Isu power wheeling alias skema bisnis pemanfaatan bersama jaringan listrik kembali mencuat setelah Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mengusulkan kembali masuknya skema ini ke dalam Rancangan Undang-Undang Energi Baru dan Energi Terbarukan (RUU EBET).
Skema ini memungkinkan perusahaan swasta untuk membangun pembangkit listrik berbasis energi terbarukan (EBT) dan menjual listriknya langsung kepada konsumen, dengan memanfaatkan jaringan transmisi dan distribusi milik PT Perusahaan Listrik Negara (PLN).
Pemerintah dan DPR perlu berhati-hati dalam merumuskan kebijakan terkait power wheeling. Skema ini berpotensi menimbulkan dampak negatif bagi masyarakat, terutama dalam hal tarif listrik.
Berikut potensi dampak negatif power wheeling bagi masyarakat, antara lain:
Tarif listrik menjadi lebih mahal
Skema power wheeling bertumpu pada pembangkit listrik berbasis EBT yang dibangun swasta, yang tentu akan lebih mahal daripada pembangkit listrik konvensional milik PLN. Hal ini karena biaya pembangunan pembangkit listrik EBT relatif lebih tinggi.
PLN menjadi semakin terbebani
PLN harus membayar biaya penggunaan jaringan transmisi dan distribusi kepada swasta, yang akan menambah beban keuangan perusahaan.
Ketahanan energi nasional menjadi terganggu
Skema power wheeling dapat mengganggu ketahanan energi nasional karena PLN kehilangan kontrol atas pasokan listrik.
Selain dampak negatif bagi masyarakat, isu ini juga harus menjadi perhatian tiga calon presiden (capres) yang akan berkontestasi pada pemilihan presiden (pilpres) 2024. Hal ini karena berkaitan dengan ketahanan energi listrik nasional ke depan.
Pengelolaan energi listrik yang baik dan benar saat ini akan menjadi modal utama pemerintah mensejahterakan masyarakat dan menjamin kelangsungan pembangunan di masa mendatang.
Pemerintah perlu mempertimbangkan secara matang dampak negatif power wheeling bagi masyarakat dan ketahanan energi nasional sebelum memasukkan skema ini ke dalam RUU EBET.
Pemerintah perlu memastikan bahwa skema ini tidak akan merugikan masyarakat dan tetap menjaga ketahanan energi nasional.
Padahal pada Januari lalu, Menteri ESDM Arifin Tasrif sudah menyatakan tidak ada power wheeling. Hal ini harus menjadi perhatian serius Presiden Jokowi saat ini.
Presiden tidak boleh meninggalkan legacy yang bisa membuat PLN ambruk di masa kepemimpinannya.
Beberapa kebijakan dapat dilakukan oleh pemerintah dan DPR untuk meminimalisir dampak negatif power wheeling.
Pertama, pemerintah perlu mengatur tarif listrik yang dikenakan kepada konsumen yang menggunakan listrik dari pembangkit listrik EBT milik swasta. Tarif listrik ini harus tetap terjangkau bagi masyarakat.
Kedua, pemerintah perlu memberikan subsidi kepada PLN untuk menutup biaya penggunaan jaringan transmisi dan distribusi kepada swasta.
Ketiga, pemerintah perlu melakukan pengawasan yang ketat terhadap pembangunan dan pengoperasian pembangkit listrik EBT milik swasta. Hal ini untuk memastikan bahwa pembangkit listrik tersebut beroperasi secara aman dan efisien.
Dengan merumuskan kebijakan yang tepat, pemerintah dan DPR dapat memastikan bahwa skema power wheeling dapat memberikan manfaat bagi masyarakat dan tidak menimbulkan dampak negatif.
Oleh Achmad Nur Hidayat MPP, Ekonom & Pakar Kebijakan Publik UPN Veteran Jakarta