Kades Dinilai Tidak Paham Demokrasi

Senin, 06/02/2023

Oleh: Achmad Nur Hidayat, Ekonom dan Pakar Kebijakan Publik Narasi Institute

Beberapa hari yang lalu seorang netizen dari Bengkulu yang bernama Apip mencoba mensurvei masyarakat tentang perpanjangan masa jabatan kepala desa dari enam menjadi sembilan tahun. Kesimpulannya mereka tidak ada yang menginginkan itu dan rata-rata tidak setuju dengan perpanjangan masa jabatan tersebut.

Atas unggahannya tersebut dia dipaksa minta maaf oleh para kepala desa di Bengkulu dalam pertemuan dengan DPD Perkumpulan Aparatur Pemerintah Desa Seluruh Indonesia (Papdesi) Bengkulu Selatan.

Dia seorang diri menghadapi puluhan kepala desa dan dipaksa minta maaf. Sementara Apip sendiri sudah meminta maaf jika tersinggung, tapi dia tidak merasa bersalah dengan pendapatnya di video yang tersebar. Dan dia dipojokan serta dipaksa untuk minta maaf karena tindakannya dianggap salah oleh para kepala desa tersebut.

Ini hal yang sangat mengkhawatirkan. Para kades tersebut tidak memahami demokrasi. Tentu saja yang seharusnya beraspirasi mengingingkan kades diperpanjang masa jabatannya menjadi 9 tahun harusnya warga desa yang dipimpinnnya, bukan kades itu sendiri. Ini logika yang terbalik.

Jika menyimak bahwa kades yang berkumpul untuk meminta klarifikasi Apip ini puluhan orang, artinya ada kekuatan besar dibelakangnya yang mampu menggerakan para kepala desa untuk berkumpul dan memojokkan Apip yang seorang diri. Adapun oknum yang mengaku kepala desa yang menyuruh Apip mengaku salah dan meminta maaf patut dicurigai apakah benar kepala desa ataukah ada yang memprovokasi untuk melakukan tekanan tersebut.

Maka sudah jelas bahwa tuntutan perpanjangan kepala desa menjadi 9 tahun ini bukan untuk kepentingan rakyat, melainkan kepentingan sekelompok orang yang haus akan kekuasaan.

Menurut cnnindonesia.com, sejumlah kepala desa (kades) dari Pulau Madura, Jawa Timur, mengklaim bakal menghabisi suara partai politik (parpol) yang menolak perpanjangan masa jabatan kades menjadi 9 tahun pada Pemilu 2024.

Kemudian ancaman sejumlah kepala desa dari pulau Madura, Jawa Timur yang mengancam akan menghabisi suara partai politik yang menolak perpanjangan masa jabatan kades menjadi 9 tahun pada Pemilu 2024. Ini cara-cara preman ingin memaksakan kehendak, bukan cara-cara seorang negarawan.

Upaya memperpanjang partai yang berkuasa untuk bisa berkuasa lebih lama. Simpul-simpul pemilihan umum di desa akan dikuasai dalam kurun waktu yang lebih lama jika masa satu periode masa jabatan kepala desa menjadi 9 tahun. Artinya kepala desa akan menjadi alat untuk mempertahankan kekuasaan bagi partai yang sedang berkuasa.

Perpanjangan masa jabatan kades menjadi 9 tahun sangat berbahaya karena rentan dengan penyelewengan-penyelewengan secara sistematis dan korupsi yang justru akan menggerogoti desa dari dalam. Kepala desa akan cenderung diktator dan otoriter.

Mengutip kompas.com yang memberitakan bahwa menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertingal, dan Transmigrasi (Mendes PDTT) Abdul Halim Iskandar mengungkap awal mula wacana perpanjangan masa jabatan kepala desa (kades) menjadi 9 tahun bermula dari diskusi panjang sejak akhir 2021 mengenai dinamika politik di desa-desa. Dia menyampaikan bahwa salah satu tim sukses calon kades yang menang menyampaikan kesulitannya dalam melakukan konsolidasi pembangunan akibat dari friksinya (gesekan) masih terlalu tinggi ketegangannya, Rabu (25/1/2023).

Pernyataan tersebut sangat tidak terukur karena tidak ada data resmi sebagai hasil riset bahwa  persoalan friksi di masyarakat desa ini sebagai persoalan yang dominan. Ini hanya mengeneralisir persoalan saja.

Alasan tersebut sangat tidak layak untuk dijadikan alasan urgensinya perpanjangan masa jabatan kades sebab banyak masyarakat yang tidak merasakan itu. Seandainya adapun tentu solusinya adalah dengan edukasi tentang demokrasi yang sehat yang seharusnya dijalankan oleh pemerintah baik melalui KPU dan pihak-pihak lain yang terkait.

Para kades tersebut tidak memahami prinsip demokrasi. Jika demikian wajar jika negara ini susah maju karena para pemimpin di desa tidak mempunyai wawasan demokrasi yang layak untuk menjadi kepala desa.

Ini adalah operasi manuver politik yang harus ditolak oleh publik dan diselidiki motif dibelakangnya. Sebab hal tersebut sangat melanggar kebebasan berpendapat dan melanggar prinsip demokrasi. Hal-hal semacam ini akan menyebabkan konflik dimasyarakat.

Kades tidak berhak meminta perpanjangan masa jabatan karena kades adalah penerima mandat rakyat. Yang berhak meminta adalah rakyat itu sendiri. Jika perpanjangan masa jabatan kades ini keinginan mayoritas masyarakat (bukan kadesnya sendiri) maka logis untuk dipertimbangkan dan dipenuhi.

Sumber: neraca.co.id