MerahPutih.com – Kelompok kelas menengah Indonesia sepertinya harus waspada pada tahun 2025 mendatang. Ekonom Achmad Nur Hidayat menilai, tahun depan diperkirakan menjadi tahun penuh gejolak bagi kelas menengah di Indonesia.

Menurut Achmad, hal ini tak lepas dari kebijakan pemerintah yang merancang berbagai kebijakan baru dari kenaikan pajak hingga penghapusan sejumlah subsidi.

Kebijakan ini, meskipun bertujuan meningkatkan penerimaan negara, memiliki potensi besar menambah beban ekonomi masyarakat.

“Khususnya kelompok kelas menengah yang sering kali tidak termasuk penerima bantuan langsung,” kata Achmad di Jakarta, Selasa (17/12).

Achmad mencontohkan mulai 1 Januari 2025, tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) akan naik dari 11 menjadi 12 persen pada barang mewah. Dia melihat, dampaknya akan langsung terasa pada harga barang dan jasa, yang otomatis naik.

Kenaikan ini diperkirakan akan paling berdampak pada kelas menengah yang tidak mendapatkan subsidi tetapi tetap terpaksa mengeluarkan uang lebih banyak untuk kebutuhan sehari-hari.

“Apalagi kenaikan upah UMP hanya 6,5 persen, yang diperdiksi tidak akan mampu mencukupi kenaikan inflasi dan kenaikan harga akibat PPN 12 persen tersebut,” tutur Achmad.

Achmad memprediksi, dengan daya beli masyarakat yang sudah melemah akibat inflasi dalam beberapa tahun terakhir, kenaikan PPN ini berpotensi memperburuk situasi ekonomi rumah tangga.

“Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), daya beli kelas menengah telah menurun sekitar 5 persen pada 2024 akibat tekanan inflasi,” sebut Achmad.

Tak hanya itu, rencana kenaikan tarif listrik pada tahun 2025, khususnya untuk pelanggan non-subsidi menuai keprihatinan. Dampaknya, rumah tangga kelas menengah yang menjadi pelanggan golongan non-subsidi akan menghadapi kenaikan biaya listrik bulanan.

Menurut laporan Kementerian ESDM, rumah tangga kelas menengah rata-rata menghabiskan 10 persen dari pendapatannya untuk membayar listrik.

“Jika tarif listrik naik, pengeluaran ini diperkirakan akan meningkat menjadi 12-15 persen dari pendapatan,” sebut Achmad.

Belum lagi, kabar pemerintah berencana mengubah skema subsidi BBM dan LPG. Kenaikan harga BBM akan memicu efek domino pada biaya transportasi dan distribusi barang, yang pada akhirnya meningkatkan harga kebutuhan pokok.

Sebagai contoh, kenaikan harga BBM sebesar 10 persen dapat mendorong kenaikan harga barang sebesar 3-5 persen.

“Dampaknya sangat terasa, terutama bagi masyarakat perkotaan yang sangat bergantung pada transportasi berbasis BBM,” papar Achmad.

Belum lagi, rencana BPJS Kesehatan juga akan mengalami penyesuaian iuran pada tahun 2025. Kelas menengah yang umumnya tidak menerima subsidi kesehatan akan merasakan beban tambahan ini.

Dalam skema baru, peserta mandiri golongan kelas menengah diperkirakan harus membayar iuran yang lebih tinggi hingga 20 persen

“Ini akan menjadi tantangan baru, mengingat banyak rumah tangga kelas menengah sudah kesulitan mengatur anggaran untuk kebutuhan pokok lainnya,” tutur Achmad.

Achmad meminta, pemerintah mengambil langkah mitigas agar kelas menengah yang selama ini menjadi pilar perekonomian nasional bisa tak terancam menyusut lebih jauh.

“Masyarakat diharapkan mempersiapkan diri dengan bijak, sementara pemerintah harus memastikan bahwa kebijakan yang diterapkan tetap berpihak pada kesejahteraan rakyat,” tutup ekonom dari UPN Veteran Jakarta ini.

Sumber: merahputih.com