Sejumlah kebijakan dikeluarkan pemerintah untuk merespons buruknya kualitas udara di Jakarta dan sekitarnya beberapa waktu belakangan ini. Misalnya, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta memberlakukan kebijakan bekerja dari rumah atau work from home (WFH) 50 persen bagi ASN mulai 21 Agustus 2023.

Pj Gubernur DKI Jakarta Heru Budi Hartono berharap kebijakan itu diikuti sektor swasta. Ia meminta perusahaan swasta ikut serta mengurangi kemacetan dan polusi.

Selain itu, usai rapat lintas sektor dan daerah di Kementerian Koordinator Bidang Maritim dan Investasi, Heru meminta agar tunjangan transportasi ASN DKI Jakarta Eselon IV ke atas dialihkan untuk membeli motor listrik demi mengatasi polusi udara.

Kebijakan lain yang saat ini mulai diterapkan di DKI Jakarta yakni menggalakkan uji emisi kendaraan bermotor. Bahkan ada larangan bagi kendaraan bermotor yang belum uji emisi untuk masuk sejumlah perkantoran, di antaranya Gedung Dinas Lingkungan Hidup (DLH) dan gedung DPRD DKI Jakarta.

Selain itu, mulai 26 Agustus nanti, Pemprov DKI dan kepolisian bakal melaksanakan tilang bagi pemilik kendaraan yang tak lulus uji emisi. Kendaraan roda dua tak lolos uji emisi akan dikenakan sanksi tilang sebesar Rp250 ribu. Sementara untuk kendaraan roda empat sebesar Rp500 ribu.

“Kami akan ikut serta andil di mana polusi di Jabodetabek ini bisa menurun. Salah satunya adalah dengan transportasi yang sesuai dengan ketentuan, khususnya yaitu mengenai emisi gas buang,” kata Dirlantas Polda Metro Jaya Kombes Latif Usman, Rabu (23/8).

Pada saat yang sama, Menko Marves Luhut Binsar Panjaitan mengusulkan kewajiban menggunakan masker khusus di DKI Jakarta dan sekitarnya untuk mengantisipasi dampak polusi udara.

Berbagai kebijakan dan aturan hukum untuk mengatasi polusi udara di Jakarta dan sekitarnya ini dianggap tidak berpengaruh signifikan. Aktivis Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Jakarta Muhammad Aminullah berpendapat kebijakan-kebijakan pengendalian polusi udara yang diambil pemerintah lebih ‘membebankan’ kepada masyarakat secara individu.

“Untuk menekan mungkin bisa, tapi tidak akan signifikan,” kata Aminullah saat dihubungi CNNIndonesia.com, Rabu malam.

Menurutnya, masyarakat individu adalah komponen yang paling terdampak dengan kebijakan WFH hingga kewajiban uji emisi karena ancaman ditilang. Padahal, kata dia, ada sektor lain yang juga memiliki pengaruh terhadap buruknya kualitas udara.

Berdasarkan data DLH DKI Jakarta pada 2020, sumber emisi terbesar berasal dari sektor transportasi dengan kontribusi sebesar 67,04 persen. Disusul industri dengan 26,8 persen, pembangkit listrik sebesar 5,7 persen, perumahan 0,42 persen, dan sektor komersial dengan 0,02 persen.

“Pemerintah terlalu fokus kepada masyarakat, padahal sumber-sumber polusi yang besar, yang dilakukan pihak industri. Selama ini masih beraninya ke masyarakat, membebankan upaya pengendalian polusi udara ini kepada masyarakat,” kata dia.

Aminullah mempertanyakan ketersediaan tempat-tempat uji emisi bagi kendaraan seiring dengan penerapan sanksi tilang. Ia mewanti-wanti jangan sampai penerapan sanksi dilakukan dengan kondisi masyarakat yang sulit menjangkau tempat-tempat uji emisi.

“Apakah bengkel-bengkel uji emisi ini sudah memadai? Dari sekian juta kendaraan bermotor yang ada di Jakarta apakah bengkel uji emisi sudah memenuhi? Tidak etis jika pemerintah belum siap dengan infrastruktur uji emisi, terus ditilang,” ujar dia.

Ia pun mendorong sejumlah solusi lain yang bisa diambil pemerintah untuk mengatasi polusi. Di antaranya, audit industri yang ada di Jakarta. Aminullah menyebut ada sekitar 900-an cerobong asap di Jakarta yang perlu untuk diaudit.

Aminullah juga meminta pemerintah untuk memaksimalkan moda transportasi publik dan fasilitas penunjangnya. Saat fasilitas dan transportasi publik sudah siap menunjang kebutuhan masyarakat, pemerintah harus memperketat penggunaan kendaraan pribadi.

“Di samping itu, dipikirkan juga kesehatan masyarakat. Bentuk tim untuk mengakomodir korban-korban akibat polusi udara dan lindungi yang berpotensi tinggi terpapar polusi udara,” katanya.

Aminullah berpendapat pemerintah juga harus memikirkan skema penanganan polusi udara di tiap tingkat baku mutu. Ia mencontohkan soal peringatan banjir.

“Belajar dari banjir sungai, ada pemantau untuk memantau tinggi air di pintu air. Siaga 3 ada prosedur yang harus dilakukan oleh pemerintah dan masyarakat, siaga 2 dan 1 juga ada,” tuturnya.

Menurutnya, sistem seperti itu bisa digunakan pemerintah untuk meminimalisir dampak polusi udara. Ia mengatakan pemerintah perlu menyiapkan system early warning dalam konteks bencana polusi.

Solusi Berdasarkan Sumber Emisi Utama

Terpisah, pakar kebijakan publik UPN Veteran Jakarta Achmad Nur Hidayat mengatakan berdasarkan skor pada situs IQAir, kebijakan WFH beberapa hari belakangan tidak berpengaruh terhadap kualitas udara di Jakarta.

Kewajiban uji emisi yang dibayangi ancaman tilang juga menurutnya tidak akan berdampak banyak untuk menekan polusi.

“Tilang uji emisi ini bagaimana? Itu caranya kan pasti setop kendaraan kan. Buat kemacetan lagi, untuk sesuatu yang dampaknya tidak banyak,” katanya.

Ia menyarankan sejumlah solusi lain dengan merujuk data DLH DKI soal sumber emisi di Jakarta. Untuk sektor transportasi, solusi yang bisa diambil adalah mendorong masyarakat untuk beralih dari kendaraan pribadi ke transportasi publik dengan meningkatkan kualitas dan jangkauan moda transportasi seperti MRT, LRT, dan bus TransJakarta.

“Selain itu, mengimplementasikan zona bebas emisi di area-area tertentu di Jakarta dan memperbarui armada bus, angkutan umum lainnya dengan teknologi yang lebih ramah lingkungan bisa menjadi langkah selanjutnya,” katanya.

Ia berpendapat sektor industri yang punya kontribusi cukup besar terhadap emisi memerlukan pendekatan khusus. Pemerintah perlu mendorong industri menggunakan teknologi yang lebih ramah lingkungan. Selain itu, penegakan hukum harus diterapkan.

“Mendorong industri untuk menggunakan teknologi yang lebih ramah lingkungan dan efisien dalam mengurangi emisi serta penegakan hukum yang ketat terhadap industri yang melanggar batas emisi adalah beberapa langkah yang bisa diambil,” katanya.

Sementara untuk pembangkit listrik, harus ada pengalihan fokus dari pembangkit listrik berbasis fosil ke sumber energi terbarukan seperti matahari, angin, dan hidro. Ia juga mendorong penggunaan peralatan yang hemat energi di sektor komersial maupun perumahan.

“Untuk sektor perumahan, mengedukasi masyarakat untuk beralih ke sumber energi yang lebih bersih dan mendorong masyarakat untuk menanam lebih banyak pohon di area perumahan mereka adalah beberapa langkah awal yang bisa diambil,” katanya.

Lalu untuk sektor komersial, ia meminta pemerintah mengedukasi dan mendorong pengembang untuk membangun dengan standar hijau yang meminimalkan dampak terhadap lingkungan.

“Tentu saja, selain solusi spesifik untuk setiap sektor, kolaborasi antar sektor dan partisipasi aktif masyarakat sangat penting. Semua pihak harus bekerja sama untuk memastikan Jakarta memiliki udara yang sehat untuk generasi saat ini dan yang akan datang,” katanya.

Sumber: cnnindonesia.com