Dalam diskusi yang menarik dan penuh wawasan di program Zoominari Narasi Institute tanggal 26 Desember 2023 dengan tema “Slepet-nomics” yang dimoderatori oleh Achmad Nur Hidayat, MPP., Prof. Didin S. Damanhuri memperkenalkan kita pada konsep ‘slepet-nomics’ yang digagas pasangan capres-cawapres Anies Baswedan dan Muhaimin Iskandar (AMIN), sebuah istilah yang muncul dari praktik sehari-hari kalangan santri yang mengubah Sarung jadi Slepet untuk para Kiai menslepet para santri yg telat bangun, bahkan kalau ada pelanggaran aturan santri akan dislepet lebih keras..
Meskipun beberapa pengamat ekonomi menganggapnya norak, istilah ini sebenarnya membuka pintu ke pemahaman baru tentang ekonomi yang berakar pada kearifan lokal. Ini mengingatkan kita pada perjalanan musik dangdut di Indonesia, yang juga pernah dianggap norak namun kemudian mendapat pengakuan luas berkat inovasi dan adaptasi.
Didin menyoroti ‘Western bias’ yang sering kali mendominasi pemikiran ekonomi. Menurutnya, pandangan ini cenderung meremehkan atau bahkan mengabaikan ide-ide yang lahir dari konteks lokal atau yang berbeda dari paradigma Barat.
“Ada Western bias terhadap pemikiran ekonomi,” Didin menyatakan, “sehingga yang berpikiran lokal, berpikiran keluar dari perspektif Western paradim itu dianggap norak.”. Pengalamannya selama dua dekade terakhir dalam memberikan perspektif komparatif tentang berbagai aliran pemikiran ekonomi menunjukkan betapa pentingnya memperkaya diskursus ekonomi dengan berbagai sudut pandang.
Salah satu contoh sukses yang diangkat adalah Jepang, negara yang berhasil menggabungkan tradisi dan agama dengan industrialisasi modern. “Jepang berhasil mengawinkan tradisi positif dan agama mereka dengan industrialisasi yang spektakuler,” kata Didin.
Jepang tidak hanya mengadopsi satu model ekonomi dari Barat, tetapi menciptakan sistem uniknya sendiri yang menghormati dan memanfaatkan nilai-nilai tradisional dan etis. Ini adalah bukti bahwa ekonomi yang kuat dan berkelanjutan dapat dibangun dengan menghargai dan mengintegrasikan kearifan lokal.
Dalam konteks Indonesia, Didin melihat slepetnomic sebagai peluang untuk membangun konstruksi ekonomi yang mirip dengan model Jepang, dengan menekankan pada keadilan dan pemerataan. Dia mengkritik adopsi tanpa kritik terhadap neoliberalisme yang berorientasi pada GDP, yang sering mengabaikan pembangunan institusi sosial, ekonomi, dan politik yang kuat dan berakar pada rakyat.
“Indonesia terjebak kepada, bukan terjebak, sudah masuk pada middle income,” Didin menjelaskan, menekankan pentingnya melampaui pendekatan yang sempit dan mencari solusi yang lebih inklusif dan berkelanjutan.
Menurutnya, Indonesia harus bergerak menuju ekonomi yang lebih inklusif dan berkelanjutan, yang tidak hanya fokus pada pertumbuhan tetapi juga pada pemerataan dan pengurangan ketimpangan.
Pentingnya ‘Local Wisdom’ atau kearifan lokal menjadi tema sentral dalam diskusinya. Didin menekankan bahwa membangun ekonomi yang berbasis pada nilai-nilai tradisional dan lokal bukan hanya tentang melestarikan budaya, tetapi juga tentang menciptakan sistem ekonomi yang lebih kuat dan tangguh.
“Kita harus juga memberikan perspektif yang akademis,” Didin menegaskan, mendorong pendekatan ekonomi yang lebih inklusif dan berkelanjutan, yang mempromosikan kerjasama daripada kompetisi, dan yang mendukung penguatan ekonomi berbasis lokal serta pemerataan ekonomi.
Visi ‘adil makmur untuk semua’ menjadi platform utama yang harus diusung dalam pembangunan ekonomi Indonesia. Ini bukan hanya slogan, tetapi sebuah prinsip yang harus mendasari semua kebijakan dan inisiatif.
Pemerintah yang kredibel, tidak korup, dan yang mendukung penguatan ekonomi berbasis lokal serta pemerataan ekonomi adalah kunci untuk mewujudkan visi ini.
Didin menutup dengan menekankan bahwa slepetnomic bisa menjadi langkah awal untuk mengoreksi dan membangun ekonomi Indonesia yang lebih adil dan berkelanjutan.
Ini bukan hanya tentang mengadopsi model ekonomi yang sukses dari negara lain, tetapi tentang menciptakan model unik yang sesuai dengan konteks dan kebutuhan Indonesia.
Dengan menggabungkan kearifan lokal, inovasi, dan komitmen terhadap keadilan dan pemerataan, Indonesia dapat membangun ekonomi yang tidak hanya kuat tetapi juga inklusif dan berkelanjutan. Ini adalah visi yang ambisius, tetapi dengan pendekatan yang tepat, adalah mungkin untuk mencapainya.