Dalam dunia bisnis, laba adalah barometer utama kesehatan keuangan sebuah perusahaan. PT Pertamina (Persero), sebagai salah satu BUMN terbesar di Indonesia, baru-baru ini mengumumkan laba bersihnya yang mencapai Rp 56,6 triliun pada tahun 2022. Angka ini bukan hanya menunjukkan peningkatan yang signifikan dari tahun sebelumnya, yang mencatatkan laba sebesar Rp 29,3 triliun, tetapi juga mencerminkan keberhasilan strategis dan operasional Pertamina di tengah tantangan ekonomi global.
Pertamina, dalam beberapa tahun terakhir, telah menghadapi berbagai tantangan, mulai dari fluktuasi harga minyak dunia, perubahan dinamika pasar energi, hingga tekanan untuk bertransformasi menuju energi yang lebih bersih dan berkelanjutan. Namun, dengan pencapaian laba yang besar ini adalah hal yang wajar. Sebab subsidi sudah banyak berkurang sehingga tidak ada lagi penambahan hutang subsidi pemerintah kepada Pertamina.
Berdasarkan klaim Direktur Utama PT Pertamina, Nicke Widyawati bahwa Salah satu faktor kunci di balik pencapaian ini adalah kemampuan Pertamina untuk melakukan efisiensi operasional. Perusahaan telah berhasil melakukan perampingan biaya, dengan cost tahun 2022 yang lebih ramping, mencapai 89% dari total biaya. Menurutnya Pertamina juga berhasil memanfaatkan peluang yang ada di pasar global, seperti fluktuasi harga minyak dan perubahan kurs, untuk meningkatkan pendapatannya. Ini menunjukkan visi strategis dan kemampuan manajemen risiko yang baik dari tim pimpinan Pertamina.
Bagaimana Pertamina akan menggunakan laba ini untuk investasi di masa depan, terutama dalam menghadapi transisi energi dan tuntutan keberlanjutan, akan menjadi sorotan utama di masa mendatang.
Namun, setelah adanya berita baik ini beberapa bulan yang lalu, muncul pertanyaan besar: mengapa Pertamina, dengan laba sebesar itu, masih memerlukan suntikan dana sebesar Rp 3,3 triliun dari APBN?
Subsidi dan Kemandirian Keuangan
Dalam beberapa tahun terakhir, subsidi untuk Pertamina telah mengalami penurunan. Ini seharusnya menjadi kabar baik bagi Pertamina dan pemerintah, menunjukkan bahwa erusahaan ini semakin mandiri dan mampu beroperasi dengan efisien tanpa bergantung pada bantuan finansial dari pemerintah. Dengan laba yang mencapai Rp 56,6 triliun pada tahun 2022, Pertamina seharusnya berada dalam posisi yang kuat untuk membiayai operasional dan investasinya sendiri.
Namun, muncul pertanyaan besar erusa Pertamina, dengan laba sebesar itu, masih memerlukan suntikan dana sebesar Rp 3,3 triliun dari APBN. Jika dilihat dari perspektif nominal, angka Rp 3,3 triliun mungkin terlihat kecil dibandingkan dengan laba yang telah diperoleh. Namun, dari sisi kebijakan erusa dan tata erusa keuangan negara, setiap Rupiah dari APBN memiliki arti penting dan harus dikelola dengan efisien dan efektif.
Sebagai BUMN, Pertamina memiliki tanggung jawab ganda: menghasilkan laba untuk meningkatkan nilai erusahaan dan sekaligus memberikan kontribusi positif bagi erusahaan dan negara. Oleh karena itu, kemandirian keuangan bukan hanya soal menghasilkan laba, tetapi juga bagaimana mengelola laba tersebut dengan bijak dan bertanggung jawab.
Dalam konteks ini, suntikan dana tambahan sebesar Rp 3,3 triliun menjadi pertanda bahwa ada aspek-aspek tertentu dalam operasional atau strategi Pertamina yang memerlukan perhatian lebih. Apakah ada investasi besar yang direncanakan? Atau ada tantangan operasional yang memerlukan intervensi finansial? Atau mungkin ada komitmen lain yang perlu dipenuhi?
Sebagai BUMN terbesar di Indonesia, Pertamina harus dapat menjelaskan dengan transparan kepada erusa mengenai keputusan-keputusan finansialnya. Kemandirian keuangan bukan hanya soal menghasilkan laba, tetapi juga bagaimana memastikan bahwa setiap keputusan finansial yang diambil selaras dengan misi dan visi erusahaan sebagai entitas milik negara.
Pengalihan Aset: Apa dan Mengapa?
Pengalihan aset sebagai bentuk tambahan modal ke Pertamina menimbulkan pertanyaan kritis mengenai kebijakan pengelolaan aset negara. Mengapa pemerintah memilih untuk memberikan tambahan modal dalam bentuk aset, bukan uang tunai? Apa yang mendasari keputusan ini?
Aset-aset yang dialihkan ke Pertamina berasal dari APBN dari berbagai tahun anggaran, yang tentunya merupakan dana publik. Ini menunjukkan bahwa aset-aset tersebut telah dibiayai oleh masyarakat melalui pajak selama beberapa tahun. Oleh karena itu, penggunaan dana publik dalam bentuk pengalihan aset harus dapat dipertanggungjawabkan.
Pengalihan aset ini dapat dilihat sebagai upaya pemerintah untuk mengoptimalkan aset negara yang sudah ada. Namun, ada tanggung jawab yang melekat pada keputusan ini. Mengingat aset-aset tersebut berasal dari dana publik, Pertamina memiliki kewajiban untuk memastikan bahwa aset-aset tersebut dikelola dengan sebaik-baiknya. Masyarakat berhak mengetahui bagaimana aset-aset tersebut dikelola dan bagaimana dampaknya terhadap kinerja keuangan Pertamina.
Dalam konteks ini, keputusan pengalihan aset menimbulkan pertanyaan lebih lanjut mengenai transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan aset negara. Bagaimana Pertamina memastikan bahwa aset-aset ini memberikan nilai tambah yang optimal? Dan bagaimana pemerintah memastikan bahwa keputusan ini adalah yang terbaik bagi kepentingan masyarakat?
Kesimpulannya bahwa Pertamina mencatatkan laba bersih sebesar Rp 56,6 triliun pada tahun 2022, sebuah pencapaian finansial yang signifikan. Namun, di tengah laba besar ini, muncul keputusan pemerintah untuk memberikan tambahan modal kepada Pertamina dalam bentuk pengalihan aset senilai Rp 3,3 triliun.
Aset-aset tersebut, yang berasal dari APBN dari berbagai tahun anggaran, menimbulkan pertanyaan kritis mengenai kebijakan pengelolaan aset negara. Mengapa, dengan laba sebesar itu, Pertamina masih memerlukan tambahan modal dalam bentuk aset? Bagaimana pertimbangan pemerintah dalam mengalihkan aset-aset yang sejatinya merupakan dana publik? Keputusan ini menuntut penjelasan lebih lanjut mengenai transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan aset negara.
Dalam dunia bisnis, laba adalah indikator utama kesehatan keuangan sebuah perusahaan. PT Pertamina (Persero), sebagai salah satu BUMN terbesar di Indonesia, baru-baru ini mengumumkan laba bersihnya yang mencapai Rp 56,6 triliun pada tahun 2022. Angka ini menunjukkan peningkatan yang signifikan dari tahun sebelumnya, yang mencatatkan laba sebesar Rp 29,3 triliun. Namun, di tengah berita baik ini, muncul pertanyaan besar: mengapa Pertamina, dengan laba sebesar itu, masih memerlukan suntikan dana sebesar Rp 3,3 triliun dari APBN?
Pertama, kita harus memahami bahwa subsidi untuk Pertamina kini tidak sebesar sebelumnya. Dengan kenaikan laba yang signifikan, seharusnya Pertamina memiliki kemandirian dalam membiayai program-programnya. Jika dilihat dari perspektif nominal, Rp 3,3 triliun mungkin terlihat kecil dibandingkan dengan laba yang telah diperoleh. Namun, dari sisi kebijakan publik, setiap Rupiah dari APBN memiliki arti penting dan harus dikelola dengan efisien dan efektif.
Kedua, tambahan modal yang diberikan kepada Pertamina bukan dalam bentuk uang tunai, melainkan melalui pengalihan aset negara. Meskipun demikian, aset-aset ini berasal dari APBN dari berbagai tahun anggaran, yang tentunya merupakan dana publik. Oleh karena itu, penggunaan dana publik harus dapat dipertanggungjawabkan dan memberikan manfaat yang maksimal bagi masyarakat.
Ketiga, alasan yang diberikan pemerintah terkait penambahan modal ini adalah untuk memperbaiki struktur permodalan Pertamina dan meningkatkan kapasitas usaha perusahaan. Namun, dengan laba yang telah diperoleh, Pertamina seharusnya sudah memiliki kemampuan untuk melakukan hal tersebut tanpa perlu suntikan dana tambahan.
Sebagai ekonom dan pakar kebijakan publik, saya melihat ada kebutuhan untuk transparansi yang lebih besar dalam pengelolaan keuangan BUMN, khususnya Pertamina. Publik berhak mengetahui alasan dan pertimbangan di balik keputusan pemberian tambahan modal ini. Pertamina, sebagai perusahaan milik negara, harus dapat menjelaskan dengan jelas kepada publik mengenai keputusan-keputusan yang diambil, terutama yang berkaitan dengan penggunaan dana publik.
Dalam konteks yang lebih luas, kebijakan publik harus selalu berorientasi pada kepentingan masyarakat. Setiap keputusan yang diambil harus dapat memberikan manfaat yang maksimal bagi masyarakat dan negara. Oleh karena itu, kritik dan pertanyaan yang muncul terkait keputusan pemberian tambahan modal kepada Pertamina harus dijadikan sebagai bahan evaluasi bagi pemerintah dan Pertamina dalam mengelola keuangan dan aset negara.
Semoga ke depannya, kebijakan publik yang diambil dapat lebih mencerminkan kepentingan dan aspirasi masyarakat. Sehingga, kepercayaan publik terhadap pemerintah dan BUMN dapat terus terjaga dan ditingkatkan.
Oleh: Achmad Nur Hidayat, MPP. (Ekonom dan Pakar Kebijakan Publik UPN Veteran Jakarta dan CEO Narasi Institute)