Oleh: Achmad Nur Hidayat – Pakar Kebijakan Publik UPNVJ

Partisipasi sektor swasta, seperti Grab Indonesia dan Ovo, dalam program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang tengah diuji coba menjadi langkah strategis yang menarik untuk dikaji secara kritis.

Di satu sisi, keterlibatan ini mencerminkan kolaborasi antara pemerintah dan swasta dalam menghadapi tantangan sosial.

Namun, di sisi lain, terdapat sejumlah pertanyaan mendasar terkait motif, transparansi, dan keberlanjutan program yang harus dijawab agar inisiatif ini tidak sekadar menjadi “pencitraan” untuk kepentingan bisnis swasta.

Motif Keterlibatan Swasta: Kepentingan Sosial atau Bisnis?

Keterlibatan Grab dan Ovo dalam MBG tidak dapat dilepaskan dari realitas bahwa kedua entitas ini merupakan bagian dari ekosistem bisnis besar yang berorientasi pada keuntungan.

Grab, misalnya, adalah platform teknologi yang berfokus pada layanan transportasi, pengantaran, dan pembayaran digital, sementara Ovo adalah salah satu alat pembayaran terbesar di Indonesia.

Keduanya dimiliki oleh kelompok bisnis Lippo, yang baru-baru ini terlibat dalam pertemuan dengan mantan Presiden Jokowi sekutu Presiden Prabowo.

Dalam konteks ini, muncul pertanyaan: apakah keterlibatan Grab dan Ovo benar-benar murni didasarkan pada tanggung jawab sosial perusahaan (CSR), atau justru bagian dari strategi untuk menjaga hubungan baik dengan pemerintah demi melindungi dan memperluas kepentingan bisnis mereka?

Pertanyaan ini relevan, terutama mengingat regulasi di sektor teknologi dan fintech yang sering kali memberatkan pelaku usaha.

Apakah program ini menjadi cara untuk “mencuri perhatian” pemerintah agar bisnis mereka mendapatkan perlindungan atau bahkan insentif tertentu di masa depan?

Transparansi: Menghindari Konflik Kepentingan

Keterlibatan swasta dalam program seperti MBG memerlukan tingkat transparansi yang tinggi.

Tanpa itu, risiko munculnya konflik kepentingan menjadi sangat besar. Contohnya, jika Grab dan Ovo menggunakan program ini untuk memperluas pangsa pasar mereka, seperti meningkatkan adopsi layanan pembayaran digital Ovo di kalangan masyarakat yang lebih luas, maka program MBG bisa kehilangan esensi sosialnya.

Lebih jauh lagi, masyarakat memiliki hak untuk mengetahui sejauh mana pemerintah berkoordinasi dengan pihak swasta dalam mendesain dan melaksanakan program ini.

Apakah standar gizi, sasaran penerima manfaat, serta mekanisme distribusi telah dikaji bersama untuk memastikan keselarasan dengan program MBG pemerintah?

Jika tidak, program ini hanya akan menjadi proyek fragmentaris tanpa dampak signifikan terhadap tujuan kesejahteraan masyarakat.

Keberlanjutan dan Efektivitas

Pemangkasan anggaran dari Rp15.000 menjadi Rp10.000 per porsi makanan adalah tantangan besar yang dapat menguji kemampuan Grab dan Ovo untuk memastikan keberlanjutan program ini.

Dalam konteks ini, peran mereka tidak boleh hanya bersifat insidental atau sekadar langkah promosi.

Sebaliknya, Grab dan Ovo perlu menunjukkan bagaimana mereka dapat menciptakan model yang berkelanjutan, terutama dalam kondisi anggaran terbatas.

Program ini juga harus memperhatikan keterlibatan UMKM lokal sebagai penyedia makanan bergizi.

Jika Grab dan Ovo hanya memanfaatkan mitra merchant yang sudah ada tanpa memberdayakan UMKM baru atau komunitas lokal, maka manfaat ekonomi dari program ini akan terbatas dan tidak berkontribusi pada pembangunan ekonomi jangka panjang.

Hindari Dominasi Swasta dalam Program Sosial

Keterlibatan swasta dalam program sosial harus dilakukan secara proporsional agar tidak menciptakan ketergantungan pemerintah pada entitas bisnis tertentu.

Ketergantungan seperti ini berpotensi melemahkan posisi pemerintah dalam pengambilan kebijakan di masa depan, terutama jika pihak swasta menggunakan kontribusi mereka sebagai alat tawar untuk mendapatkan keuntungan regulasi atau proteksi bisnis.

Hal ini menjadi semakin penting mengingat reputasi kelompok bisnis yang terlibat.

Kelompok Lippo, yang mengendalikan Grab dan Ovo, memiliki sejarah hubungan erat dengan pengambil kebijakan. Langkah mereka dalam mendukung MBG bisa saja dilihat sebagai cara untuk memperluas pengaruh mereka dalam kebijakan publik.

Risiko Pencitraan Tanpa Dampak Nyata

Dalam kebijakan publik, keberhasilan suatu program tidak hanya diukur dari jumlah orang yang terlibat, tetapi juga dari dampak yang dihasilkan.

Jika keterlibatan Grab dan Ovo dalam MBG hanya menjadi alat pencitraan, maka manfaat program ini akan sangat terbatas.

Lebih buruk lagi, program ini bisa menjadi preseden buruk yang menunjukkan bagaimana swasta dapat menggunakan program sosial untuk mendikte narasi publik dan mendapatkan keuntungan politik maupun ekonomi.

Rekomendasi

1.Desain Program yang Terkoordinasi
Pemerintah harus memastikan bahwa desain MBG oleh swasta selaras dengan program pemerintah. Hal ini mencakup standar gizi, mekanisme distribusi, dan pemberdayaan lokal. Koordinasi yang baik akan meminimalkan tumpang tindih dan meningkatkan dampak sosial program.

2.Transparansi dan Akuntabilitas
Grab dan Ovo harus transparan dalam mempublikasikan hasil program, termasuk alokasi dana, jumlah penerima manfaat, dan keterlibatan mitra lokal. Transparansi ini penting untuk menghindari persepsi negatif dari publik.

3.Keterlibatan UMKM Lokal
Program MBG harus menjadi alat pemberdayaan ekonomi lokal. Grab dan Ovo harus memastikan bahwa mitra penyedia makanan berasal dari UMKM setempat, bukan hanya merchant besar yang sudah mapan.

4.Hindari Ketergantungan pada Swasta
Pemerintah harus berhati-hati agar keterlibatan swasta tidak menciptakan ketergantungan yang melemahkan posisi mereka dalam pengambilan kebijakan. Program MBG harus tetap menjadi inisiatif pemerintah yang didukung oleh swasta, bukan sebaliknya.

5.Evaluasi Program secara Berkala
Keberhasilan MBG perlu dievaluasi secara berkala oleh pihak independen untuk memastikan bahwa program ini benar-benar memberikan manfaat sosial, bukan sekadar alat promosi bisnis.

Catatan penting

Keterlibatan swasta dalam program sosial seperti MBG memiliki potensi besar, tetapi juga menghadirkan risiko signifikan.

Tanpa koordinasi yang baik, transparansi, dan akuntabilitas, program ini bisa menjadi contoh buruk bagaimana kepentingan bisnis mendikte arah kebijakan sosial.

Grab dan Ovo harus membuktikan bahwa keterlibatan mereka dalam MBG benar-benar didorong oleh tanggung jawab sosial, bukan sekadar strategi untuk melindungi dan memperluas bisnis mereka.

Pemerintah, di sisi lain, harus memastikan bahwa program MBG tetap menjadi milik masyarakat, bukan alat bagi swasta untuk memperkuat posisi mereka dalam ekosistem kebijakan dan bisnis.

Sumber: strateginews.id