Oleh Achmad Nur Hidayat
Pakar Kebijakan Publik Narasi Institute dan Ekonom UPN Veteran Jakarta

Konteks Kebijakan dan Implikasi Sosial

Kebijakan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta untuk menonaktifkan Nomor Induk Kependudukan (NIK) bagi warga yang domisilinya tidak lagi berada di Jakarta telah menimbulkan kontroversi signifikan. Achmad Nur Hidayat, pakar kebijakan publik dari Narasi Institute dan ekonom di UPN Veteran Jakarta, mengangkat beberapa pertimbangan penting yang meragukan kebijakan ini, termasuk potensi gugatan di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Kebijakan ini mungkin tidak hanya mencerminkan perspektif yang terlalu kedaerahan, namun juga bisa dianggap mengancam prinsip-prinsip kebangsaan yang inklusif.

Mobilitas Penduduk Tinggi dan Kepentingan Ekonomi

Jakarta, sebagai pusat bisnis dan pemerintahan, memiliki tingkat mobilitas penduduk yang sangat tinggi. Banyak warga yang bekerja atau bersekolah di Jakarta tetapi tinggal di kota satelit. Menonaktifkan NIK mereka bisa menyulitkan akses mereka terhadap fasilitas atau layanan yang penting untuk aktivitas sehari-hari mereka di Jakarta. Dari sisi keuangan, pemerintah DKI juga berpotensi kehilangan pendapatan pajak dari penonaktifan NIK warga tersebut.

Diskrepansi Hak Politik dan Layanan Sosial

Meskipun KPU menjamin bahwa hak pilih warga tidak akan terpengaruh oleh status NIK, kebijakan ini secara paradoks menempatkan warga dalam posisi yang dilematis. Di satu sisi, mereka masih diakui sebagai pemilih yang berhak menentukan kepala daerah Jakarta, tetapi di sisi lain, mereka dianggap tidak layak menerima layanan publik di tempat mereka menggunakan hak pilih tersebut. Ini menciptakan keterputusan antara hak politik dan hak atas layanan sosial yang dapat menurunkan partisipasi dan kepercayaan publik terhadap pemerintah. Seolah dikesankan, Pemerintahan DKI hanya mau suara mereka tetapi ogah memperjuangan hak dasar sosial mereka di DKI. Sungguh tidak adil

Implikasi Hukum dan Hak Asasi

Tindakan menonaktifkan NIK bisa dipandang sebagai langkah yang mengancam kestabilan hukum dan hak asasi manusia, khususnya hak untuk mendapatkan identitas dan akses terhadap layanan publik yang seharusnya universal. Ini menimbulkan potensi gugatan hukum terhadap pemerintah provinsi, menurut pakar Achmad Nur Hidayat, yang menunjukkan betapa kebijakan ini bisa dipandang sebagai sebuah pelanggaran terhadap prinsip-prinsip dasar keadilan dan kesetaraan.

Potensi Gangguan Layanan dan Kesalahan Data

Menonaktifkan NIK juga bisa menyebabkan gangguan pada layanan yang sudah terintegrasi dengan NIK, seperti perbankan, layanan kesehatan, pendidikan, dan lainnya. Ini bisa berdampak pada kelancaran aktivitas sehari-hari warga tersebut di Jakarta. Selain itu, proses verifikasi domisili yang mengarah pada penonaktifan NIK membutuhkan data yang akurat dan terkini, yang dalam praktiknya bisa sulit didapatkan, berpotensi menimbulkan kesalahan penonaktifan NIK bagi warga yang sebenarnya memenuhi syarat untuk memiliki NIK aktif di Jakarta.

Ketidaktepatan Kebijakan Nonaktifkan NIK Warga di Jakarta dari Perspektif Kebijakan Publik

Kebijakan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta yang mulai menonaktifkan Nomor Induk Kependudukan (NIK) bagi warga yang domisilinya tidak lagi berada di Jakarta merupakan langkah yang menimbulkan kontroversi. Salah satu permasalahan terbesar yang muncul adalah dampak kebijakan ini terhadap hak politik warga, terutama dalam konteks pemilihan kepala daerah (Pilkada). Argumentasi yang akan dibangun berikut ini menggali lebih dalam mengapa kebijakan ini dapat dipandang sebagai langkah yang kurang tepat dari sudut kebijakan publik.

Keterputusan Antara Hak Politik dan Layanan Sosial

Pertama dan terutama, kebijakan menonaktifkan NIK ini menciptakan diskrepansi antara hak politik dan hak atas layanan sosial. Meskipun Komisi Pemilihan Umum (KPU) menjamin bahwa hak pilih warga tidak akan terpengaruh oleh status NIK, kebijakan ini secara paradoks menempatkan warga dalam posisi yang dilematis. Di satu sisi, mereka masih diakui sebagai pemilih yang berhak menentukan kepala daerah, tetapi di sisi lain, mereka dianggap tidak layak menerima layanan publik di tempat mereka menggunakan hak pilih tersebut. Ironisnya, kepala daerah yang dipilih berdasarkan suara mereka akan mengimplementasikan kebijakan yang secara langsung tidak mereka rasakan manfaatnya karena status domisili mereka.

Implikasi Kebijakan terhadap Kestabilan Sosial

Kedua, pemisahan antara hak memilih dengan hak menerima layanan sosial berpotensi menimbulkan ketidakstabilan sosial. Warga yang merasa terpinggirkan dari layanan dasar tetapi diminta untuk berpartisipasi dalam proses demokratis mungkin merasa kurang memiliki kekuatan atau motivasi untuk berpartisipasi secara aktif dalam kegiatan sosial dan politik. Ini secara tidak langsung dapat mengurangi kualitas interaksi antara pemerintah dan warga, yang pada akhirnya berdampak negatif terhadap pengambilan keputusan publik yang inklusif dan partisipatif.

Keberlanjutan Kebijakan dan Pertanyaan Etis

Ketiga, terdapat pertanyaan besar mengenai keberlanjutan dan etika dari kebijakan ini. Dengan menonaktifkan NIK, pemerintah seolah menetapkan dua kategori warga berdasarkan domisili: mereka yang “berhak” atas Jakarta dan mereka yang “tidak berhak”. Hal ini tidak hanya mempertanyakan prinsip dasar kesetaraan di hadapan hukum, tetapi juga mereduksi konsep kewarganegaraan dan partisipasi publik ke dalam terminologi geografis yang sempit. Kebijakan ini menimbulkan risiko bahwa kebijakan lain yang berbasis pada data kependudukan bisa ikut terpengaruh, sehingga memperdalam ketidakadilan sosial.

Solusi yang Berkelanjutan dan Inklusif

Mengingat ketiga argumentasi tersebut, langkah yang lebih bijak adalah mencari solusi yang lebih berkelanjutan dan inklusif. Pemerintah DKI Jakarta perlu mempertimbangkan pendekatan yang tidak hanya berfokus pada administrasi kependudukan semata, tetapi juga pada penjaminan hak-hak warga secara menyeluruh. Solusi potensial bisa mencakup pengembangan sistem verifikasi dan validasi domisili yang lebih fleksibel dan inklusif, serta kebijakan yang memperkuat integrasi antara hak sipil dan akses ke layanan publik.

Kesimpulan: Pertimbangan Kritis terhadap Kebijakan

Kebijakan menonaktifkan NIK warga yang domisilinya tidak lagi di Jakarta tampaknya adalah langkah yang kurang dipertimbangkan dengan matang. Dalam merancang dan mengimplementasikan kebijakan publik, esensial bagi pemerintah untuk memastikan bahwa semua warga memiliki akses yang setara ke layanan publik serta dapat berpartisipasi secara aktif dan efektif dalam kehidupan sosial

Dengan mempertimbangkan dampak jangka panjang terhadap individu dan sistem administrasi kota, keputusan untuk menonaktifkan NIK harus dipertimbangkan dengan cermat. Kebijakan ini harus diimbangi dengan kebijakan pendukung yang menjamin tidak ada warga yang terdiskriminasi atau kehilangan hak-hak mereka sebagai warga negara. Langkah yang lebih bijak adalah mencari solusi yang lebih berkelanjutan dan inklusif, yang tidak hanya berfokus pada administrasi kependudukan semata, tetapi juga pada penjaminan hak-hak warga secara menyeluruh.

Sumber: strateginews.id