MEDAN, Waspada.co.id – Pakar Kebijakan Publik dari Narasi Institute, Achmad Nur Hidayat, mengatakan proses pembentukan dan pengelolaan perspektif publik terhadap kasus AKBP Achiruddin menarik dibahas betapa konten itu mengikat banyak jaringan terkonstruksi secara negatif bagi Achiruddin.

Menurutnya, berawal dari tweet @mazzini_gsp yang menyampaikan sebuah peristiwa di mana seorang pemuda Ken Admiral dihajar oleh pemuda Aditya yang merupakan anak dari AKBP Achiruddin yang juga menyaksikan peristiwa tersebut.

Tanpa melakukan cover both side journalism, @mazzini_gsp berusaha menggugah keadilan publik, seakan ini arogansi polisi terhadap rakyat jelata maupun lawan sehingga rakyat bersatu tak bisa dikalahkan.

“Pada proses awal pembentukan persepsi publik itu terdapat jejak digital netizen yang mengingatkan agar @mazzini_gsp melakukan jurnalisme yang baik namun dijawab bahwa ini adalah citizen journalism,” katanya, Jumat (12/5).

Achmad mengungkapkan, publik disajikan informasi yang banyak celah, sulit dipertanggung jawabkan secara etika dan akademis, namun itulah citizen jurnalism, layak diapresiasi dan perlu dikelola dengan baik oleh negara.

“Bagaimana aktor negara seperti Mahfud MD mengelolanya? Mahfud MD sebagai aktor penting yang hadir pada konten Sambo, Mario Dandi, hadir juga pada konten Achiruddin,” ungkapnya.

Lebih lanjut, dengan posisi strukturalnya sebagai Menkopolhukam, Mahfud MD, membentuk tim agar dapat bekerja sebaik mungkin menghadirkan keadilan publik dengan strategi membuka data yang dianggap privat ke publik, agar tidak ada ruang gelap semuanya terang benderang.

Tidak sedikit yang men-challenge strategi itu membawa pada bahasan apakah ini privat apakah ini publik, juga mempertanyakan apakah Mahfud MD sedang dalam konteks sebagai Menkopolhukam atau sebagai individu yang menguasai hukum.

“Berbeda dengan kasus Sambo dan Mario Dandi, strategi ekspos data oleh Mahfud MD belum optimal diterapkan pada kasus Achiruddin. Apakah karena case Achiruddin ini masih baru?” terang Achmad.

“Atau yang sudah dilakukan hanya pada data Achiruddin, bagaimana dengan data ayah Ken Admiral? Jelas keluarga Ken Admiral adalah keluarga kaya, setidaknya ini menunjukkan bukan cerita polisi vs rakyat jelata sebagaimana yang dipersepsi publik,” ujar akademisi tersebut.

Apalagi, Achmad menuturkan terungkap ada beberapa Kombes Polisi yang merupakan keluarga Ken Admiral cs. “Bagaimana jika ini cerita yang serupa seperti Sambo yang playing victim di awal kejadian? Achiruddin bisa jadi adalah korban sebagaimana Joshua.”

“Peran yang dilakukan Mahfud MD layak diapresiasi, menggairahkan keinginan tercapainya keadilan publik. Namun di sisi lain membawa tantangan serius, yaitu bila ingin melihat sebuah kebenaran maka lihatlah di mana Mahfud MD berada,” tuturnya.

Achmad menyebutkan, hal ini berbahaya karena personifikasi kebenaran bukan jalan menuju tercapainya keadilan publik. Mahfud MD sebagaimana manusia lainnya, tidak selalu benar, pun tidak selalu salah.

Di sisi lain keterhubungan media mainstream dan media sosial dianggap sedang mengalami disrupsi. Jurnalisme cover both side menjadi sesuatu yang sulit hadir pada kasus Achiruddin.

“Apakah karena cover both side jurnalism membutuhkan keahlian khusus yang harus dicapai melalui proses pendidikan yang rigid? Apakah karena cover both siding journalism tidak dapat berpacu pada era digital yang serba serempak sehingga khawatir content menjadi basi?,” sebutnya.

“Realitas journalism itu dianggap menghadirkan budaya jurnalisme instan, media mainstream yang lebih potensi memiliki kapasitas cover both-side journalism tertantang eksistensinya di industri media, tidak sedikit yang menyerah menjadi media penerus apa saja yang sedang dibahas netizen,” beber Achmad.

Ia menambahkan, Mahfud MD perlu berhati-hati dalam mengelola persepsi publik. Memang viralitas penting, menjadi signal bahwa bisa jadi perlu kehadiran negara.

Namun katanya, tanpa frame kebenaran, ter-drive sekadar viralitas, negara bisa tersesat dan menyesatkan warga negaranya sendiri. Keadilan publik selalu bersama kebenaran. Keadilan publik tidak selalu bersama viralitas.

Sumber: waspada.co.id