Warta Ekonomi, Jakarta – Ekonom sekaligus Pakar Kebijakan Publik Universitas Pembangunan Negeri Veteran Jakarta (UPNVJ), Achmad Nur Hidayat, menilai jika kebijakan pemangkasan tariff pungutan ekspor minyak kelapa sawit atawa Crude Palm Oil (CPO) hanya akan meringankan industri dalam negeri secara temporer dan hanya pada saat tren harga komoditas tersebut cenderung melesu di tingkat global saja.
Dirinya juga menegaskan bahwa dampak dari kebijakan tersebut hanya bersifat sementara saja lantaran keberlanjutan industri sawit nasional masih tetap bergantung pada pergerakan harga komoditas global dalam jangka panjang.
“Perlu diingat bahwa dampak ini mungkin hanya bersifat sementara jika harga CPO terus lesu. Fluktuasi harga komoditas global masih menjadi faktor utama yang memengaruhi industri sawit. Jika harga CPO tetap rendah atau terus menurun, meskipun pungutan sudah dipangkas, daya tarik ekspor CPO dari Indonesia bisa saja menurun,” kata Achmad di Jakarta, Kamis (26/9/2024).
Dengan kata lain, kendati kebijakan tersebut memberikan bantuan bagi perusahaan dalam jangka pendek, namun industri saiwt masih sangat bergantung pada pergerakan harga global itu sendiri.
Sebagai informasi, Indonesia saat ini memungut bea keluar (BK) dan pungutan tambahan atas ekspor kelapa sawit. Pungutan tersebut digunakan untuk mendanai berbagai program peremajaan dan memberikan subsidi biodiesel melalui dana kelolaan dari Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) yang sebelumnya ditetapkan setiap bulan dalam dolar Amerika Serikat (AS).
Lebih lanjut, Achmad juga mengingatkan terkait keberlanjutan program-program penting seperti biodiesel apabila kebijakan pemangkasan pungutan CPO tersebut terus berlanjut.
Pasalnya, dia menilai jika industri sawit Indonesia saat ini berperan dalam mendukung program energi terbarukan melalui mandatory biodiesel yang dananya sebagian besar berasal dari pungutan ekspor sawit itu sendiri.
“Dengan menurunnnya penerimaan dari pungutan ekspor, pendanaan untuk subsidi biodiesel bisa terancam, dan hal ini dapat berdampak negatif terhadap keberlanjutan program biodiesel yang merupakan bagian dari upaya transisi energi Indonesia menuju energi yang lebih hijau,” ungkapnya.
Meskipun kebijakan pemangkasan tarif pungutan ekspor ini diharapkan menyegarkan industri sawit dalam jangka pendek, Achmad menyarankan agar pemerintah segera memikirkan solusi jangka panjang untuk memastikan keberlanjutan industri sawit serta mendukung transisi energi hijau melalui program biodiesel.
Sumber: wartaekonomi.co.id