NERACA.Jakarta – Indonesia meiliki Sumber Daya Alam (SDA) yang melimpah, salah satunya nikel. Namun, harapan komoditas nikel akan menjadi penopang ekonomi terbesar bagi Indonesia akan menjadi sebuah harapan kosong, sebab dalam waktu dekat cadangan nikel terancam tak tersisa seiring dengan penggalian cadangan nikel atau eksploitasi nikel yang dilakukan secara besar-besaran yang hanya menguntungkan China.

“Cadangan nikel Indonesia menghadapi tantangan serius, dengan estimasi tersisa sekitar 5,2 miliar ton baik jenis saprolit maupun limonit, yang diperkirakan hanya akan mencukupi selama 6-11 tahun lagi,” ujar Achmad Nur Hidayat,Ekonom yang juga Pakar Kebijakan Publik UPN Veteran Jakarta kepada Neraca, Rabu (17/01).

Berdasarkan data yang ada menurut Achmad, penipisan cadangan ini disebabkan oleh ekspansi fasilitas pengolahan dan pemurnian (smelter) yang terus berkembang. Dimana, saat ini terdapat 44 smelter untuk pirometalurgi saprolit dan 3 smelter untuk hidrometalurgi limonit. Dengan konsumsi tahunan sebesar 210 juta ton saprolit dan 23,5 juta ton limonit, perluasan fasilitas pemurnian melalui pembangunan smelter baru yang masih dalam tahap konstruksi dan perencanaan menjadi kebutuhan mendesak.

“Meskipun ada potensi tambahan sekitar 17 miliar ton nikel di luar green area yang belum dieksplorasi, perlu dipertimbangkan strategi berkelanjutan untuk menghindari risiko menjadi pengimpor bijih nikel dalam beberapa tahun ke depan, terutama bagaimana mengatasi dampak kerusakan lingkungan yang ditimbulkan,” ujarnya lagi.

Pada kesempatan berbeda, Peneliti Satya Bumi Sayyidatihayaa Afra menyatakan eksploitasi berlebihan nikel sudah terjadi di Indonesia. Pemerintah, menurut wali lingkungan itu, berada di belakangnya melalui intervensi legitimasi politik.

Ambisi pemerintah menjadi pemain kunci rantai kendaraan elektrik global dianggap menggiring eksploitasi tambang nikel yang berlebihan. Era neo-ekstraktivisme pun mulai terjadi, industri ekstraktif tetap menjadi prioritas meski menimbulkan perampasan tanah dan perusakan keanekaragaman hayati.

Hayaa menyebutkan berbagai kebijakan pemerintah belakangan ini menunjukkan kecenderungan untuk menyokong tumbuhnya praktik neo-ekstraktivisme ini. Pengesahan revisi UU No 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara menjadi UU No 3 Tahun 2020 dan pengesahan Perppu No. 1 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja semakin memperkuat arah politik pertambangan dan tata kelola pertambangan yang berpijak pada kemudahan investasi dan mengabaikan lingkungan serta masyarakat terdampak. “Kebijakan-kebijakan ini cenderung bercorak regulatory capture yang secara konsisten diarahkan menjauh dari kepentingan publik menuju kepentingan industri. Regulasi seperti ini akan menjauhkan komitmen pemerintah untuk menyediakan instrumen hukum dan keadilan lingkungan,” kata Hayaa.

Sementara itu, Deputi Bidang Koordinasi Investasi dan Pertambangan Kemenko Marves Septian Hario Seto menegaskan bahwa angka-angka terkait nilai tambah dampak hilirisasi bahan mentah, seperti nikel tidak lagi perlu diperdebatkan karena angkanya sudah jelas.

Septian pun justru menyoroti perlunya hilirisasi di sektor lain yang dapat diintegrasikan jadi sebuah ekosistem industri, “Yang perlu dorong adalah hilirisasi untuk sektor lain dan mengintegrasikan semua komoditas jadi ekosistem industri,” jelas Septian.

Ia mengatakan, setelah hilirisasi, akan terbentuk ekosistem baterai dan EV kompetitif, sehingga terbangun juga ekosistem industri. Di sisi lain, Septian juga mengantisipasi eksploitasi nikel yang jor-joran.

Pasalnya ia melihat harga nikel dan juga harga Nickel Pig Iron (NPI) cukup rendah. Dia merinci, saat ini beberapa smelter laba-ruginya juga negatif karena harga nikel yang cukup rendah ini. “Jadi mekanisme pasar ini akan membuat mereka mengurangi ekspansi untuk NPI nya. Itu pertama. Tapi kita lihat untuk yang untuk dari bahan baku baterai ini saya kira masih sangat baik, jadi masih ada ekspansi cukup besar untuk sektor ini,” tandasnya.

Sumber: neraca.co.id