Proyek Kereta Cepat Jakarta Bandung (KCJB) telah menjadi sorotan utama dalam dinamika pembangunan infrastruktur Indonesia dalam beberapa tahun terakhir.
Namun, proyek yang seharusnya menjadi simbol kemajuan ini kini tenggelam dalam kontroversi yang tak terelakkan.
Pembengkakan Biaya Proyek KCJB
Salah satu isu yang mengguncang proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung adalah pembengkakan biaya yang signifikan. Biaya proyek yang semula diestimasi sekitar US$ 6,071 miliar telah melonjak menjadi US$ 7,5 miliar atau sekitar Rp 112,5 triliun, dengan eskalasi harga menjadi penyumbang terbesar dalam pembengkakan tersebut dan per 15 September 2022, pembengkakan biaya mencapai US$ 1,449 miliar atau sekitar Rp 21,74 triliun.
Eskalasi harga ini adalah penyumbang terbesar dalam pembengkakan biaya proyek, dengan peningkatan sebesar US$ 401 juta atau 27,8% dari total pembengkakan biaya.
Ini mencerminkan tantangan serius dalam pengelolaan proyek infrastruktur besar seperti KCJB dan menunjukkan perlunya tindakan yang tepat untuk mengelola perubahan biaya yang mungkin terjadi selama proyek berlangsung.
Dan ini mencerminkan peran pemerintah Indonesia dan China dalam proyek ini. Pemerintah Indonesia sekarang harus menjamin utang proyek yang semula diharapkan dapat berjalan sebagai bisnis antara badan usaha milik negara (BUMN) dengan perusahaan China. Pertanyaan muncul tentang bagaimana peran China dalam merundingkan pembengkakan biaya dan apakah Indonesia harus menerima kondisi yang ditetapkan oleh China.
Penggunaan Dana APBN
Tidak hanya itu isu yang sedang hangat di perbincangkan mengenai Penggunaan dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) untuk menjamin utang proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung (KCJB) ini adalah suatu keputusan yang patut mendapat sorotan tajam.
Presiden Joko Widodo telah dengan tegas berjanji kepada rakyat bahwa uang rakyat tidak akan digunakan untuk mendukung proyek ini. Namun, realitas yang terungkap adalah sebaliknya, dan kebijakan ini menciptakan beberapa isu yang patut diperhatikan.
Janji adalah satu hal yang sangat penting dalam kepemimpinan. Ketika seorang pemimpin, terutama seorang presiden, memberikan janji kepada rakyatnya, maka janji tersebut harus dipegang teguh.
Janji-janji ini menciptakan harapan dan kepercayaan yang sangat diperlukan dalam proses demokrasi. Oleh karena itu, ketika seorang pemimpin melanggar janjinya, hal itu menciptakan ketidakpercayaan yang merusak dan meragukan komitmen pemimpin tersebut pada prinsip-prinsip etika dan kejujuran.
Penggunaan APBN untuk menjamin utang proyek KCJB menimbulkan pertanyaan tentang prioritas pengeluaran negara.
Sumber daya keuangan negara seharusnya digunakan untuk kepentingan rakyat secara lebih luas, seperti pendidikan, kesehatan, infrastruktur dasar, dan pemberdayaan ekonomi.
Ketika dana APBN dialokasikan untuk proyek-proyek infrastruktur besar yang semula tidak dianggarkan, itu mengambil anggaran dari sektor-sektor yang mungkin lebih mendesak.
Ini adalah kebijakan yang merugikan rakyat dan dapat menghambat pertumbuhan dan kesejahteraan mereka.
Keputusan untuk menggunakan APBN juga mencerminkan kurangnya pengelolaan risiko yang baik dalam proyek ini. Proyek infrastruktur besar selalu memiliki risiko perubahan biaya dan kondisi yang mungkin terjadi selama pelaksanaan.
Oleh karena itu, penting bagi pemerintah dan pengelola proyek untuk memiliki strategi pengelolaan risiko yang matang. Penggunaan APBN sebagai jaminan utang menunjukkan bahwa tidak ada rencana yang memadai untuk mengatasi perubahan situasi yang mungkin terjadi.
keterlibatan keuangan negara dalam proyek KCJB menciptakan risiko terhadap defisit APBN yang semakin melebar, peningkatan utang negara, serta pengurangan ruang fiskal yang dapat mengganggu alokasi sumber daya keuangan negara untuk sektor-sektor lain yang krusial bagi kesejahteraan masyarakat.
Secara keseluruhan, penggunaan APBN untuk menjamin utang proyek KCJB adalah keputusan yang kontroversial dan memunculkan banyak kritik.
Ini mencerminkan ketidaksesuaian antara janji-janji yang dibuat oleh pemimpin sebelumnya dan realitas pelaksanaan proyek. Ini menunjukkan pentingnya pemimpin untuk mempertimbangkan implikasi jangka panjang dari janji-janji mereka dan kemampuan untuk menghadapi perubahan situasi yang tidak terduga.
Tanggapan dari Sri Mulyani tentang manajemen risiko yang matang
Jika menanggapi Tanggapa dari Sri Mulyani tentang manajemen risiko yang matang dan pengandalian pendapatan PT KAI sebagai jaminan terhadap proyek KCJB masih perlu dipertanyakan.
Sejarah proyek infrastruktur besar yang telah mengalami pembengkakan biaya dan masalah lainnya, meskipun telah diawasi oleh lembaga audit, menunjukkan bahwa audit saja tidak cukup untuk menjamin keberhasilan proyek.
Mengandalkan pendapatan PT KAI sebagai jaminan juga berisiko, karena pendapatan perusahaan dapat dipengaruhi oleh faktor eksternal yang tidak selalu dapat diprediksi. Sehingga, terdapat keraguan apakah manajemen risiko yang diakui oleh pemerintah benar-benar dapat menjamin kelancaran proyek ini.
Dalam konteks ini, perlu adanya tindakan lebih transparan dan akuntabel untuk mengelola risiko proyek KCJB dengan lebih baik.
Kesimpulan & Rekomendasi
Proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung (KCJB) telah menjadi sorotan utama dalam dinamika pembangunan infrastruktur Indonesia, terutama terkait dengan pembengkakan biaya dan penggunaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang sebelumnya dijanjikan tidak akan terjadi.
Meskipun pemerintah menyatakan telah melakukan manajemen risiko yang matang, kenyataannya proyek ini masih terus mengalami pembengkakan biaya yang signifikan.
Selain itu, penggunaan dana APBN untuk menjamin utang proyek KCJB telah menimbulkan pertanyaan tentang prioritas pengeluaran negara dan risiko terhadap defisit APBN. perlu adanya tindakan untuk mengelola risiko proyek KCJB dengan lebih baik diantanya:
Pertama,Transparansi dan Akuntabilitas yang Tinggi,Pemerintah harus meningkatkan transparansi dalam pengelolaan proyek KCJB, dengan memberikan laporan yang jelas dan terbuka kepada publik mengenai penggunaan dana APBN, perubahan biaya, dan manajemen risiko. Akuntabilitas harus menjadi prioritas utama.
Kedua, Pemerintah harus menghormati janji-janji yang telah diberikan kepada rakyat, terutama terkait dengan penggunaan dana APBN. Melanggar janji-janji ini dapat merusak kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah.
Ketiga,Kebijakan Pengeluaran APBN yang Bijaksana,diperlukan evaluasi kembali prioritas pengeluaran APBN, dengan memastikan bahwa dana negara digunakan untuk sektor-sektor yang lebih mendesak dan memiliki dampak yang lebih luas pada kesejahteraan masyarakat.
Keempat, Pemerintah harus meningkatkan pengelolaan risiko dalam proyek infrastruktur besar seperti KCJB. Ini termasuk pengembangan strategi pengelolaan risiko yang matang dan pemahaman yang lebih baik tentang potensi perubahan biaya selama pelaksanaan proyek.
Terakhir, Pemerintah harus mempertimbangkan kembali model keterlibatan sektor swasta dalam proyek-proyek infrastruktur besar. Memastikan bahwa proyek ini dapat menjadi lebih mandiri secara komersial adalah langkah yang penting.
Keseluruhan, rekomendasi-rekomendasi ini harus menjadi landasan dalam memitigasi risiko yang ada, menjaga integritas janji-janji pemerintah, dan memastikan bahwa proyek KCJB memberikan manfaat yang seimbang dan berkelanjutan bagi rakyat Indonesia
Oleh: Achmad Nur Hidayat, Ekonom dan Pakar Kebijakan Publik UPN Veteran Jakarta