Kualitas udara di Jakarta semakin memburuk, menarik perhatian publik dan memunculkan pertanyaan besar: Mengapa Pj Gubernur DKI tidak mampu mengatasi masalah ini? Sementara klaim dan upaya dilakukan, tapi polusi makin merajalela.

Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta harus siap menghadapi kritikan tajam terkait memburuknya kualitas udara di wilayah ini, dengan data terbaru dari perusahaan teknologi Swiss, IQAir, yang menunjukkan angka alarm kualitas udara Jakarta mencapai 164 poin atau kategori “tidak sehat”, bahkan lebih parah dibandingkan beberapa kota internasional seperti Dubai, Uni Emirat Arab, dan Kuala Lumpur, Malaysia. Meski penjabat Gubernur DKI Jakarta, Heru Budi Hartono, mengklaim telah mengambil tindakan, polusi udara tetap memburuk, dengan penudingan terhadap kendaraan tua dan usulan pergeseran industri ke luar kota, yang memunculkan pertanyaan mengenai arah tindakan pemerintah.

Jumlah kendaraan di jalanan ibu kota terus meningkat. Data yang disampaikan Heru menyebutkan bahwa kendaraan roda empat telah meningkat dari 4 juta menjadi 6 juta dalam waktu 1,5 tahun, sementara kendaraan roda dua dari 14 juta menjadi 16 juta. Heru menekankan bahwa ini adalah beban besar bagi Jakarta.

Solusi yang diusulkan oleh pemerintah antara lain penggunaan kendaraan listrik, penanaman pohon di seluruh wilayah DKI Jakarta, dan pengembangan transportasi massal. Namun, apakah langkah-langkah ini sudah cukup efektif dalam menghadapi krisis udara yang semakin parah?

Presiden Joko Widodo (Jokowi) juga memberikan pandangan bahwa pemindahan Ibu Kota ke Ibu Kota Nusantara (IKN) dapat menjadi salah satu solusi untuk mengatasi polusi di Jakarta. Namun, ini adalah rencana jangka panjang. Selain itu, pemerintah juga perlu memastikan langkah-langkah konkret untuk mengatasi polusi saat ini.

Meningkatnya polusi udara di DKI Jakarta hari ini menandakan bahwa upaya-upaya yang diklaim telah dilakukan dianggap gagal.

Rekomendasi

Pertama, DKI Jakarta harus bekerja sama dengan pemerintah daerah penyangga, seperti Jabodetabek, untuk mengurangi masalah polusi udara ini secara kolektif. Ini melibatkan upaya bersama dalam mengatur arus kendaraan dan mengurangi emisi.

Kedua, Upaya Tidak Cukup: Meskipun Heru Budi Hartono mengklaim telah melakukan berbagai upaya untuk memperbaiki kualitas udara, hasilnya masih belum mengesankan. Polusi tetap mengancam kesehatan penduduk dan kualitas hidup.

Ketiga, Jumlah Kendaraan Bermotor harus bisa dikendalikan. Data yang dirilis menunjukkan bahwa jumlah kendaraan roda dua dan empat di Jakarta terus bertambah pesat. Hal ini menambah tekanan pada lingkungan dan memperburuk kondisi udara.

Keempat, Implementasi kendaraan Listrik Sebagai Solusi energi ramah lingkungan. Meski ada rencana untuk menerapkan kendaraan listrik, langkah ini terasa belum cukup terukur untuk mengatasi masalah polusi yang sudah mencapai tingkat krisis. Keberhasilan implementasi perlu dicermati. Penerapan ini harus secara masif dimulai dari transportasi publik

Kelima, penanaman pohon yang dapat menyerap polusi dan membangun transportasi publik berbahan bakar listrik perlu diperluas.

Keenam, pemerintah terus mensosialisasikan pentingnya peran masyarakat dalam mengurangi mobilitas pribadi dan beralih ke transportasi umum.

Langkah-langkah tersebut perlu didukung oleh kesadaran masyarakat untuk mengurangi mobilitas menggunakan kendaraan pribadi, serta penggunaan bahan bakar ramah lingkungan. Polusi udara bukan hanya masalah saat ini, tetapi sebuah tantangan jangka panjang yang membutuhkan tindakan tegas dan kolaboratif untuk memastikan kualitas udara yang lebih baik di DKI Jakarta.

Kesimpulan Masalah polusi udara di DKI Jakarta telah mencapai titik kritis yang memerlukan tindakan cepat dan komprehensif. Meskipun langkah-langkah positif telah diambil, belum ada tanda-tanda konkret bahwa situasi akan berbalik dalam waktu dekat. Pemerintah dan masyarakat perlu bekerja sama dengan lebih serius untuk mencapai hasil yang nyata dalam upaya melawan polusi udara yang semakin merajalela.

Oleh: Achmad Nur Hidayat, MPP Ekonom dan Pakar Kebijakan Publik UPN Veteran Jakarta, CEO Narasi Institute