TEMPO.CO, Jakarta – Pakar dan ekonom Universitas Pembangunan Nasional Veteran Jakarta, Achmad Nur Hidayat mengatakan keputusan mengeluarkan izin ekspor pasir laut saat masa pemerintahan Joko Widodo atau Jokowi tinggal satu bulan lagi, semakin mengindikasikan bahwa kebijakan ini penuh dengan misteri dan rawan masalah.

“Dengan waktu yang begitu singkat, muncul pertanyaan mengenai urgensi di balik kebijakan ini dan siapa yang diuntungkan,” kata Achmad saat dihubungi melalui aplikasi perpesanan pada Jumat, 13 September 2024.

Menurut dia, hal itu membuka spekulasi bahwa kebijakan ekspor pasir laut bisa menjadi sarana untuk memenuhi kepentingan tertentu sebelum masa jabatan berakhir. Tanpa memperhitungkan dampak jangka panjangnya. “Hal ini membuat publik semakin curiga dan menilai bahwa ada unsur ketergesaan serta ketidaktransparan yang menyelimuti keputusan tersebut,” tutur dia.

Kebijakan pemerintah mengeluarkan izin ekspor pasir laut. Keran ekspor ini dibuka kembali melalui Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan. Pembukaan keran ekspor itu diatur dalam dua revisi Peraturan Menteri Perdagangan di bidang ekspor.

Dua kebijakan yang direvisi adalah Permendag Nomor 20 Tahun 2024 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 22 Tahun 2023 tentang Barang yang Dilarang untuk Diekspor dan Permendag Nomor 21 Tahun 2024 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 23 Tahun 2023 tentang Kebijakan dan Pengaturan Ekspor.

Menurut Achmad, keputusan izin ekspor pasir laut ini bisa dibaca sebagai bagian dari upaya pemerintah tidak lagi peduli pada prinsip good governance. “Tidak dipertimbangkan secara matang dan terkesan kejar tayang dan mengundang kontroversi,” katanya.

Dia mengatakan, ekspor pasir laut sudah lama dilarang. Karena dampaknya terhadap lingkungan, terutama kerusakan ekosistem laut dan abrasi. Dia menilai, penerbitan izin ekspor itu, meski di bawah dalih pengelolaan sedimentasi, pemerintah tampaknya sedang mencari jalan keluar untuk mendongkrak pendapatan di tengah keterbatasan waktu yang tersisa.

“Namun ini berpotensi merusak reputasi pemerintah terkait dengan lemahnya komitmen terhadap keberlanjutan lingkungan dan penerapan prinsip pemerintahaln yang baik,” ucap dia.

Sumber: bisnis.tempo.co