Warta Ekonomi, Depok – Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2023 tentang pengelolaan hasil sedimentasi laut menjadi polemik. Dalam aturan tersebut, Jokowi mengizinkan hasil sedimentasi berupa pasir laut bisa diekspor keluar negeri apabila kebutuhan dalam negeri tercukupi.

Ekonom INDEF yang juga pernah menjadi Staf Khusus Menteri Kelautan dan Perikanan, Fadhil Hasan mengatakan, isu ekspor pasir laut sebenarnya sudah muncul sejak tahun 2002. Namun, kebijakan tersebut kemudian dilarang karena masih ada perselisihan batas laut antara Indonesia dan Singapura.

“Sebagaimana kita ketahui, eksplorasi pasir laut itu dilarang pada tahun 2002, melalui Keppres Nomor 33 Tahun 2022. Salah satu pertimbangan utamanya itu saat itu adalah bahwa batas laut atau batas negara antara Singapura dan Indonesia itu belum terselesaikan. Kalau enggak salah di ada koordinat tertentu di bagian timur itu sehingga kalau misalnya dilakukan ekspor pasir laut itu akan menambah dan memperluas wilayah daripada Singapura itu,” kata Fadhil, dikutip dari kanal Youtube Achmad Nur Hidayat pada Senin (12/6/2023).

Ia menjelaskan bahwa saat Keppres ekspor pasir dirancang, kebijakan tersebut juga dikritisi oleh Kementerian Luar Negeri, Kementerian Perdagangan, dan juga Kementerian Pertahanan.

“Tapi ada banyak pertimbangan lain mengapa kemudian ekspor pasir laut itu dilarang. Jadi waktu itu sebenarnya dibentuk tim TP4 (Tim Pengendalian Pengelolaan Ekspor Pasir Laut), kita membuat draf Keppres yang akan mengatur. Tapi dalam perjalanannya, ada berbagai masukan dari Kementerian Luar Negeri Kemudian Kementerian Perdagangan perdagangan dan Kementerian Pertahanan yang menyatakan bahwa ini tidak usah dikelola, lebih baik dilarang saja. Akhirnya kemudian diputuskan dilarang dan itu sampai sekarang tahun 2023,” bebernya.

Fadhil mengatakan bahwa usaha untuk membawa kembali izin ekspor pasir selalu mengemuka di saat menjelang Pemilu. Ia kemudian menduga bahwa ada kaitan Jokowi yang mengeluarkan izin ekspor pasir dengan Pilpres 2024 mendatang.

“Di dalam periode tersebut sebenarnya sudah ada usaha-usaha untuk membuka ekspor pasir laut. Yang menarik itu, adanya aspirasi untuk membuka ekspor hasil laut ini, selalu berkaitan dengan menjelang masa Pemilu. Tahun 2014 juga sudah ada usaha itu, tahun 2019 juga seperti itu,” jelasnya.

Kendati demikian, Fadhil menyebut bahwa ekspor pasir lebih banyak kerugiannya daripada manfaatnya.

“Kita sudah mengetahui sebenarnya bahwa ekspor pasir laut itu membawa mudharat, baik dari sisi lingkungan, dari sisi masyarakat pesisir, dari sisi nelayan, jauh lebih besar dibandingkan dengan manfaat yang diterima, misalnya penerimaan negara,” ujarnya.

Lebih lanjut, apabila kebijakan ekspor pasir berjalan, ia menduga bahwa izin perusahaan yang dikeluarkan akan tidak transparan sehingga hanya bisa dikelola oleh orang tertentu saja.

“Kedua saya kira ekspor pasir laut itu boleh dikatakan sebagai bisnis yang sangat tertutup, misalnya proses bagaimana seseorang atau sebuah perusahaan itu bisa mendapatkan izin mengekspor pasir laut tersebut itu sangat tidak transparan, sehingga kemudian yang terjadi adalah bisnis ini dikuasai oleh orang-orang tertentu saja,” paparnya.

Dengan demikian, ia menyerukan agar masyarakat luas menolak kebijakan ekspor pasir laut ini.

“Jadi saya kira memang ini semuanya pada akhirnya merupakan kebijakan yang sangat berdampak negatif dan perlu kita kritisi terus-menerus. Kalau perlu kita membuat gerakan, saya kira hampir di 90% masyarakat itu menolak itu pembukaan ekspor pasir laut,” tandasnya.

Sumber: wartaekonomi.co.id