Jum’at, 27 Januari 2023
Warta Ekonomi, Jakarta – Pakar Kebijakan Publik, Achmad Nur Hidayat menyorot tajam wacana perpanjangan masa jabatan kepala desaalias kades jelang Pilpres 2024.
Dirinya curiga dengan hal tersebut karena wacana tersebut tampak sangat lancar tanpa ada hambatan apapun dalam progressnya untuk disahkan.
Menurutnya, hal tersebut patut disoroti karena sudah jelas perpanjangan masa jabatan bertolak belakang dengan demokrasi.
“Sementara secara nalar, aspirasi perpanjangan dari kepala desa ini adalah hal yang tertolak belakang dengan logika demokrasi dimana penguasa meminta masa jabatan yang lebih panjang. Bukan rakyat yang dipimpinnya yang menghendaki,” ujar Achmad kepada Republika, Kamis (26/1/2023).
Menurut Achmad, alasan-alasan yang dilontarkan oleh berbagai pihak tidak cukup kuat untuk melegitimasi perpanjangan tersebut. Yang lebih tidak bisa diterima publik adalah usulan ini sangat paradoks dengan masa jabatan presiden dan kepala daerah yang ditetapkan hanya lima tahun.
Jika sembilan tahun masa jabatan dan kepala desa bisa terpilih dua periode maka dia akan memimpin selama 18 tahun. Ini tentunya akan menghalangi pembaharuan-pembaharuan dan menyia-nyiakan potensi pemimpin-pemimpin potensial di desa.
Jika alasannya masih ada persaingan politik karena enam tahun masa jabatan kades dianggap terlalu singkat seperti yang disampaikan oleh Kades Poja, NTB, Robi Darwis yang berharap dengan perpanjangan masa jabatan kades enam tahun akan mengurangi persaingan politik tersebut.
“Alasan polarisasi seperti di atas akibat pemilihan kades tentunya hal yang tidak cukup kuat untuk dijadikan alasan perpanjangan masa jabatan kades. Jika masalahnya hanya itu saja maka harusnya ada upaya sosialisasi demokrasi yang sehat bagi masyarakat sehingga masyarakat mempunyai kesadaran berpolitik yang benar, bukan dengan memperpanjang masa jabatan kades,” tutur Achmad.
Mengenai opini polarisasi yang menjadi alasan perpanjangan masa jabatan desa, lanjut dia, maka polarisasi yang justru lebih parah terjadi setelah pilpres.
Jika analoginya sama, ia menilai hal ini akan dijadikan alasan oleh penguasa untuk memperpanjang masa jabatan dan secara halus mendorong DPR untuk amandemen terhadap Undang-Undang.
“Ini adalah upaya makar terhadap konstitusi secara halus. Jelas-jelas upaya penguasa yang ingin berkuasa lebih lama adalah langkah otoritarian,” imbuhnya.
Ia menilai, sejatinya masa jabatan kades ini harusnya sama-sama 5 tahun seperti masa jabatan presiden, sehingga Mendagri harusnya lebih mengedepankan dasar konstitusi yang menjadi landasan pertimbangan.
Perkembangan zaman terus berubah, pendekatan dalam pengelolaan desa pun tentunya membutuhkan pembaharuan -pembaharuan.
“Jika dijabat oleh orang yang sama dalam kurun waktu yang panjang maka akan beresiko bahwa desa tidak mampu adaptif dengan perubahan/perkembangan zaman,” ujar dia.
Sumber: wartaekonomi.co.id