4 Februari 2023
PEMBELANEWS.COM,MAKASSAR – Pro dan kontra seantero hingga kini masih berselimut di balik perpanjangan masa jabatan kepala desa dari enam tahun menjadi Sembilan tahun.
Meski pasca direstuinya perpanjangan masa jabatan itu oleh Pemerintah dan DPR RI atas reaksi demo kepala desa melalui Apdesi (Aparatur Pemerintah Desa Seluruh Indonesia) beberapa waktu lalu, kini tinggal menunggu revisi terhadap UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa yang akan ditindaklanjuti dan dibahas dalam agenda program legislasi nasional (prolegnas) tahun 2023,
Pro dan kontra pun turut menyilimuti revisi UU No.6 Tahun 2014 Tentang Desa, dengan adanya langkah, bila (kah) sebaiknya dilakukan gugatan uji materil Undang-Undang Nomor 6/2014 tentang Desa (UU Desa) ke Mahkamah Konstitusi (MK) ???
Permohonan yang dimohonkan ke MK yakni, pasal 39 ayat (1) dan ayat (2) yang mengatur tentang masa jabatan dan periodesasi jabatan kepala desa. Jika memungkinkan masa jabatan kepala desa diubah dari 6 tahun menjadi 5 tahun dengan maksimal dua periode.
Pasal 39 ayat (1) dan (2) yang bagus diuji berbunyi:
(1) Kepala Desa memegang jabatan selama 6 (enam) tahun terhitung sejak tanggal pelantikan.
(2) Kepala Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat menjabat paling banyak 3 (tiga) kali masa jabatan secara berturut-turut atau tidak secara berturut-turut.
Ada Yang Tidak Beres.
Jabatan yang terlalu lama dapat melanggengkan oligarki kekuasaan. Sehingga tuntutan untuk menambah masa jabatan seorang kepala desa menjadi hal yang berbahaya, dan bertendesi politis agar dapat memengaruhi keputusan politik di puncak kakuasaan.
Jabatan kepala desa selama 6 tahun sudah strategis, untuk membangun daerah, dengan segala konsekuensinya. Masa jabatan yang 6 tahun saja masih menyisakan residu-residu politik di masyarakat, apalagi risikonya jika sampai ditambah menjadi sembilan tahun.Justru akan menambah arogansi kekuasaan.
.”Ini sudah bisa terbaca,” kata Pengurus Lembaga Hikmah dan Kebijakan Publik (LHKP) Pimpinan Pusat Muhammadiyah Ridho Al-Hamdi dalam keterangannya di laman resmi Muhammadiyah, Jumat (27/1/2023).
Menurutnya, masa jabatan sembilan tahun terlalu lama dan berpotensi menimbulkan penyelewengan yang sistematis.
Lebih lanjut, Ridho mendesak DPR lebih mengutamakan kepentingan masyarakat luas ketimbang politik praktis. Salah satu caranya dengan menolak usulan perpanjangan masa jabatan kepala desa yang bisa mencapai 27 tahun.
Disusul Eliadi Hulu, seorang warga dari Nias, Jumat (27/1/2023). bahkan berkeinginan mengajukan permohonan uji materiil ke Mahkamah Konstitusi,pada
Bahkan gugatan Eliadi sudah masuk dalam permohonan perkara di laman resmi Mahkamah Konstitusi. Eliadi menjelaskan pengujian tersebut dilatarbelakangi oleh inkonstitusionalitas Pasal 39 UU Desa.
Menurut Eliadi, kekuasaan yang terlampau besar akan melahirkan tindakan koruptif dan abuse of power.
“Hal ini senada dengan yang disampaikan oleh Lord Acton yang menyatakan power tends to corrupt, absolute power corrupt absolutely, Kekuasaan cenderung korup, kekuasaan mutlak dipastikan akan korup,” tuturnya.
Dia menilai sejak berlakunya UU Desa, paradigma dan political will pemerintah tidak lagi menempatkan desa sebagai wilayah administrasi formalitas belaka. Desa ditempatkan sebagai tiang penyanggah pembangunan negara.
Perpanjangan masa jabatan kepala desa itu, juga mendapat kritikan dari Achmad Nur Hidayat, ekonom yang juga pakar kebijakan publik.
Achmad mengatakan, salah satu alasan kepala desa meminta perpanjangan masa jabatan adalah untuk memaksimalkan pembangunan desa.
Tapi Achmad mencium ada kejanggalan di sini. Achmad mengaitkan persoalan itu dengan perpanjangan masa jabatan presiden yang berkali-kali disuarakan di masa kepemimpinan Jokowi di Indonesia.
“Masyarakat dibuat keningnya mengerut. Pengamat mencium ada sesuatu yang tidak beres. Karena ketika jabatan kepala desa melebihi jabatan presiden, kepala daerah, bahkan anggota DPR, itu menjadi sebuah paradoks,” ujar Achmad, seperti dikutip dari Suara.com, Kamis 2 Februari 2023.
Kejanggalan lainnya, menurut Achmad, persoalan perpanjangan masa jabatan yang dikaitkan dengan polarisasi yang terjadi di masyarakat.
“Alasan polarisasi justru sebaliknya. Ketika ditanggapi dengan perpanjangan masa jabatan presiden karena kepala desa menjadi lebih dominan dan bisa terjebak dalam otoritarian skala mikro, yang dalam hal ini justru memperuncing polarisasi,” ujar Achmad.
Menurutnnya, sebaiknya pemilih kepala desa atau rakyat yang meminta perpanjangan masa jabatan jika mereka menginginkan hal itu.
Namun faktanya, malah para kades yang berkuasa yang menyuarakan aspirasi perpanjangan masa jabatan, yang dinilai Achmad sudah keluar dari jalur demokrasi.
Ia melanjutkan, jika keinginan kepala desa diterima, mereka bisa mengusulkan perpanjangan masa jabatan kepala daerah lain atau bahkan presiden, yang juga akan disepakati.
Korupsi tingkat desa secara konsisten menempati urutan pertama
Kritik lain terhadap perpanjangan masa jabatan kades juga datang dari Indonesian Corruption Watch (ICW).
ICW menilai usulan ini tidak hanya bernuansa politis dengan barter dukungan pada Pemilu 2024, tetapi sama sekali tidak terkait dengan urgensi kebutuhan perbaikan desa.(pembelanews.com)
Di sisi lain, akomodasi atas usulan tersebut juga akan menyuburkan sistem oligarki di desa dan politisasi desa.
Dalam keterangan resminya, ICW mencatat bahwa desa-desa terus dirundung banyak masalah hingga saat ini, mulai dari pengelolaan keuangan yang masih eksklusif, partisipasi bermakna (meaningful participation) masyarakat hingga korupsi.
Akibatnya, pembangunan dan kesejahteraan masyarakat desa tidak optimal.
Oleh karena itu, para pembuat kebijakan, baik eksekutif maupun legislatif, harus fokus pada musyawarah untuk memperbaiki peraturan dan sistem yang efektif meningkatkan kemajuan pembangunan desa, termasuk mengurangi kemungkinan terjadinya korupsi.
Menurut ICW, sebaiknya usulan perpanjangan masa jabatan kades ini tidak perlu direspons karena hanya akan memperburuk masalah di desa.
Tren penindakan korupsi setiap tahun, ICW mengungkap menunjukkan fenomena mengkhawatirkan terkait dengan desa
Korupsi tingkat desa secara konsisten menempati urutan pertama sebagai sektor yang paling banyak ditindak atas kasus korupsi aparat penegak hukum pada 2015-2021.
Selama tujuh tahun itu, terungkap 592 kasus korupsi di tingkat desa, sehingga total kerugian negara mencapai Rp433,8 miliar. Lantas langkah selanjutnya ??.
Sumber: pembelanews.com