Di penghujung bulan ini, pemerintah Indonesia akan memulai sebuah program pembebasan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) untuk pembelian rumah. Program yang dicanangkan oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati ini ditetapkan untuk berlaku efektif hingga Desember 2024. Inisiatif ini menawarkan pembebasan PPN untuk pembelian properti dengan harga maksimal 5 miliar rupiah, di mana pemerintah akan menanggung PPN hingga nilai 2 miliar rupiah. Sementara itu, pembelian rumah dengan harga di atas 5 miliar rupiah akan tetap dikenakan PPN standar sebesar 11 persen.
Rencana ini lahir dari niat untuk mendorong pertumbuhan ekonomi Indonesia, namun terdapat keprihatinan bahwa kebijakan ini tidak tepat untuk diterapkan mengingat kondisi ekonomi masyarakat yang belum baik.
Manfaat ekonomi dari kebijakan ini hanya akan dinikmati kelompok masyarakat yang lebih mampu secara finansial. Pemerintah lebih baik memberikan insentif ini kepada para petani yang berada di lapisan bawah, agar para petani mendapatkan dampak signifikan.
Pembebasan PPN ini seharusnya diarahkan pada sektor yang membutuhkan perhatian lebih mendesak, seperti pertanian. Hal ini dapat mendorong pertumbuhan sektor tersebut, meningkatkan ekonomi para petani, dan mendukung kemandirian pangan nasional.
Dengan fokus saat ini terpaut pada sektor properti, kekhawatiran muncul bahwa kebijakan ini tidak pro rakyat dan malah dapat memperlebar ketimpangan sosial yang sudah ada.
Lebih lanjut, mulai Juli hingga Desember 2024, insentif PPN dijadwalkan akan dikurangi menjadi 50 persen. Ini adalah aspek lain yang perlu dipertimbangkan kembali, mengingat dampak yang mungkin akan terjadi pada pasar properti dan keseluruhan ekonomi.
Sektor properti memang memiliki kontribusi yang signifikan terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) dan penerimaan pajak di Indonesia. Namun, sektor-sektor lain juga memiliki potensi yang sama jika disupport secara optimal untuk memberikan kontribusi yang signifikan bagi pertumbuhan ekonomi.
Adapun pernyataan bahwa insentif ini akan menjaga pertumbuhan ekonomi sekitar 5,1 persen, dapat diinterpretasikan sebagai pemeliharaan status quo dalam kesenjangan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi yang sejati dan inklusif harusnya dirasakan oleh semua lapisan masyarakat, bukan hanya terbatas pada golongan tertentu.
Kemudian hal ini berbeda dengan subsidi 4 juta rupiah untuk pembelian rumah murah. Subsidi tersebut harus disalurkan dengan bijak untuk memastikan bahwa hanya masyarakat kelas bawah yang berhak dan membutuhkan yang dapat menikmati insentif ini, bukan jatuh ke tangan yang sudah berkecukupan.
Mengingat semua perspektif ini, pemerintah harus mempertimbangkan kembali kepada siapa sebenarnya insentif-insentif ekonomi ini seharusnya diberikan. Kebijakan yang dirancang seharusnya merangkul seluruh elemen masyarakat, dan memberikan dampak yang merata dan berkeadilan sosial, sehingga mampu mewujudkan visi pertumbuhan ekonomi yang inklusif.
Oleh Achmad Nur Hidayat, MPP. (Ekonom dan Pakar Kebijakan Publik UPN Veteran Jakarta dan CEO Narasi Institute)