Jumat, 27 Januari 2023

Jakarta, CNN Indonesia — Euforia haji di Indonesia bergelora ketika Pemerintah Arab Saudi menetapkan kuota haji RI kembali normal sebesar 221 ribu jemaah pada 2023.
Pada 2020 dan 2021 layanan haji ditutup imbas pandemi covid-19 yang menggempur dunia. Baru pada tahun lalu layanan haji dibuka kembali oleh Pemerintah Arab Saudi, tetapi dengan pembatasan usia jemaah dan pengurangan kuota.

Tahun ini, rincian kuota haji untuk Indonesia tahun ini adalah 203.320 jemaah haji reguler, 17.680 jemaah haji khusus, dan 4.200 petugas.

Sayang, gegap gempita tersebut tersandung wacana kenaikan biaya penyelenggaraan ibadah haji (BPIH). Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas mengusulkan BPIH 2023 sebesar Rp98.893.909,11. Angka tersebut sejatinya hanya naik Rp514.888,02 dari tahun lalu sebesar Rp98.379.021,09, tetapi proporsi pemenuhan BPIH tahun ini mengalami perubahan drastis dan memantik perdebatan.

Tahun lalu, biaya perjalanan ibadah haji (Bipih) alias ongkos yang harus dibayar calon jemaah sebesar Rp39.886.009,00 atau 40,54 persen dan sisanya ditanggung dari nilai manfaat alias optimalisasi yang mencapai 59,46 persen sebesar Rp58.493.012,09.

Skema ini dikenal dengan komposisi 40:60, tetapi tahun ini diusulkan menjadi 70:30, di mana 70 persen pembiayaan dibebankan langsung kepada calon jemaah.

Skenario tersebut membuat Bipih yang harus dibayarkan calon jemaah haji tahun ini membengkak hingga Rp69.193.734,00. Sedangkan nilai manfaat haji yang diberikan turun menjadi 30 persen atau hanya Rp29.700.175,11 per jemaah.

“Itu usulan pemerintah. Menurut kami, itu yang paling logis untuk menjaga supaya dana kelolaan yang ada di badan pengelola keuangan haji (BPKH) itu tidak tergerus modalnya dengan komposisi seperti itu,” kata Yaqut di Kompleks DPR RI, Kamis (19/1).

Yaqut beralasan prinsip istitha’ah dikedepankan dalam menentukan usulan biaya haji tahun ini. Menurutnya, pembebanan biaya haji harus menjaga prinsip istitha’ah dan likuiditas penyelenggaraan ibadah haji tahun-tahun berikutnya.

Mengacu situs Kemenag, setoran awal yang harus dibayarkan calon jemaah ke bank penerima setoran-BPIH (BPS-BPIH) naik dari Rp20 juta ke Rp25 juta sejak 2010. Setoran awal jemaah tersebut kemudian dikelola BPKH dan menghasilkan nilai manfaat atau yang sering dianggap sebagai subsidi biaya haji.

Dana kelolaan haji diurus oleh BPKH, setidaknya sejak lembaga tersebut eksis pada 26 Juli 2017. Segala hal seputar BPKH dirinci dalam UU Nomor 34 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Keuangan Haji, di mana dalam pasal 22 disebutkan bahwa tugas lembaga ini adalah mengelola keuangan haji yang meliputi penerimaan, pengembangan, pengeluaran, dan pertanggungjawaban keuangan haji.

“Pengelolaan keuangan haji dilakukan dalam bentuk investasi yang nilai manfaatnya digunakan untuk peningkatan kualitas penyelenggaraan ibadah haji, rasionalitas, dan efisiensi BPIH, juga untuk kemaslahatan umat Islam,” tulis penjelasan UU tersebut, dikutip pada Jumat (27/1).

Bicara soal likuiditas, pasal 47 ayat 1 merinci bahwa BPKH wajib mengelola dan menyediakan keuangan haji yang setara dengan kebutuhan 2 kali biaya penyelenggaraan ibadah haji. Kemudian, di dalam penjelasan pasal tersebut diungkapkan bahwa kata “mengelola” merujuk ke penempatan keuangan haji pada produk perbankan syariah dengan mempertimbangkan aspek keamanan, nilai manfaat, dan likuiditas.

Sementara itu, pasal 48 ayat 1 menjelaskan penempatan dan/atau investasi keuangan haji dapat dilakukan dalam bentuk produk perbankan, surat berharga, emas, serta investasi langsung dan investasi lainnya. Selanjutnya, porsi penempatan dan investasi dana kelolaan haji diatur dalam PP Nomor 5 Tahun 2018 tentang Pelaksanaan UU Nomor 34 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Keuangan Haji.

Pada pasal 27 ayat 2 PP Nomor 5 Tahun 2018 dijelaskan bahwa selama 3 tahun sejak BPKH terbentuk, pengeluaran keuangan haji dalam bentuk penempatan pada produk perbankan syariah dibatasi paling banyak 50 persen dari total penempatan dan investasi keuangan haji. Lalu, pada pasal 27 ayat 3 disebutkan setelah 3 tahun BPKH terbentuk, penempatan produk perbankan syariah paling banyak 30 persen. Dengan begitu, sisanya sekitar 70 persen dialokasikan untuk investasi.

Rinciannya, investasi dalam bentuk emas maksimal 5 persen (pasal 29 ayat 2), investasi langsung maksimal 20 persen (pasal 30 ayat 3), investasi lainnya maksimal 10 persen (pasal 31 ayat 2), dan investasi surat berharga syariah negara (SBSN) dengan limit yang tidak dibatasi (pasal 28 ayat 1-3).

Berdasarkan Laporan Keuangan BPKH 2022 (unaudited), saldo dana haji 2022 sebesar Rp166,01 triliun atau meningkat 4,56 persen dari tahun sebelumnya di angka Rp158,79 triliun. Namun, nilai manfaat yang dihasilkan merosot 4,18 persen dari Rp10,52 triliun pada 2021 menjadi Rp10,08 triliun di tahun berikutnya.

Menanggapi polemik usul kenaikan biaya haji menjadi Rp69 juta, Pakar Kebijakan Publik dan Ekonom UPN Veteran Jakarta Achmad Nur Hidayat mengatakan akar masalahnya ada di BPKH dan Kemenag. Ia menuding keduanya malas meningkatkan nilai dana manfaat haji.

Achmad menegaskan ada salah pengelolaan tabungan haji di mana BPKH gagal mencapai rate of return investment dana kelolaan haji yang optimal. Ia tidak menampik bahwa pengelolaan dana haji diatur UU harus berprinsip syariah dan berhati-hati. Namun, Achmad menekankan seharusnya investasi BPKH juga mengedepankan kemanfaatan yang sebesar-besarnya untuk jemaah haji.

“BPKH agak malas dengan menempatkan 70 persen dari Rp167 triliun di SBSN. Investasi BPKH tidak kreatif. SBSN tidak memiliki return yang tinggi. SBSN diterbitkan dengan tujuan untuk membiayai APBN, termasuk membiayai pembangunan proyek,” katanya, Kamis (26/1).

Achmad mengatakan BPKH seharusnya bisa mengoptimalkan imbal hasil dana pengelolaan haji hingga 15 persen. Ia menghitung dengan setoran awal Rp25 juta dan asumsi waktu tunggu 20 tahun, dana setoran awal calon jemaah bisa berkembang hingga Rp409,1 juta di akhir tahun ke-20.

Ia juga menyoroti soal bantahan Kemenag yang mengatakan dana haji tidak digunakan untuk pembiayaan proyek infrastruktur. Ia mengutip laporan keuangan BPKH yang menyebutkan bahwa 70 persen dari dana kelolaan haji sebesar Rp167 triliun digunakan untuk membeli SBSN pemerintah.

“SBSN tersebut digunakan Kementerian Keuangan untuk membiayai APBN. Salah satu belanja APBN adalah membiayai infrastruktur, seperti pemberian PMN Kereta Cepat Jakarta-Bandung (KCJB) konsorsium China, pembangunan infrastruktur dasar IKN, dan lain-lain yang tidak dapat dipisahkan per komponennya,” tuding Achmad.

Selain itu, Achmad mengkritisi soal salah kaprah istilah subsidi haji. Alih-alih subsidi haji dari pemerintah, ia menilai dana kelolaan haji yang malah memberikan subsidi kepada pemerintah untuk membiayai belanja APBN melalui pembelian SBSN.

“Pemerintah tidak memberikan subsidi kepada jemaah haji, seperti halnya memberikan subsidi BBM dan tarif dasar listrik (TDL). Yang ada, pemerintah membayar imbal hasil dari dana kelolaan haji dengan rate 5,5 persen yang sebenarnya sangat kecil dibandingkan investasi di luar SBSN sebesar 10-15 persen,” tegasnya.

Tak sampai di sana, Achmad membalas tanggapan Staf Khusus Menteri Keuangan Yustinus Prastowo yang menyentil politikus PKS Iskan Qolba Lubis usai menyebut dana haji ‘diambil’ Kemenkeu dalam bentuk surat utang negara.

Prastowo menegaskan bahwa keputusan investasi dana haji merupakan kewenangan mutlak BPKH. Ia juga menyebut rerata nilai imbal hasil SBSN adalah 7,8 persen, bukan di kisaran 5 persen seperti yang dituduhkan.

Kendati, Achmad menilai hal tersebut tetap tidak aman untuk dana haji yang dikelola BPKH. Menurutnya, lembaga tersebut lebih baik berinvestasi ke instrumen lain, seperti investasi langsung yang dibarengi kehati-hatian tinggi. Ia menegaskan investasi masif ke SBSN menunjukkan bahwa sang pengelola dana haji hanya diperalat Kemenkeu.

“Investasi SBSN yang imbal hasilnya 7,8 persen belum cukup aman untuk memberikan nilai manfaat jemaah haji di 2027. Sebab, di tahun itu haji berlangsung dua kali dalam setahun. Bila 2027 mau aman, dari sekarang investasi dana kelolaan haji oleh BPKH harus memiliki return 10 persen,” jelasnya.

Harus Transparan

Sementara itu, Pengamat Haji dari UIN Syarif Hidayatullah sekaligus Ketua Umum Rabithah Haji Indonesia Ade Marfuddin menilai usul kenaikan biaya haji menjadi Rp69 juta bukan perkara wajar atau tidak. Ia menilai pemerintah harus transparan dan menjelaskan kepada jemaah apa saja yang menyebabkan kenaikan ongkos tersebut.
Kendati, Ade sepakat dengan ucapan Menag Yaqut bahwa ibadah haji harus mengedepankan prinsip istitha’ah, termasuk urusan finansial. Ia menegaskan calon jemaah harus sanggup dan mampu membayar biaya haji, jangan sampai berangkat ke Baitullah menggunakan dana orang yang merupakan akumulasi dan tersimpan di BPKH.

“Secara hukum apakah boleh digunakan tanpa izin? Siapa yang memberikan izin? Kalau perlu ya minta kepada jemaah, perwakilan seluruh jemaah, boleh tidak digunakan dana optimalisasi digunakan oleh orang yang berangkat tahun ini? Ini yang sebenarnya harus dipahami dulu, dipahami oleh siapapun calon jemaah haji yang mau berangkat. Bukan wajar atau tidak (kenaikan biaya haji), saya melihatnya ini faktual, realitas, atau tidak angka segitu?” jelasnya.

Ade kemudian menyarankan pemerintah membedah 14 komponen biaya haji yang tertuang dalam UU Nomor 8 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah.

Di dalam pasal 45 beleid tersebut, dirinci bahwa BPIH digunakan untuk biaya penerbangan, pelayanan akomodasi, pelayanan konsumsi, pelayanan transportasi, pelayanan di Arafah, Muzdalifah, dan Mina, pelindungan, pelayanan di embarkasi atau debarkasi, pelayanan keimigrasian, premi asuransi dan pelindungan lainnya, dokumen perjalanan, biaya hidup, pembinaan jemaah haji di Tanah Air dan di Arab Saudi, pelayanan umum di dalam negeri dan di Arab Saudi, serta pengelolaan BPIH.

Menurutnya, kenaikan biaya haji bisa ditekan dengan memperhatikan 14 komponen tersebut. Ade menilai perlu dilihat apa saja biaya yang sudah tetap dari tahun ke tahun hingga yang mengalami kenaikan. Biaya yang bersentuhan langsung dengan calon jemaah perlu diperhatikan dan dibedah oleh pemerintah.

Berdasarkan rincian Kemenag, angka Rp69 juta muncul akibat biaya penerbangan dari embarkasi ke Arab Saudi (PP) Rp33.979.784,00, akomodasi di Makkah Rp18.768.000,00, akomodasi di Madinah Rp5.601.840,00, living cost Rp4.080.000,00, biaya visa Rp1.224.000,00, serta paket layanan Masyair Rp5.540.109,60. Namun, Ade menilai ada beberapa komponen biaya yang sebetulnya masih bisa dipangkas.

Pertama, biaya living cost, yang sejatinya sudah dipangkas Menag Yaqut sebesar 500 riyal dari tahun lalu. Namun, Ade menganggap living cost masih harus dikaji ulang apakah masih diperlukan atau tidak. Kedua, biaya penerbangan naik dari Rp29 juta menjadi Rp33 juta, yang seharusnya bisa lebih murah. Jika fakta berkata lain, Ade mengatakan pemerintah harus menjelaskan kenapa terjadi kenaikan ongkos terbang.

Ketiga, komponen akomodasi dan katering yang dinilai terlalu menyita biaya. Jika merujuk pada data 2022, jemaah haji RI mendapat layanan makan sebanyak maksimal 119 kali. Menurutnya, jika biaya akomodasi dan katering jumbo, besaran living cost seharusnya bisa terus ditekan.

Ade kemudian menawarkan dua solusi untuk mengatasi polemik usul kenaikan biaya haji. Pertama, pemerintah melalui BPKH perlu adil dan proporsional dalam membagikan nilai manfaat kepada calon jemaah. Menurutnya, tidak seharusnya setiap jemaah menerima besaran flat nilai manfaat sebesar Rp29,7 juta seperti yang direncanakan. Ia meminta adanya perbedaan nominal dengan sistem proporsional wilayah.

Menurutnya, orang yang menabung atau menaruh uangnya untuk dana haji di berbagai daerah di Indonesia harus menerima nilai manfaat yang berbeda. Hal tersebut juga sejalan dengan perbedaan waktu tunggu calon jemaah tersebut.

“Sekarang kan dipukul rata semua. Ini yang saya kira pemenuhan rasa keadilan perlu ditinjau ulang. Bagaimana supaya adil? Ya lakukan secara proporsional per wilayah kalau tidak bisa proporsional per orang,” sarannya.

Kedua, pemerintah bisa langsung mempublikasikan mana calon jemaah haji yang mampu dan tidak membayar penuh besaran BPIH. Setelah besaran BPIH diketok, pemerintah harus mengumumkan dan menawarkan kepada calon jemaah yang punya kemampuan dan kesanggupan untuk membayar full tanpa perlu dana campuran optimalisasi apapun dari BPKH.

“Kita hargai orang-orang yang mampu. Kita hargai orang yang berangkat reguler, tapi punya Mercy atau Alphard di rumahnya. Harusnya orang yang menggunakan dana ini paham. Jadi diberikan ruang oleh pemerintah kepada masyarakat yang punya kemampuan untuk membayar ongkos naik haji (ONH) full,” jelas Ade.

“Bukan tidak setuju turun, turun harus, tapi di mana komponen yang bisa dirasionalisasikan? Bukan dipaksakan justru nanti pelayanannya berkurang. Biaya haji naik? Harus sebanding dengan pelayanan yang diberikan. Pemerintah harus menjamin itu. Apa pelayanannya? Sampaikan,” sambungnya.

Di lain sisi, Kepala Badan Pelaksana BPKH Fadlul Imansyah menjelaskan dalam rapat dengar pendapat (RDP) panitia kerja (panja) BPIH di Komisi VIII DPR RI bahwa ada pertumbuhan aset Rp20 triliun akibat tidak adanya keberangkatan haji pada 2020 dan 2021. Sedangkan, nilai manfaat yang digelontorkan pada 2022 dengan kuota haji 50 persen mencapai Rp6 triliun.

Menurutnya, saldo simpanan BPKH menjadi sekitar Rp15 triliun pada akhir tahun lalu karena sudah dikucurkan untuk subsidi sebesar Rp5 triliun hingga Rp6 triliun. Sementara itu, jika pada tahun ini kuota haji RI penuh sebesar 100 persen, maka total nilai manfaat yang harus disediakan BPKH menyentuh Rp12 triliun.

“Artinya di 2024 maka saldonya itu relatif sudah berada di kisaran Rp3 triliun. Itu yang akan menjadi biaya yang harus dialokasikan di 2024. Asumsi tanpa ada kenaikan BPIH, maka artinya di 2024, dengan asumsi biaya (subsidi) sebesar Rp12 triliun, ada sekitar Rp9 triliun yang harus diambil dari dana pokok pengelolaan yang selama ini dikelola. Ini dengan asumsi sudah memasukkan semua nilai manfaat tahun berjalan, dari 2023 dan 2024,” jelasnya.

Berdasarkan hitungan tersebut Fadlul mengatakan usulan komposisi biaya yang ditanggung jemaah dan penggunaan nilai manfaat berubah menjadi 70:30 persen dibandingkan sebelumnya dengan komposisi 40:60. Hal tersebut yang turut membuat BPKH memprediksi bahwa nilai manfaat dana haji terancam defisit pada 2025.

Nilai Manfaat Terancam Habis

Terpisah, Anggota Badan Pelaksana Bidang Keuangan dan Manajemen Risiko BPKH Acep Riana Jayaprawira mengatakan jika proporsi nilai manfaat untuk BPIH tetap dipertahankan di angka 60 persen maka pada tahun berjalan saldo tersebut diproyeksikan tidak akan mampu menutup pengeluaran. Sehingga akumulasi nilai manfaat yang terkumpul akan habis terpakai untuk menambal defisit dan diperkirakan habis pada 2025.

“Padahal akumulasi nilai manfaat tersebut juga ada hak dari jemaah yang masih menunggu sehingga untuk prinsip keadilan maka akumulasi nilai manfaat tidak boleh habis dan nilai manfaat tahun berjalan diharapkan tidak mengalami defisit,” tutur Acep.

Lebih lanjut, Acep menjelaskan soal mengapa peruntukan dana untuk subsidi haji hanya bisa diambil dari nilai manfaat, di mana merupakan imbal hasil investasi yang dilakukan BPKH.

“Sesuai akad syariah atas dana haji, nilai manfaat yang dihasilkan dari pengelolaan pokok dana jemaah dapat digunakan untuk membiayai penyelenggaraan ibadah haji alias subsidi,” jelasnya.

Ia menuturkan BPKH mengelola dana haji, baik reguler, khusus, hingga dana abadi umat (DAU), di mana masing-masing dana tersebut hanya boleh digunakan sesuai dengan peruntukannya. Acep menegaskan bahwa dana pokok jemaah tidak bisa dipakai sebagai subsidi haji.

“Subsidi hanya bisa diambil dari nilai manfaat yang dihasilkan, sesuai akadnya, selain nilai manfaat tersebut digunakan untuk membayar nilai manfaat kepada jemaah tunggu seluruhnya sebagai nilai manfaat virtual account (VA) dan untuk operasional BPKH,” tandasnya.

Sumber: cnnindonesia.com