JAKARTA – Pemerintah diimbau tidak menganggap defisit belanja negara yang lebih rendah dari proyeksi seolah sebagai prestasi karena berhasil melakukan efisiensi. Sebaliknya, harus mengakui hal itu terjadi karena sistem perencanaan yang masih buruk.

Pakar ekonomi dari Universitas Surabaya (Ubaya), Wibisono Hardjopranoto, mengatakan, realisasi defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang lebih kecil dari proyeksi harus dicermati karena menandakan ada program pemerintah yang belum terlaksana.

“Pemerintah harus melakukan tinjauan yang cermat mengapa hal itu bisa terjadi. Selisih sedemikian besar menandakan adanya program departemen atau kementerian yang tidak berjalan. Artinya ada birokrat kita yang kurang kreatif dan inovatif untuk menghasilkan kinerja yang produktif. Proyeksi Kementerian Keuangan itu dipastikan pasti ada perhitungannya.

Sebelumnya, Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati mengatakan, Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) tercatat defisit sebesar 35 triliun rupiah per 12 Desember 2023.

Defisit tersebut setara dengan 0,17 persen dari produk domestik bruto (PDB). Sebelumnya, defisit APBN 2023 didesain 598,2 triliun rupiah atau 2,84 persen dari GDP, sebelum direvisi Perpres 75/2023 menjadi sebesar 479,9 triliun rupiah.

Buruknya Perencanaan

Dihubungi terpisah, Ekonom dan Pakar Kebijakan Publik UPN Veteran Jakarta, Achmad Nur Hidayat mengatakan tidak ada yang bisa diapresiasi dari realisasi defisit APBN yang lebih kecil dari rencana. Sebab hal itu justru menunjukkan buruknya perencanaan pemerintah.

“Pemerintah harus ingat, APBN telah disetujui oleh DPR dan merupakan sebuah Undang-Undang (UU), sehingga bukan sebuah keputusan yang seenaknya bisa dilanggar,” katanya.

“APBN kan bukan rencana belanja tingkat RT. Ini ngomongin negara kok kayak rukun tetangga,” kata Achmad.

Menkeu semestinya menjelaskan secara terbuka rencana belanja mana saja yang gagal direalisasikan sehingga realisasi defisit jauh dari perencanaan. Dengan demikian, akan tampak kementerian mana yang gagal menyerap anggaran. Baru dari situ publik bisa menilai kewajaran realisasi defisit.

“Bukan malah sebaliknya membanggakan neraca keseimbangan primer. Padahal neraca primer itu ya otomatis positif kalau realisasi defisitnya kecil sekali,” kata Achmad.

Apalagi, Indonesia menghadapi berbagai tekanan ekonomi baik dari eksternal maupun dari internal. Sebab itu, perencanaan dan penggunaan anggaran negara yang baik menjadi kunci untuk menyelamatkan perekonomian negara.

Pada 2024 nanti, Indonesia akan menghadapi proses transisi politik yang setidaknya akan berdampak pada roda perekonomian.

“Pertumbuhan ekonomi jauh dari yang ditargetkan Presiden Jokowi saat kampanye dulu. Harus diingat pula kualitas pertumbuhan juga makin turun sebab serapan lapangan kerjanya makin kecil,” kata Achmad.

Ia pun meminta Menkeu agar tidak menutup-nutupi realitas kesehatan APBN dengan memberi statemen yang hanya membolak-balik persepsi, seperti membanggakan neraca keseimbangan primer di saat realisasi defisit jauh dari rencana.

Menkeu semestinya juga mengumumkan neraca solvabilitas APBN sehingga akan tampak seberapa baik kinerja ekspor dan pajak dalam membiayai bunga dan pokok utang.

“Pemerintah saat ini kan utangnya gila-gilaan dan tidak efisien yang dibarengi dengan impor yang makin besar seperti impor pangan dan impor barang konsumsi lainnya. Itu yang semestinya jadi perhatian bersama,” jelas Achmad.

Butuh Dorongan

Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudisthira mengatakan, realisasi APBN yang rendah akan berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi.

“Di saat ekonomi butuh dorongan dari motor pertumbuhan dalam negeri karena ekspor sedang turun, belanja pemerintah justru lambat bergerak,” ungkapnya. Jika serapan belanja tetap rendah dikhawatirkan pertumbuhan tahun depan akan melambat.

Rekan Bhima dari Celios, Nailul Huda menambahkan hingga triwulan III pengeluaran pemerintah belum bisa menjadi stimulus pertumbuhan ekonomi. “Mudah-mudahan pada triwulan IV-2023 bisa membaik,” ungkap Huda.

Sementara itu, pengamat ekonomi dari Universitas Diponegoro (Undip) Semarang, Esther Sri Astuti mengatakan, realisasi belanja yang tidak maksimal bisa karena pencairan anggaran triwulan pertama butuh waktu.

Sumber: koran-jakarta.com