Oleh: Achmad Nur Hidayat MPP (Pakar Kebijakan Publik dan Ekonom CEO Narasi Institute)
Pernyataan Presiden Jokowi yang menegaskan bahwa seorang presiden boleh memihak dan berkampanye dalam pemilihan presiden (pilpres) asalkan tidak menggunakan fasilitas negara merupakan pernyataan yang aneh dan terkesan Presiden tidak memahami tugasnya dalam menyelenggarakan pemerintahan.
Pernyataan ini, meskipun tampaknya berlandaskan aturan, pada dasarnya keliru, fatal, dan berpotensi menimbulkan konsekuensi serius bagi integritas proses demokratis.
Ada tiga alasan,
Pertama, pernyataan ini mengabaikan prinsip dasar netralitas presiden dalam konteks pemilihan umum. Seorang presiden, sebagai kepala negara dan pemerintahan, harus mempertahankan posisi netral untuk menjamin bahwa proses pemilihan umum terlaksana dengan adil dan jujur. Keterlibatan presiden dalam kampanye politik, terlepas dari aturan yang diikuti, dapat menciptakan persepsi ketidakadilan dan mempengaruhi opini publik, yang pada gilirannya dapat merusak kepercayaan terhadap proses pemilu.
Kedua, aspek konflik kepentingan menjadi sangat kritikal ketika presiden memilih untuk mendukung kandidat tertentu, khususnya jika kandidat tersebut memiliki hubungan pribadi dengan presiden, seperti dalam kasus anak presiden yang maju dalam pemilu. Hal ini menimbulkan pertanyaan serius tentang penggunaan pengaruh presidensial untuk keuntungan pribadi atau keluarga, yang dapat masuk ke ranah TIPIKOR dan sangat bertentangan dengan prinsip-prinsip demokrasi.
Ketiga, peran presiden dalam proses pemilihan dan pengawasan Komisi Pemilihan Umum (KPU) juga menjadi area yang rentan terhadap konflik kepentingan. Ketika presiden terlibat dalam kampanye atau mendukung kandidat tertentu, independensi dan netralitas KPU dapat dipertanyakan, mengingat KPU berada di bawah pengawasan presiden dan DPR.
Akhirnya, pernyataan presiden tersebut mengesampingkan pentingnya presiden sebagai simbol persatuan dan stabilitas nasional. Dalam menjalankan tugasnya, presiden harus memisahkan peran politik pribadi dari tugas resminya sebagai pemimpin negara untuk menjaga integritas dan kestabilan sistem demokratis.
Pernyataan Presiden Jokowi tentang kemungkinan presiden untuk berkampanye dan memihak dalam pemilihan presiden merupakan pendekatan yang keliru dan berbahaya. Ini mengancam prinsip dasar demokrasi dan netralitas dalam pemerintahan, serta menimbulkan risiko serius terhadap integritas dan kepercayaan publik terhadap sistem pemilu dan lembaga kepresidenan itu sendiri.