Oleh Achmad Nur Hidayat, MPP. (Ekonom dan Pakar Kebijakan Publik UPN Veteran Jakarta)
Dinamika politik di Indonesia semakin memanas menjelang pemilu 2024, terutama setelah munculnya viral video umpatan kasar “Ndasmu Etik” yang diucapkan oleh calon presiden Prabowo Subianto dalam acara Rakornas Partai Gerindra.
Ucapan tersebut menciptakan gelombang respons dari berbagai pihak, menyoroti pentingnya etika dalam dunia politik.
Jika konteks anies baswedan saat debat menyatakan tidak beretika itu terkait dengan putusan MK yang cacat hukum karena ada unsur KKN maka seolah-olah ucapan “Ndasmu Etik” yang dilontarkan mengesankan Prabowo permisif terhadap praktek KKN tersebut.
Penting untuk menilai penggunaan bahasa dalam politik, di mana ucapan Prabowo menjadi pusat perhatian.
Meskipun diakui oleh tim KIB sebagai candaan, namun kehati-hatian dalam menggunakan bahasa, terutama yang bisa dianggap kasar, menjadi esensial.
Bahasa yang tidak tepat dapat merusak citra dan reputasi seorang pemimpin yang mengucapkannya.
Ucapan “Ndasmu Etik” diduga sebagai sindiran terhadap Anies Baswedan, merujuk pada pertanyaan Anies dalam debat capres terkait pelanggaran etik dalam Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 90/PUU-XXI/2023.
Sindiran pribadi semacam ini menunjukkan kompleksitas hubungan antar-kandidat dan kebutuhan untuk menjaga debat berfokus pada substansi.
Ucapan ini menunjukkan bahwa Prabowo tidak menganggap etika sebagai hal serius. Respons ini mencerminkan pandangan kubu Anies terhadap pentingnya etika dalam politik.
Disinformasi Yang Sengaja Disebar Terkait Anies Baswedan
Disinformasi yang difabrikasi, seperti informasi yang digunakan untuk menyerang balik kepada Anies Baswedan yang dianggap tidak beretika karena telah berkhianat terhadap prabowo dengan disinformasi konteks mengenai Anies yang tidak akan mencalonkan diri jadi capres berhadapan dengan prabowo, padahal konteks ucapan tersebut saat pencapresan 2019 saat Anies masih harus menyelesaikan jabatannya sebagai gubernur DKI.
Sementara Partai adalah representasi dari rakyat sehingga jika ada partai yang menginginkan Anies jadi calon presiden tentunya sebagai negara demokrasi maka keinginan rakyat harus dihormati sebagai amanah atau kepercayaan.
Penting untuk menekankan bahwa jika partai menginginkan Anies sebagai calon presiden, prinsip demokrasi mengharuskan menghormati keinginan rakyat sebagai amanah atau kepercayaan. Tidak menghormati keinginan rakyat bisa dianggap sebagai ketidaksetujuan terhadap prinsip dasar demokrasi.
Disinformasi berikutnya terkait etika adalah pemilihan Cak Imin menjadi cawapres. Partai Demokrat, melalui Juru Bicara Herzaky Mahendra Putra, merespons komentar Anies terkait ucapan Prabowo dengan menuduh Anies tidak memiliki komitmen dan etika. Tudingan ini menambah kompleksitas dinamika politik antar partai politik yang terlibat.
Hal ini yang sempat membuat demokrat berang dan terburu-buru menjustifikasi, padahal tim Anies ingin mendiskusikannya terlebih dahulu sebelum ambil keputusan tapi tidak diberikan ruang dan kesempatan, sehingga masalah ini tidak langsung terklarifikasi sejak dini.
Pada akhirnya publik menilai demokrat tidak legowo karena terlalu bernafsu menginginkan AHY jadi cawapres.
Tudingan Partai Demokrat terhadap Anies terkait komitmen dan etika muncul dalam konteks kontroversi pemilihan cawapres di internal koalisi.
Pemilihan cak imin jadi cawapres yang membuat demokrat berang dan terburu-buru menjustifikasi padahal tim anies ingin mendiskusikannya terlebih dahulu sebelum ambil keputusan tapi tidak diberikan ruang, sementara publik menilai demokrat tidak legowo karena menginginkan AHY jadi cawapres.
AHY Lebih baik dari Gibran
Jika melihat nama-nama yang sebelumnya diprediksi menjadi cawapres dari capres Prabowo adalah Erick Tohir, sementara Golkar mengingingkan Airlangga Hartarto menjadi cawapres, dan demokrat tentunya tidak bisa dipungkiri menginginkan AHY jadi cawapres karena gagal menjadi cawapres Anies Baswedan, dan deretan nama-nama tersebut adalah orang-orang yang secara kapasitas lebih mampu daripada Gibran.
Hal ini jelas menunjukkan bahwa ada bargaining dengan penguasa sebagai kompensasi dukungan dari penguasa untuk pemenangan capres prabowo, dan hal ini tentu sudah menyalahi etika. Jika orientasi dari capres prabowo ini adalah untuk kepentingan rakyat tentunya prabowo akan memilih kandidat dengan kapasitas terbaik.
AHY sendiri tanpa disadari dirinya telah disalip oleh Gibran yang baru seumur jagung yang justru diposisi ini AHY lebih layak dibanding Gibran.
Dalam kondisi ini jika Demokrat marah akan sangat wajar jika di bandingkan dengan terpilihnya Cak Imin jadi cawapres dari capres Anies Baswedan karena jam terbang/pengalaman Cak Imin jauh lebih berpengalaman daripada AHY, dalam kondisi ini memang sepantasnya jika AHY legowo.
Ekspresi berlebihan yang ditunjukkan oleh Gibran dalam debat capres pertama menjadi sorotan tajam dari publik dan analis politik.
Hal ini sangat memalukan sehingga Gibran mendapat teguran dari KPU. Ekspresi yang berlebihan ini dapat menciptakan kesan bahwa bukan hanya Capres Prabowo yang dianggap kurang beretika, tapi juga Gibran cawapresnya.
Keberadaan Gibran yang dianggap belum banyak pengalaman ini dapat merugikan kepercayaan publik terhadap paslon yang diusung Koalisi Indonesia Bersatu (KIB).
Debat Perdana Capres yang terus membekas
Pembahasan etika tampaknya membekas bagi kubu Prabowo, membuat dinamika politik semakin panas menjelang pemilu 2024. Respons dan tanggapan dari berbagai pihak mencerminkan betapa pentingnya etika dan moral dalam membangun kepercayaan masyarakat terhadap pemimpin politik.
Keseluruhan bahasan ini menegaskan bahwa etika bukan hanya masalah retorika, tetapi merupakan fondasi kepemimpinan yang kuat.
Pemimpin yang dapat menjaga etika dalam setiap langkahnya akan lebih mampu membangun kepercayaan publik dan menghadapi dinamika politik dengan integritas.