Pernyataan terbaru dari Presiden Joko Widodo (Jokowi) dalam kegiatan BNI Investor Daily Summit (IDS) 2023, di Hutan Kota by Plataran, Senayan, Jakarta, mengenai proyek-proyek transportasi publik MRT dan LRT telah menimbulkan kontroversi dan pertanyaan yang semakin mendalam.

Pernyataan Kontroversial Presiden Jokowi

Jokowi menegaskan bahwa pembangunan MRT dan LRT adalah keputusan politik yang harus dilanjutkan meskipun berpotensi merugikan secara ekonomi, yang jadi pertanyaan apakah kebijakan ini adalah langkah yang bijak dan apakah lebih banyak mementingkan ambisi pribadi daripada kepentingan publik. Dan ujung- ujungnya rakyatlah yang harus menanggung beban kerugian yang mungkin disebabkan oleh ambisi pribadi?

Ambisi Pribadi atau Kepentingan Publik?

Mengapa, sebagai pemimpin kepala negara, Presiden Jokowi tidak mempertimbangkan kemungkinan pembatalan proyek-proyek ini sejak awal jika terbukti merugikan negara? Mengapa langkah yang lebih bijak dan berkelanjutan tidak dicari?

Presiden Jokowi bahkan mengungkapkan kekecewaannya sendiri dengan mengakui adanya masalah dan kesalahan dalam proyek-proyek ini.

Ini seharusnya menjadi tanda bahwa pembelajaran harus diambil dari pengalaman ini. Sejauh ini, proyek MRT yang sudah direncanakan sejak 26 tahun lalu dan proyek LRT yang dibangun dengan upaya untuk menutup kerugian dari pemasukan electronic road pricing (ERP) telah memerlukan suntikan dana besar dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) serta Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).

Hal ini diperlukan, menurut Presiden, karena proyek-proyek tersebut merupakan kewajiban pelayanan publik, bukan proyek yang berorientasi pada untung dan rugi.

Dampak Finansial dan Utang Tinggi

Sejatinya, mendukung transportasi publik yang melayani kebutuhan publik adalah kewajiban negara, bahkan jika proyek tersebut mengalami kerugian. Namun, persoalan muncul ketika kerugian yang timbul hanya disebabkan oleh ambisi pribadi, tanpa mempertimbangkan dampak ekonomi yang mendalam. Ini bukan hanya kesalahan perhitungan, melainkan kebijakan yang berpotensi merugikan negara dalam jangka panjang.

Namun, yang menjadi pertanyaan adalah, mengapa pemerintah justru memilih untuk memperbanyak mega proyek yang merugi dengan risiko finansial yang besar, ketimbang mengevaluasi dan memperbaiki manajemen proyek yang ada.

Lebih ironis lagi, proyek-proyek ini sering kali memerlukan pembiayaan melalui utang dengan bunga tinggi. Ini berarti bahwa rakyat yang harus membayar beban utang yang semakin membesar, mengancam stabilitas keuangan negara.

Contohnya yang sudah terjadi proyek KCJB ( Kereta Cepat Jakarta Bandung) yang meninggalkan jejak cost overrun sebesar US$.1,2 Miliar. dan APBN sebagai jaminanya. Dan tidak lupa mega proyek yang sedang di jalankan yaitu IKN (Ibu Kota Negara). Keberlanjutan proyek-proyek mega dan meningkatnya utang menjadi titik perhatian, terutama jika hasil yang dihasilkan tidak sesuai dengan harapan.

Hal ini menggambarkan situasi di mana terlibat dalam pembangunan infrastruktur besar telah menjadi semacam “candu” bagi pihak yang terlibat. Peningkatan jumlah proyek tidak selalu berkorelasi dengan peningkatan kesejahteraan masyarakat.

Pertanyaan mendasar yang muncul adalah apakah setiap proyek dijalankan dengan transparan, efisien, dan mempertimbangkan kepentingan jangka panjang rakyat. Apakah proyek-proyek ini benar-benar memenuhi kebutuhan mendesak dan memberikan dampak positif yang substansial?

Dalam konteks ini, seiring dengan semakin banyaknya proyek-proyek mega, sangat penting bagi masyarakat untuk terus mengawasi dan mengkritisi kebijakan pemerintah.

Selain itu, dampak buruk dari proyek-proyek mega ini tidak hanya terbatas pada kerugian finansial, tetapi juga mencakup beban utang negara yang semakin membesar dengan bunga tinggi, mengancam stabilitas keuangan negara.

Panggilan untuk Perubahan

Sebagai pemimpin negara, Presiden Jokowi memiliki tanggung jawab besar untuk membuat keputusan yang bijak dan memprioritaskan kepentingan rakyat.

Apakah pembangunan proyek-proyek yang merugikan negara seharusnya dilanjutkan atau dibatalkan sejak awal, ini adalah sebuah panggilan agar pemimpin negara memastikan bahwa setiap kebijakan yang diambil benar-benar melayani kepentingan rakyat dengan bijak.

Sebagai negara dengan potensi besar, kebijakan yang berorientasi pada kepentingan rakyat harus menjadi prioritas utama, dan ambisi pribadi harus ditempatkan pada posisi yang sesuai. Masyarakat membutuhkan pemimpin yang mampu membuat keputusan yang tepat dan memastikan bahwa pelajaran diambil dari kesalahan masa lalu, bukan dilupakan dengan melanjutkan kebijakan yang merugikan.

Kesimpulan

Pernyataan Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengenai proyek-proyek MRT dan LRT telah menimbulkan kontroversi dan pertanyaan tajam. Pertanyaan mendasar muncul, Apakah kebijakan ini lebih didorong oleh ambisi pribadi daripada kepentingan publik, dan mengapa rakyat harus menanggung beban kerugian yang mungkin disebabkan oleh ambisi pribadi? Sebagai pemimpin negara, Presiden Jokowi memiliki tanggung jawab besar untuk membuat keputusan yang bijak dan memprioritaskan kepentingan rakyat.

Ini panggilan keras untuk mengevaluasi kembali prioritas kebijakan. Pembangunan proyek-proyek mega yang berisiko merugikan negara harus diperiksa ulang, dan pembelajaran harus diambil dari kesalahan masa lalu demi kepentingan rakyat yang lebih baik. Keputusan yang diambil oleh pemerintah harus benar-benar melayani kepentingan masyarakat, dan ambisi pribadi harus ditempatkan pada posisi yang sesuai. Dalam konteks ini, penting untuk memastikan bahwa kebijakan negara benar-benar berlandaskan pada pertimbangan ekonomi yang matang, bukan hanya ambisi pribadi yang dapat merugikan negara dalam jangka panjang.

Oleh: Achmad Nur Hidayat, Ekonom dan Pakar Kebijakan Publik UPN Veteran Jakarta