law-justice.co – PLN lagi-lagi menjadi sorotan, kali ini akibat temuan BPK yang mengindikasikan adanya kehilangan potensi pendapatan senilai Rp5,69 triliun. Temuan BPK ini akibat PLN gagal menerapkan tarif khusus (L) kepada pelanggan premium. Besarnya volume bisnis di PLN, serta tengarai lemahnya pengawasan membuat BUMN ini menjadi incaran pemburu rente yang telah menjadi oligarki bidang energi.
Temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dalam IHPS I 2023 menyoroti kerugian di sejumlah BUMN dengan nilai yang fantastis. Salah satunya adalah kerugian senilai Rp5,69 triliun akibat kehilangan pontensi kehilangan pendapatan. PT PLN belum sepenuhnya menerapkan tarif layanan khusus (L) sesuai dengan Peraturan Menteri ESDM kepada pelanggan premium, tarif yang dikenakan saat ini menggunakan tarif reguler ditambah nilai layanan premium yang mengakibatkan PT PLN kehilangan pendapatan sebesar Rp5,69 triliun pada uji petik tahun 2021.
Ketua Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Isma Yatun menyerahkan Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester (IHPS) I tahun 2023 kepada Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) puan Maharani dalam Rapat Paripurna DPR, di Jakarta, Selasa (5/12/2023). (BPK)
Ketua BPK RI Isma Yatun di hadapan sidang Paripurna DPR RI, Selasa (5/12/2023) mengatakan masalah signifikan yang ditemukan BPK antara lain tarif layanan khusus sesuai Peraturan Menteri (Permen) ESDM kepada pelanggan premium belum sepenuhnya diterapkan oleh PT PLN (Persero).
Dari penelusuran Tim law-justice, layanan listrik premium ini adalah program PLN dengan tarif berbeda yang ditujukan untuk kalangan industri hingga rumah tangga yang punya keunggulan pasokan listrik berasal lebih dari satu sumber. Sehingga diklaim tidak mengakibatkan pemadaman bagi pelanggan premium saat ada gangguan di jalur utama. Adapun tarif layanan premium diatur dalam Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral No. 28/2016 tentang Tarif Tenaga Listrik Yang Disediakan Oleh PLN. Dalam beleid itu, hanya ada diksi tarif layanan khusus yang mengarah pada tarif premium, yakni sebesar Rp1.650/kWh untuk setiap tingkatan tegangan.
Ketidaksesuaian aturan dalam pengenaan tarif diperkuat dengan laporan penjualan PLN 2021, yang mana penjualan dari pelanggan premium non subsidi tidak seluruhnya dilaporkan sebagai penjualan tarif L. Dalam hal ini, hanya ada penyambungan sementara dari pelanggan premium berjumlah 21.782 pelanggan yang disajikan sebagai penjualan tarif L sebesar Rp80,8 juta lebih. Sedangkan sisanya tersebar di sembilan golongan tarif lainnya. Padahal, nilai pendapatan sebesar Rp22,1 triliun lebih.
Hasil uji petik auditor negara pun mengindikasikan kuat penyimpangan skema harga yang semestinya. Hal ini merujuk pada pemeriksaan uji petik terhadap Surat Perjanjian Jual Beli Tenaga Listrik (SPJBTL) pelanggan premium di Unit Induk Distribusi Jakarta Raya (UID Jaya) dan Unit Induk Distribusi Banten (UID Banten). Dalam uji petik ditemukan bahwa besaran tarif premium sebesar tarif regular golongan pelanggan ditambah nilai tambahan layanan premium (bronze, silver, gold, atau platinum) dengan tarif regular disesuaikan setiap bulan dalam SPJBTL dengan UID Jaya. Sedangkan, SPJBTL dengan UID Banten menunjukkan besaran tarif premium sebesar tariff adjustment reguler golongan pelanggan ditambah nilai tambahan layanan premium.
Sementara itu, PLN juga buka suara dan menegaskan akan menindaklanjuti rekomendasi Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) soal penerapan tarif layanan premium yang dikenakan kepada pelanggan khusus non reguler. Executive Vice President Komunikasi Korporat dan TJSL PLN Gregorius Adi Trianto mengatakan perseroan telah menerapkan tarif layanan premium itu secara bertahap sampai dengan akhir tahun ini.
Selain itu, Greg menegaskan, ketentuan mengenai layanan khusus yang diatur lewat Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral No. 28/2016 tentang Tarif Tenaga Listrik Yang Disediakan Oleh PLN telah diturunkan melalui peraturan pelaksana di perseroan. “Berupa pelaksanaan kebijakan single tarif layanan prioritas dimana hal tersebut mengakomodir kebutuhan pelanggan di semua golongan tarif,” kata Greg melalui keteranganya, Selasa (19/12/2023).
“Untuk itu PLN menindaklanjuti hasil rekomendasi BPK dengan implementasi yang dilaksanakan secara bertahap sampai dengan akhir tahun,” ungkapnya.
Dia menekankan ketentuan mengenai layanan khusus sendiri sudah sesuai Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 28 Tahun 2016 tentang Tarif Tenaga Listrik Yang Disediakan oleh PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) dan peraturan perubahannya yaitu Permen ESDM Nomor 3 Tahun 2020 telah diturunkan melalui Peraturan Pelaksana di PLN.
Kutipan Lampiran Permen ESDM 28/2016.
Melalui aturan ini, dilaksanakan pelaksanaan kebijakan single tarif layanan prioritas dimana hal tersebut mengakomodir kebutuhan pelanggan di semua golongan tarif. “PLN pun mengapresiasi langkah-langkah BPK RI yang terus memberikan rekomendasi guna perbaikan kinerja dan operasional perseroan, demi meningkatkan pelayanan yang prima kepada pelanggan,” katanya.
Berdasarkan pemeriksaan uji petik terhadap Surat Perjanjian Jual Beli Tenaga Listrik (SPJBTL) pelanggan premium di Unit Induk Distribusi Jakarta Raya (UID Jaya) dan Unit Induk Distribusi Banten (UID Banten) menunjukkan bahwa SPJBTL dengan UID Jaya menyebutkan besaran tarif premium sebesar tarif regular golongan pelanggan ditambah nilai tambahan layanan premium (bronze, silver, gold, atau platinum) dengan tarif regular disesuaikan setiap bulan, sedangkan SPJBTL dengan UID Banten menyebutkan besaran tarif premium sebesar tariff adjustment reguler golongan pelanggan ditambah nilai tambahan layanan premium.
Hal ini menunjukkan dalam praktiknya penetapan tarif layanan premium belum menentukan faktor N di awal perjanjian namun dihitung setelah tarif keekonomian diperoleh. Berdasarkan laporan penjualan PLN 2021, penjualan dari pelanggan premium non subsidi tidak seluruhnya dilaporkan sebagai penjualan tarif L. Dari 21.782 pelanggan premium dengan nilai pendapatan sebesar Rp22.105.602.761.612,00, hanya penyambungan sementara dari pelanggan premium yang disajikan sebagai penjualan tarif L sebesar Rp 80.899.160,00 sedangkan sisanya tersebar di sembilan golongan tarif lainnya.
Tarif L merupakan tarif dasar tenaga listrik yang oleh karena sesuatu hal tidak dapat dikenakan 37 tarif lainnya. Nilai tarif L penetapan yang berlaku tahun 2021 yaitu Rp1.644,52/kWh x N (nilai maksimum N ≤ 1,5). Tarif L yang dikenakan kepada pelanggan dihitung dengan mengalikan tarif L sesuai dengan penetapan dari Kementerian ESDM dengan faktor pengali N. Perhitungan ulang oleh BPK atas layanan premium yang diberikan PLN jika menggunakan tarif L penetapan (Rp1.644,52 x N) dan faktor N yang telah diatur oleh PLN maka kehilangan pendapatan sebesar Rp5.696.947.317.603,97.
Direksi PLN menjelaskan bahwa PLN akan mereviu kembali keputusan Komite Niaga No 05/2014 untuk digunakan dasar dalam penyusunan kajian terkait penetapan tarif premium yang akan dikoordinasikan dengan kementerian ESDM sehingga dapat digunakan sebagai pedoman/petunjuk teknis penetapan tarif layanan premium sebagai langkah perbaikan atas penerapan keputusan Komite Niaga No. 05/2014. BPK merekomendasikan Direktur Utama PLN agar segera menerapkan tarif kepada pelanggan premium secara bertahap sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Temuan BPK, Sinyal Pengelolaan Buruk di PLN
Ekonom dari Narasi Institute, Achmad Nur Hidayat, mengatakan temuan BPK itu adalah suatu sinyal tata kelola PLN itu buruk. Pengenaan tarif yang tidak sesuai peraturan diduga terjadi karena kesepakatan gelap antara PLN dan kalangan industri, utamanya industri skala besar. Ada keistimewaan bagi kelompok pengusaha yang memiliki akses kepada direksi PLN, termasuk komisarisnya untuk melobi harga listrik sesuai keinginan.
“Cara mainnya gampang, bicara dengan oknum (PLN) bersama dengan direksi dan CEO swasta. Daripada membayar mahal, lebih baik bayar oknum itu saja. Itu kan suatu hal yang masuk korupsi. Padahal industri ini sebenarnya mampu bayar, apalagi pas pandemi banyak insentif dari pemerintah,” kata Achmad kepada Law-justice, Kamis (21/12/2023).
Achmad merujuk keterlibatan direksi termasuk komisaris berdasar keterangan PLN yang menyebutkan aturan pengenaan tarif layanan premium bakal dilakukan secara bertahap, meski aturan sudah jelas berlaku pada 2016 lalu. Jika yang dominan konsumennya adalah korporasi, maka ada keuntungan bagi segelintir korporasi yang mengecap pemberlakuan aturan tarif sesuai Permen ESDM 2016 itu. “Apakah direksi PLN mengerti mengenai soal aturan atau dengan seenaknya saja melakukan diskriminasi. Kalau ini bertahap, pertanyaannya siapa yang duluan, siapa yang belakangan. Nah proses seperti ini memantik rent seeking dan juga perilaku korupsi,” kata dia.
Ekonom dari Narasi Institute, Achmad Nur Hidayat.
Menurut Achmad, terdapat kerugian yang diderita PLN di balik neraca keuangan yang menunjukkan tren kenaikan laba usaha beberapa waktu terakhir. Satu di antaranya terkait over supply atau kelebihan stok listrik yang dimiliki PLN sebesar 6 Giga Watt, baik hasil produksi maupun yang dibeli dari pihak swasta. Kata dia, kerugian dari over supply ini jangan sampai ada kaitannya dengan loss pendapatan PLN sesuai audit BPK itu.
“Artinya PLN menanggung beban terus tiap bulannya karena listrik yang tersimpan itu kan butuh biaya operasional. Kalau kapasitornya tidak mampu, listriknya juga nanti terbuang karena belum ada teknologi untuk menyimpan listrik dalam waktu dan jumlah yang banyak,” ujarnya.
Achmad mewanti-wanti kerugian PLN jangan menjadi dalih untuk pembebanan APBN melalui suntikan PMN. APBN semestinya digunakan untuk kepentingan publik, alih-alih menambal rugi akibat kesalahan manajemen BUMN. Loss pendapatan Rp5,6 triliun mesti dipertanggungjawabkan oleh PLN untuk menghindari defisit anggaran.
Peneliti Energy and Natural Resources Institute of Indonesia (ENRI), Yusra Abdi, menduga juga kalangan industri menjadi segmentasi pasar terbesar listrik premium PLN ini. Sehingga, relasi dalam ketidaksesuaian tarif ini berkutat antara pimpinan PLN dan pimpinan korporasi. Over supply listrik PLN ini yang diduga diperjualbelikan ke kelompok pengusaha dengan label layanan premium. Senada dengan Achmad, PLN kadung merugi karena kelebihan pasokan listrik sehingga berupaya menekan kerugian.
“Nah apakah ini bagian dari marketing PLN yang menekan kerugian atau permainan. Ini yang harus diselidiki lagi oleh BPK dan APH seandainya PLN menjual murah di luar kewajaran Permen ESDM,” kata Yusra kepada Law-justice, Kamis (21/12/2023).
Perlu dicek, kata dia, apakah ada diskresi dari pimpinan PLN, misal di diskresi hingga pimpinan unit kerja. Dia menekankan PLN mengakali over supply listrik ini dengan memberikan potongan tarif kepada konsumen, terlebih ke kalangan industri. Kategori listrik dalam program layanan premium ini merupakan jenis curah, yang sarat negosiasi. Lagi-lagi, negosiasi harga di bawah ketentuan diduga menjadi cara PLN untuk menambal rugi dari krisis kelebihan pasokan listrik.
Menurutnya, apa yang dilakukan PLN selama ini tak terlepas dari skema pemerintah, termasuk imbas pasokan listrik berlebih itu. Ia mencontoh pembangunan PLTS terapung Cirata yang ada di Jawa Barat merupakan contoh lain kebijakan pemerintah yang memperparah over supply listrik. Dia heran apa yang menjadi motif atau kepentingan proyek untuk menambah pasokan listrik.
“PLN ini kan hidupnya sebagai single buyer, dia banyak ditentukan oleh pemerintah. Kalau pemerintahnya berengsek, suka gak suka PLN-nya juga akan berengsek,” ujar Yusra.
Peneliti dari Fitra, Gulfino Guevarrato juga menyoroti loss pendapatan PLN hingga triliunan ini merupakan pembiaran atau sengaja yang dilakukan oleh pimpinan PLN dengan tidak mengenakan tarif sesuai aturan. Aparat hukum semacam KPK dan Kejagung mesti turun tangan. “Padahal sudah jelas PLN ini memonopoli energi listrik di Indonesia. Jangan lantas tidak ada saingan, jadi bertindak seenaknya,” ujar Gulfino kepada Law-justice, Kamis.
Ia juga dalam posisi yang menganggap layanan premium ini ditujukan bagi kalangan industri. Relasi PLN dan kalangan pengusaha dikhawatirkan hanya berlandas cuan untuk segelintir orang. Pola relasi semacam ini tak hanya di PLN, ia mencontoh kasus di Pertamina terkait penggunaan bahan bakar minyak bersubsidi untuk kepentingan industri.
“Kami khawatir pola yang sama bahwa ada penggunaan energi yang seharusnya ada harga tertentu untuk industri, tapi karena dianggap mahal, kemudian pakai tarif biasa. Misalkan ada kongkalikong antara pimpinan PLN dan kelompok pengusaha, ini kan namanya pencurian sumber daya negara,” ucap Fino.
Adapun Direksi PLN sempat bilang bakal mereviu kembali keputusan Komite Niaga No 05/2014 untuk digunakan dasar dalam penyusunan kajian terkait penetapan tarif premium yang akan dikoordinasikan dengan kementrian ESDM sehingga dapat digunakan sebagai pedoman/petunjuk teknis penerapan tarif layanan premium. Namun, Gulfino berpendapat masalah loss pendapatan ini tidak sesederhana melakukan kajian aturan saja. Perusahaan pelat merah itu mesti menjelaskan mengapa adanya ketidaksesuaian pengenaan tarif.
“Tarif tidak sesuai ini dalihnya PLN apa. kalau misalnya dalihnya tidak ada internal peraturan PLN, ya itu bukan alasan yang bisa dibenarkan. Perlu dicek dari sudut pandang hukum 5,6 triliun ini disebabkan karena apa dan berdampak pada hal apa. Misalnya penerima listriknya adalah industri, mens rea-nya itu apa,” tutur Fino.
Soroti Indikasi Tindak Pidana Korupsi
Menteri BUMN Erick Thohir menegaskan bila ia akan melaporkan kepada Kejagung jika ditemukan dugaan tindak pidana korupsi (Tipikor) dalam temuan BPK yang melibatkan 11 BUMN, termasuk PLN. Erick menyatakan bila temuan BPK sebenarnya lumrah saja. Pasalnya kata Ketum PSSI ini, tidak selamanya merupakan temuan yang melanggar hukum seperti korupsi. “Itu temuan yang lumrah dan saya rasa itu catatan pembukuan yang memang harus diperbaiki. Tetapi kalau ada korupsinya ya kita yang bawa langsung ke kejaksaan,” ujar Erick melalui keterangannya, Rabu (20/12/2023).
Erick menyatakan bila seluruh BUMN akan menerapkan transparansi dan good corporate governance (GCG), sehingga sudah seharusnya hasil audit BPK ditindaklanjuti. “Terus apa? Menutup diri? Enggak lah. Kita ini kan transparan dan good corporate governance-nya ada,” imbuhnya. Erick mengatakan bila soal temuan BPK ini tentu perlu adanya tindak lanjut dan perlu dibaca secara utuh supaya tidak terjadi kesalahpahaman. “Dan kalau dilihat, BPK itu baca tindak lanjutnya. Bukan semuanya kasus hukum loh, ini kadang diputarbalikkan ini jadi kasus hukum,” katanya.
Sementara itu terkait temuan BPK tersebut, Ketua Komisi VI DPR RI Faisol Riza mengatakan Menteri BUMN Erick Thohir harus menindaklanjuti temuan BPK tersebut agar tidak menjangkiti perusahaan lainnya. “Saya kira temuan BPK ini sebaiknya ditindaklanjuti oleh masing-masing BUMN, baik itu PLN maupun Telkom,” kata Faisol saat dikonfirmasi, Kamis (21/12/2023).
Politisi PKB ini mengatakan sejumlah perusahaan pelat merah tersebut harus mampu mengendalikan masalahnya dan menjalankan apa yang diminta BPK untuk diperbaiki. “Menurut saya, sebagai sebuah perusahaan yang sudah lama berkiprah, dan juga perusahaan yang memiliki reputasi besar, PLN dan Telkom maupun Pertamina, rasanya akan mematuhi apa yang sudah diminta oleh BPK,” kata Faisol.
Faisol menekankan, untuk menjadikan BUMN sebagai perusahaan dengan pengelolaan terbaik atau Good Corporate Governance (GCG) maka mereka harus mematuhi arahan Menteri BUMN dengan serius mengatasi permasalahannya. “Memang ini temuan penting, terutama untuk menjaga GCG, yang sudah menjadi aturan perusahaan secara serius, dan diminta betul oleh Menteri BUMN untuk dijalankan,” ungkapnya.
Wakil Ketua Komisi VII DPR RI Eddy Soeparno turut menanggapi soal temuan BPK untuk PLN, Eddy menuturkan bila masih ada permasalahan yang dimiliki oleh PLN. “Iya kami mendorong PLN untuk segera menindaklanjuti itu (Temuan BPK),” tutur Eddy saat dikonfirmasi, Selasa (19/12/2023). Permasalahan lain dari PLN, menurut Eddy adalah terkait dengan kapasitas listrik berlebih atau over capacity listrik yang tidak termanfaatkan. Alih-alih menjadi keuntungan, kelebihan kapasitas listrik ini menjadi beban bagi PT PLN.
“PLN saat ini over kapasitas listrik ya. Over kapasitas juga tidak kecil hampir 7 giga watt. 7 gigawatt artinya kalau 1 gigawatt itu kita harus membayar Rp 3 triliun untuk kontrak take or pay, maka 7 gigawatt artinya kita membayar kurang lebih Rp 20-21 triliun untuk listrik yang tidak kita manfaatkan,” imbuhnya.
Eddy mengatakan kapasitas berlebih tersebut akan semakin bertambah jika menerima pasokan listrik baru dari sumber energi terbarukan atau EBT. “Dengan kapasitas yang sekarang ada, kalau sekarang ini PLN kemudian menerima pasokan listrik dari sumber energi terbarukan artinya kan over kapasitas bertambah,” kata dia.
Persoalan ini merembet bagi PT PLN yang tidak bisa begitu saja melakukan pensiun dini untuk setiap Pemabangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Batu Bara. Karena untuk menyuntik mati satu PLTU saja, dibutuhkan pendanaan hingga belasan triliun. “Untuk pensiun dini (PLTU) di Cirebon itu biayanya adalah Rp 12 triliun, dan untuk di Pelabuhan Ratu itu biayanya Rp 13 triliun. Meskipun yang di Pelabuhan Ratu itu sudah ada pendanaan dari Asian Development Bank (ADB),” tutupnya.
Incaran Pemburu Rente dan Lemahnya Pengawasan
Pengamat energi Marwan Batubara menilai, temuan BPK di PLN yang mengindikasikan adanya potensi kehilangan pendapatan hingga Rp5,69 triliun sebenarnya bukanlah hal baru. Sebagai BUMN dengan volume bisnis yang besar, PLN dikenal menjadi salah satu BUMN yang kerap menjadi bahan bancakan “PLN bagi penguasa, BUMN dengan volume bisni besar tentunya kue sedap yang mesti dibagi-bagi. Jadi jangan heran kalau kerap ada temuan BPK di BUMN besar, meskipun secara overall dia untung, sebab mereka sudah memperhitungkan menggerogoti daru dalam, tetapi tidak sampai membuat BUMN mencatatkan kerugian. “Di situlah bagimana oligarki berperan. Kerjasama antara politisi, pemerintah dan pengusaha mencari rente dari BUMN seperti PLN,” ujarnya.
Ini volume bisnis besar, kekuasaan ingin bertahan ingin mendapat rente, lalu bekerja sama dengan pengusaha sehingga membentuk oligarkai. BUMN selalu jadi korban, jadi pihak yang selalu dirugikan. “(Ditambah lagi) Penegakkan hukumnya lemah,” ujar juru bicara Petisi 100 ini.
Di PLN bisa dilacak dari kasus-kasus korupsi yang telah ditangani oleh penegak hukum, terutama yang berkaitan dengan proyek-proyek raksasa, seperti pembangunan pembangkit. Marwan, lantas mempertanyakan peran komisaris dan direksi PLN yang menurutnya seolah-olah tutup mata dengan keadaan seperti ini. “Tidak terlihat ada upaya perbaikan, baik dalam ,kultur maupun struktur. Masih jadi langganan temuan BPK,” ujarnya.
Dia menyinggung keberadaan sejumlah sosok yang didapuk menjadi komisaris PLN yang menurutnya cenderung tidak berbuat optimal, padahal telah mendapat bayaran tinggi dari negara. Dia sempat me nyinggumh peran Amin Sunaryadi, mantan Wakil Ketua KPK yang menjadi komisaris PLN tahun 2019-2023. “Dalam periode tersebut, nyaris tidak terlihat peran Amin dalam mereformasi PLN. Justru temuan BPK kali ini juga terjadi di masanya,” ujarnya.
Hal serupa juga disampaikan oleh Achmad dari Narasi institute, dia menilkai kinerja PLN sejauh ini masih belum sesuai ekspektasi. Alih-alih bisa mengedepankan kepentingan layanan listrik bagi publik, justru yang ada sebaliknya. Menurutnya, keterlibatan relawan politik dalam susunan komisaris merupakan pangkal masalahnya. Satu di antara sejumlah komisaris, bertengger nama Eko Sulistyo yang merupakan relawan Presiden Joko Widodo. Eko juga merupakan konco lawas Jokowi semasa menjabat Wali Kota Solo.
“Karena orang di dalamnya (PLN) kebanyakan tidak kompeten sehingga tidak bisa menyehatkan perusahaan. Ke depan kita butuh meritokrasi,” kata Achmad
“Jangan sampai kehadiran relawan, saudara Eko Sulistyo itu menambah keyakinan bahwa ketika kalangan relawan ini mengelola BUMN yang terjadi bukan memperkuat BUMN, tapi malah melakukan perampokan dan pada akhirnya negara dirugikan,” ia menambahkan.
Belakangan Komisaris PT PLN (Persero) Eko Sulistyo menyatakan bakal mengundurkan diri dari jabatannya usai ditunjuk sebagai Wakil Ketua Tim Pemenangan Nasional (TPN) pasangan Capres-Cawapres Ganjar Pranowo-Mahfud MD. Surat pengunduran diri Eko diurus ke Kementerian BUMN pada Kamis (26/10/2023) setelan namanya resmi diumumkan masuk dalam TPN. Namun, hingga saat berita ini diturunkan, namanya masih tercatat sebagai dewan komisaris di situs resmi PLN.
Di sisi lain, Marwan Batubara menambahkan lembaga pengawasan justru lemah. Kalah perkasa dibanding niat jahat pemburu rente. “Kita bisa lihat sistem dalam menindaklanjuti laporan BPK tidak optimal,” ujarnya.
“Hasil pemeriksaan BPK dalam bentuk IHPS selalu disampaikan ke Pemerintah, DPR dan DPD. Kalau ada temuan, mestinya dilaporkan ke lembaga penegak hukum. Apakah Polisi, Kejaksaan Agung, KPK,” kata Marwan. Sayangnya, ini tidak berlangsung otomatis.
Padahal, BPK adalah lembaga yang dijamin konstitusi, selevel dengan pemerintah dan DPR sebagai lebaga tinggi. Selain itu dana negara untuk opersional BPK juga tidak sedikit untuk menjalankan fungsi audit APBN. BPK mestinya fungsinya lebih dioptimalkan. Menurut dia, jangankan yang sifatnya rutin seperti IHPS, yang sifatnya ivestigatif saja tidak banyak di-follow up oleh aparat penegak hukum. Padahal sudah ada dua unsur pidana yang terpenuhi, pelanggaran hukum dan kerugian negara. “Secara umum itulah yang terjadi, maka saya serukan agar UU BPK direvisi. Beri tambahan kewenangan,” imbuhnya.
UU BPK mesti diubah, agar mendapatkan hasil lebih baik. agar orang yang mengoperasikan dana APBN lebih berhati-hati . Kalau ditemukan hal-hal seperti ini, kalau ada unsur pidana, BPK bisa gerak cepat. Justru, sekarang fungsi BPK dilemahkan dari dalam. Salah satunya dari kasus jual beli WTP, padahal itu adalah fungsi utama BPK untuk melakukan audit terhadap keuangan negara.
Kasus dugaan korupsi di PLN bukan semata di sisi hilir saja, seperti adanya dugaan gagal [enagihan tarif khusus premium ini. Penegak hukum telah berulang kali melakukan penengakan hukum di BUMN ini. Sejumlah proyek pembangkit listrik, hingga engadaan pasokan batubara pernah menjadi PR bagi penegak hukum. Sayangnya, seolah tak membuat jera.
Manisnya kue bisnis di PLN, lebih menggoda pemburu rente untuk berbuat lancung di BUMN ini. Lingkaran pelakunya pun telah membuat oligarki tersendiri dengan melibatkan politisi senayan, birokrat dan pengusaha. Sementara, pemerintah dalam hal ini Presiden Joko Widodo pun seakan abai dengan kondisi ini. Padahal, PLN merupkaan salah satu BUMN yang menjalankan fungsi PSO sebagai pengelola komoditas yang mempengaruhi hajat hidup orang banyak. Efisiensi di PLN, tentunya diharapakan akan mebuat harga listrik dimasyarakat bisa turun dan dinikmati oleh seluruh rakyat.
Sumber: law-justice.co