JAKARTA, Bisnistoday – Pemeritah telah mengumumkan kepastian atas implementasi kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPn) dari 11% menjadi 12%, yang efektif diterapkan per Januari tahun 2025. Kendati pemerintah berdalih kenaikan PPN dilakukan secara selektif dengan tujuan keadilan bersama, dampak psikologis pasar terhadap kata kenaikan PPn perlu diwaspadai.
“Kenaikan PPN berpotensi meningkatkan biaya hidup secara keseluruhan. Meskipun kebijakan ini ditujukan untuk barang mewah, dalam praktiknya kenaikan PPN sering kali memiliki efek merembet ke sektor-sektor lain. Hal ini dapat memicu inflasi dan malah menurunkan daya beli masyarakat,” ungkap Achmad Nur Hidayat, Ekonom dan Pakar Kebijakan Publik UPN Veteran Jakarta, di Jakarta, Senin (16/12).
Matnoer sapaan akrab Achmad Nur Hidayat ini mengutarakan, Secara teori, kenaikan ini dapat dianggap sebagai upaya untuk meningkatkan penerimaan pajak dari kelompok masyarakat kaya, sehingga menciptakan keadilan fiskal. Namun, terdapat beberapa tantangan signifikan dalam implementasinya.
“Definisi “barang mewah” sering kali menjadi perdebatan. Apakah barang-barang seperti kendaraan mewah, perhiasan, atau barang elektronik kelas atas akan masuk dalam kategori ini? Jika definisi ini terlalu luas, kelas menengah yang berusaha meningkatkan kualitas hidupnya juga akan terkena dampak, memperparah ketimpangan ekonomi,” urainya.
Tidak hanya itu, kenaikan PPN dapat memicu resistensi sosial. Ditengah ekonomi yang belum pulih sepenuhnya pasca-pandemi, kebijakan ini dapat dianggap tidak sensitif terhadap kondisi masyarakat. “Konflik sosial bisa muncul jika masyarakat merasa bahwa pemerintah lebih mementingkan penerimaan pajak daripada kesejahteraan rakyat.”
*Terapkan Insentif Perpajakan*
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati saat konferensi pers Paket Kebijakan Ekonomi: Akselerasi Pertumbuhan Ekonomi Inklusif & Berkelanjutan di kantor Kemenko Perekonomian, mengatakan, kenaikan PPn dibarengi pemberian insentif perpajakan secara selektif untuk melindungi masyarakat serta keberlanjutan ekonomi. Angka insentif perpajakan tahun 2025 tidak sedikit atau diperkirakan mencapai Rp445,5 triliun atau 1,83 persen terhadap produk domestik bruto (PDB).
Sri Mulyani menuturkan, proyeksi insentif PPN itu menyambung keputusan Pemerintah menetapkan kenaikan tarif PPN 12 persen mulai 1 Januari 2025, sejalan dengan Undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP).
Meskipun demikian, tegas Sri Mulyani, untuk barang dan jasa yang bersifat strategis, pemerintah tetap melanjutkan pemberian fasilitas pembebasan dari pengenaan PPN. Diketahui, bahwa insentif perpajakan yang diberikan Pemerintah untuk pembebasan pajak pertambahan nilai (PPN) pada 2025 diproyeksikan mencapai Rp265,5 triliun.
Ditambah dengan fasilitas pembebasan PPN menjadi insentif perpajakan yang paling besar diberikan oleh Pemerintah, di mana insentif pajak penghasilan (PPh) diproyeksikan senilai Rp144,7 triliun dan jenis pajak lainnya sebesar Rp35,2 triliun.
Sumber: bisnistoday.co.id