Rasa-rasanya, tim ekonomi pilihan Presiden Prabowo Subianto perlu belajar ke Vietnam yang berhasil mendorong perekonomiannya tumbuh 7,09 persen di 2024. Jangan sampai angka pertumbuhan ekonomi mondar-mandir di angka 5 persen saja.

Ekonom UPN Veteran Jakarta (UPNVJ), Achmad Nur Hidayat, mengatakan, produk domestik bruto (PDB) Vietnam, saat ini, menyentuh angka US$476,3 miliar atau sekitar Rp7.716 triliun. Membuktikan pendekatan kebijakan ekonomi yang terfokus kepada inklusivitas, keberanian berinovasi, dan respons cepat terhadap tantangan global yang dilakukan Vietnam, memberikan hasil yang signifikan.

“Terbalik dengan Indonesia. Meski memiliki potensi besar dan dipimpin menteri yang paling lama menguasai makro, Sri Mulyani, tampaknya tertinggal dalam hal menciptakan pertumbuhan ekonomi yang kuat dan berkelanjutan,” papar Achmad Nur, Jakarta, Senin (6/1/2025).

Perbedaan ini, menurutnya, bukan sekadar soal angka. Namun, filosofi pembangunan dan keberpihakan kebijakan. Harus diakui, pendekatan Vietnam yang lebih maju dan inklusif, mampu membalikkan keadaan.

“Salah satu pendorong utama keberhasilan ekonomi Vietnam adalah kebijakan fiskal yang inklusif dan keberpihakan terhadap kelas menengah,” ungkapnya.

Berbeda dengan Indonesia yang cenderung memprioritaskan pertumbuhan di kalangan elite ekonomi, Vietnam justru memberikan relaksasi pajak, stimulus ekonomi dan insentif bagi sektor-sektor yang melibatkan masyarakat, khususnya kelas menengah dan bawah.

“Strategi ini menciptakan efek domino yang positif: daya beli meningkat, sektor informal tumbuh menjadi formal, dan arus investasi langsung ke sektor-sektor yang produktif,” imbuhnya.

Selain itu, lanjut Achmad Nur, Vietnam menawarkan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang lebih rendah ketimbang Indonesia, yakni 8 persen berbanding 11 persen. Meski sekilas hanya selisih 3 persen, dampaknya sangat signifikan bagi pelaku usaha kecil dan menengah (UKM).

“Ide Sri Mulyani bahkan hendak menjadikan PPN Indonesia lebih tinggi lagi menjadi 12 persen, untung saja Presiden Prabowo membatalkan 12 persen untuk semua komoditas, kecuali hanya untuk barang mewah,” ungkapnya.

Dengan PPN yang lebih rendah, lanjut Achmad Nur, biaya produksi dan harga barang di Vietnam lebih terjangkau. Sehingga mendorong konsumsi domestik dan meningkatkan daya saing produk lokal di pasar ekspor.

“Indonesia, di sisi lain, cenderung membebankan biaya fiskal yang lebih besar kepada masyarakat kelas menengah, menggerus daya beli dan mempersulit perkembangan usaha kecil. Ini fatal sekali,” ungkap Achmad Nur.

Di Indonesia, katya di, Sri Mulyani sering dipuji karena kemampuan teknokratiknya. Namun, kebijakan fiskal yang diterapkannya, sering dianggap tak berpihak kepada kelas menengah.

“Peningkatan tarif PPN menjadi 11 persen dan 12 persen untuk barang mewah, penghapusan subsidi secara bertahap, dan fokus pada menggenjot penerimaan pajak dari sektor formal telah menciptakan beban yang berat bagi masyarakat menengah,” kata Achmad Nur.

Pendekatan ini, lanjut Achmad Nur, kontras dengan Vietnam yang justru memanfaatkan kelas menengah sebagai motor penggerak ekonomi. Sebagai contoh, relaksasi pajak di sektor properti dan insentif bagi UKM di Vietnam memberikan ruang bagi masyarakat untuk berkontribusi dalam pertumbuhan ekonomi. 

“Sementara di Indonesia kebijakan fiskal sering kali lebih menguntungkan golongan atas,” pungkasnya.

Sumber: kalsel.inilah.com