JAKARTA, DISWAY.ID– Fenomena pemutusan hubungan kerja (PHK) massal kini masih menjadi momok menakutkan yang menghantui para pekerja di Indonesia.
Dilansir dari keterangan Menteri Ketenagakerjaan (Menaker) RI, Ida Fauziyah, mengatakan bahwa tingkat PHK di Indonesia pada periode Januari-Agustus 2024 sudah mencapai 46.240 pekerja.
Menurut keterangan Peneliti dari Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (LPEM FEB UI), Muhammad Hanri, ada tiga sektor industri yang menjadi mengalami PHK pekerja paling besar.
Tiga sektor industri tersebut adalah manufaktur, teknologi, dan perbankan. Hal ini juga didukung oleh data Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO), yang menyebutkan bahwa ribuan pekerja di sektor tekstil dan garmen mengalami PHK sepanjang tahun 2022 dan 2023.
“Hal ini banyak terjadi di daerah-daerah pusat industri tekstil, seperti Jawa Barat,” jelas Hanri dalam keterangan tertulis resminya pada Jumat 20 September 2024.
Menanggapi hal ini, Ekonom sekaligus dosen Universitas Pembangunan Nasional Veteran Jakarta Achmad Nur Hidayat dari Narasi Institute Achmad Nur Hidayat mengungkapkan bahwa PHK di sektor manufaktur kemungkinan besar disebabkan oleh adanya penurunan dalam sektor tersebut.
“Kalau manufaktur, kita ini sudah lama tidak melakukan kebijakan industri yang tepat, sehingga 15 tahun terakhir sudah terjadi demanufacturing. Artinya, kontribusi sektor manufaktur kepada pertumbuhan ekonomi itu terus turun,” jelas Achmad ketika dihubungi oleh Disway pada Jumat 20 September 2024.
Melanjutkan, Achmad menambahkan bahwa hal ini juga ditambah dengan adanya pelemahan daya saing di Indonesia terhadap manufaktur.
Menurut Achmad, sektor manufaktur di Indonesia sebenarnya cukup kuat sebelum Pemerintah membuka keran impor besar-besaran.
“Begitu keran impor dibuka besar-besaran, maka manufacturing kita ternyata tidak bisa memberikan daya saing pada produk-produk dari luar, sehingga akhirnya mereka secara alami kalah,” jelas Achmad.
Menurut Achmad, sebenarnya penurunan yang terjadi di sektor manufaktur ini dapat diatasi apabila Pemerintah mau berinvestasi besar-besaran ke sektor manufaktur.
Namun pada kenyataannya, Pemerintah justru mendukung masuknya perusahaan-perusahaan impor tersebut.
“Ini kesalahan kita juga, kenapa gak kita ‘lawan’ barang impor tersebut itu dengan cara investasi besar-besaran juga dalam masif manufacturing. Tapi nyatanya industri manufaktur kebanyakan berjuang sendiri, tidak bersama dengan Pemerintah menghadapi tantangan ini. Pemerintah malah meng-encourage perusahaan-perusahaan impor tersebut untuk masuk ke Indonesia,” pungkas Achmad.
Sumber: disway.id