ciptaker yakni terkait soal penetapan upah minimum yang tidak lagi melibatkan unsur tripartit dan kenaikannya tidak memenuhi unsur kelayakan.
Untuk itu, Aspek Indonesia menuntut pemerintah untuk merevisi Peraturan Pemerintah No. 51/2023 tentang formula penghitungan upah minimum. Mirah meminta untuk mengembalikan aturan mekanisme penghitungan yang sebelumnya.
Sumber: neraca.co.id