TEMPO.CO, Jakarta – Ekonom dan Pakar Kebijakan Publik UPN Veteran Jakarta, Achmad Nur Hidayat, tak sepakat pemerintah kembali bekerja sama dengan Cina untuk proyek kereta cepat Jakarta-Surabaya. Hal ini dia sampaikan untuk menanggapi rencana Menko Bidang Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan, menggandeng Cina menggarap proyek kereta cepat lagi.

“Negara yang punya kereta cepat bukan cuma Cina. Ada Korea Selatan, Jepang, Jerman, Prancis, Italia,” kata Achmad kepada Tempo, Selasa, 27 Juni 2023.

Negara-negara tersebut, menurut Achmad, bisa menjadi pembanding yang lebih menguntungkan. Bukan cuma dari pembiayaan dan pelaksanaan proyek, tapi dalam menjaga keberlanjutan keuangan negara. Sebab dalam kerja sama dengan Cina untuk proyek kereta cepat Jakarta-Bandung, kata Achmad, pemerintah justru merugi.

“Indonesia masuk jebakan pola kerja sama dengan Cina. Terkesan menguntungkan, tapi sebaliknya,” ujar Achmad.

Pria yang juga CEO Narasi Institute ini lantas membeberkan alasannya. Pertama, dari sisi pengerjaan, proyek kereta cepat Jakarta-Bandung menunjukkan kegagalan. “Harusnya bisa selesai 4 tahun tapi mangkrak hingga 9 tahun,” kata dia.

Walhasil, karena mangkrak, biaya yang dikeluarkan semakin besar. Achmad mengatakan, pembengkakan biaya itu mencapai US$ 1,2 miliar atau sekitar Rp 18,02 triliun. “Tidak tanggung-tanggung total biaya proyek yang berlangsung sejak 2016 itu kini mencapai 7,27 miliar dollar AS atau setara Rp 108,14 triliun.”

Selain itu, lanjut Achmad, Indonesia terlalu lemah dalam menghadapi negosiasi dengan Cina. Akibatnya, pemerintah terjebak dalam beban keuangan yang mesti dijamin APBN.

Ihwal potensi kerja sama dengan Cina, Luhut meyakini biaya proyek kereta cepat akan menjadi lebih murah bila berkolaborasi dengan negara tersebut. Namun, dia masih membuka opsi kerja sama dengan negara lain.

Saat menjajal Kereta Cepat Jakarta-Bandung pada Kamis, 22 Juni lalu, Luhut pun mengatakan bakal melaporkan preliminary study kelanjutan proyek kereta cepat Bandung sampai ke Surabaya kepada Presiden Joko Widodo atau Jokowi.

Sumber: bisnis.tempo.co