Senin, 05 September 2022

JAKARTA – Mungkin rakyat bisa memaafkan pemerintah menaikkan harga BBM subsidi secara mendadak di siang bolong waktu libur akhir pekan. Tapi, kesabaran rakyat bisa habis kalau kebijakan tersebut dibuat serampangan tanpa mengantisipasi melejitnya harga bahan-bahan pangan.

Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira, menilai, kenaikan harga BBM subsidi dilakukan di waktu yang tidak tepat. Mayoritas masyarakat belum siap menghadapi dampak kenaikan harga Pertalite menjadi Rp10.000 per liter.

“Dampaknya, Indonesia bisa terancam stagflasi, yakni naiknya inflasi yang signifikan tidak dibarengi dengan kesempatan kerja,” kata Bhima kepada Info Indonesia, Minggu (4/9/2022).

Kenaikan harga BBM pasti memukul sektor pengiriman bahan pangan. Penyumbang terbesar komponen harga pangan adalah biaya distribusi atau transportasi. Di saat yang bersamaan, pelaku sektor pertanian mengeluh biaya input produksi yang mahal, terutama pupuk. Inflasi bahan makanan masih tercatat tinggi pada bulan Agustus yakni 8,55 persen (year on year/yoy) dan dipercaya bakal makin tinggi. Diperkirakan, inflasi pangan kembali menyentuh double digit atau di atas 10 persen per tahun bulan ini.

Sementara, inflasi umum diperkirakan menembus di level 7-7,5 persen hingga akhir tahun dan memicu kenaikan suku bunga secara agresif.

Melihat hitung-hitungan di atas, Bhima mengibaratkan konsumen jatuh tertimpa tangga berkali- kali. Belum sembuh pendapatannya akibat pandemi, kini dipaksa menghadapi tingginya biaya hidup sampai suku bunga pinjaman. Masyarakat yang memiliki maupun tidak memiliki kendaraan pribadi akan mengurangi konsumsi barang lainnya.

“Karena BBM ini kebutuhan mendasar, ketika harganya naik maka pengusaha di sektor industri pakaian jadi, makanan dan minuman, sampai logistik akan terdampak,” terang Bhima.

Di sisi lain, pelaku usaha dengan permintaan yang baru dalam fase pemulihan bakal mengambil jalan pintas yakni melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) massal. Realistis saja, biaya produksi hingga biaya operasional naik, sementara permintaan menurun yang membuat pengusaha harus memotong biaya-biaya. Ekspansi sektor usaha bisa macet dan berefek kepada kontraksinya PMI manufaktur di bawah 50.

Bantuan sosial (bansos) yang hanya melindungi orang miskin dalam waktu empat bulan tidak akan cukup mengompensasi efek kenaikan harga BBM.

“Sedangkan kelas menengah sangat rentan. Kenaikan harga Pertalite membuat mereka berpotensi turun kelas menjadi orang miskin,” jelasnya.

Data orang rentan miskin ini, kata Bhima, sangat mungkin tidak termasuk dalam daftar penerima bantuan langsung tunai (BLT) BBM karena adanya penambahan orang miskin pasca-kebijakan harga bensin.

“Pemerintah perlu mempersiapkan efek berantai naiknya jumlah orang miskin baru dalam waktu dekat,” tambahnya.

Alih-alih membatasi pengguna Solar yang selama ini dinikmati industri skala besar, pertambangan dan perkebunan besar, pemerintah justru mengambil langkah menaikkan harga BBM. Cara ini merupakan mekanisme yang paling tidak kreatif.

“Tujuan utama untuk membatasi konsumsi Pertalite subsidi juga tidak akan tercapai, ketika di saat bersamaan harga Pertamax ikut naik menjadi Rp14.500 per liter. Akibatnya pengguna Pertamax akan tetap bergeser ke Pertalite,” ujarnya.

Pakar kebijakan publik dari Narasi Institute, Achmad Nur Hidayat, juga keberatan atas kebijakan menaikkan harga BBM subsidi. Menurut dia, kenaikan harga akan terjadi pada komoditas lain. Menurutnya, langkah pemerintah bisa disebut kejam karena dilakukan di saat kondisi masyarakat sulit dan rendahnya daya beli.

“Masyarakat saat ini tidak siap dengan berbagai kenaikan tersebut. Anggaran bantalan sosial yang digelontorkan sebesar Rp24,17 triliun tidak akan sebanding dengan tingkat risiko yang akan ditanggung atas kebijakan kenaikan BBM,” kata dia.

Padahal, lanjut Achmad, pemerintah bisa menunda kenaikan harga BBM dengan menggunakan defisit anggaran yang masih ada ruang di atas 3 persen sebagaimana UU membolehkan untuk mempertahankan subsidi BBM. Lalu, proyek-proyek infrastruktur yang lemah proyeksi benefitnya terhadap APBN harus dialihkan dulu untuk menangani subsidi BBM, contohnya pembangunan Ibu Kota Negara (IKN) di Kalimantan Timur dan Penyertaan Modan Negara (PMN) pada proyek kereta cepat.

Dana Rp24,17 triliun yang dianggarkan untuk bantuan langsung tunai (BLT) tentu tidak mencukupi. Dana perlindungan sosial dari pemerintah tidak mengantisipasi penambahan orang miskin baru dari kelas menengah akibat kenaikan harga BBM.

“Seharusnya pemerintah mau cari cara lain seperti memperbesar defisit APBN sehingga rakyat tidak perlu menanggung risiko ekonomi berat,” ujar Achmad.

Tekan Inflasi

Sebelum harga BBM naik, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat telah terjadi penurunan harga atau deflasi 0,21 persen secara bulanan pada Agustus, terutama karena menurunnya harga pangan. Pemerintah pun telah menyiapkan strategi agar tren penurunan harga barang, terutama pangan berlanjut meski inflasi berpotensi melonjak jika harga BBM naik.

Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto, mengatakan, inflasi yang mulai turun pada Agustus merupakan hasil kerja keras pemerintah menjaga stabilitas harga. Inflasi secara tahunan turun ke 4,69 persen dari Juli menjadi 4,94 persen.

“Inflasi harga pangan bergejolak mulai mengalami deflasi 2,9 persen secara bulanan dan secara tahunan inflasi 8,93 persen. Angka ini perlu diturunkan lagi,” kata Airlangga.

Airlangga memberi peringatan kepada beberapa provinsi yang inflasinya bulan lalu masih jauh di atas rata-rata nasional. Ia meminta agar para gubernur yang daerahnya masih memiliki inflasi di atas rata-rata nasional untuk segera menekan hingga ke angka di bawah 5 persen.

Beberapa provinsi di pulau Sumatera masih mencatat inflasi tinggi meski mulai menunjukkan penurunan. Inflasi di Jambi mencapai 7,7 persen secara tahunan, Sumatera Barat 7,1 persen, Riau 5,8 persen, Bangka Belitung 6,37 persen, Aceh 6,33 persen dan Sumatera Selatan 5,44 persen.

Politisi Partai Golkar ini juga membeberkan sejumlah strategi yang disepakati dalam rapat untuk meredam inflasi ke depan, di antaranya sebagai berikut: Pertama, melakukan perluasan kerja sama antardaerah untuk menjaga ketersediaan suplai komoditas, terutama kerja sama antara daerah yang surplus dan defisit produksi pangan. Kedua, pemerintah akan menggelar operasi pasar yang melibatkan berbagai pihak. Tujuannya untuk memastikan keterjangkauan harga di masyarakat. Ketiga, melakukan pemanfaatan platform perdagangan digital untuk memperlancar distribusi. Keempat, memberikan subsidi ongkos angkut sebagai dukungan untuk memperlancar distribusi yang dilakukan masing-masing kepala daerah.

Lalu yang kelima, mempercepat implementasi tanaman pangan di pekarangan masing-masing untuk mengantisipasi permintaan tinggi terutama menuju akhir tahun. Keenam, pemerintah pusat meminta daerah membuat neraca komoditas pangan strategis atau 10 komoditas strategis di wilayah masing-masing. Ketujuh, Badan Pangan alam membantu penguatan sarana dan prasarana untuk produk hasil pertanian, termasuk untuk penyimpanan dengan cold storage di sentra-sentra produksi.

Kemudian strategi kedelapan yaitu, pemerintah menekankan penggunaan belanja tidak terduga di APBD masing-masing sesuai dengan edaran Mendagri. Sembilan, melakukan optimalisasi Transfer ke Daerah dan Dana Desa (TKDD) berupa DAK fisik dengan tematik ketahan pangan. Strategi keseluruhan yakni menekankan agar Dana Transfer Umum (DTU) yang terdiri dari Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Bagi Hasil (DBH) sebesar 2 persen dialokasikan untuk meredam harga pangan dan memberi bansos atau dukungan di sektor transportasi. Terakhir atau yang kesebelas, melakukan sinergi antara Tim Pengendali Inflasi Daerah (TPID) dengan gerakan nasional pengendalian inflasi pangan guna mempercepat stabilitas harga.

Menanggapi strategi pemerintah, Ketua Komite Analis Kebijakan Ekonomi Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), Ajib Hamdani, menyebut strategi-strategi itu hanya berkaki untuk jangka panjang. Strategi itu bisa mereduksi biaya ekonomi sehingga inflasi bisa lebih terkendali.

“Yang selanjutnya ditunggu adalah regulasi yang mengaturnya. Intervensi regulasi yang pro dengan masyarakat luas dan pro demgan kesejahteraan harus dikedepankan. Karena, kalau bentuknya imbauan, akan cenderung kurang efektif di lapangan,” kata Ajib.

Dia menegaskan, paling tidak ada dua efek yang perlu dimitigasi dengan baik oleh pemerintah karena dampak kenaikan BBM. Efek pertama adalah tertekannya daya beli dan tingkat konsumsi oleh masyarakat. Karena pertumbuhan ekonomi sedang dalam tren positif dan hal ini secara signifikan ditopang oleh konsumsi masyarakat.

Pada Kuartal II-2022, pertumbuhan ekonomi mencapai 5,44 persen dan diproyeksikan oleh pemerintah bisa konsisten di atas 5 persen secara agregat di akhir 2022. Untuk mencapai proyeksi ini, daya beli dan konsumsi masyarakat harus terjaga dengan baik.

Hal kedua yang menjadi potensi masalah adalah tingkat inflasi. Data inflasi pada kuartal II tahun ini sebenarnya sudah cukup mengkhawatirkan karena sudah menyentuh angka 4,94 persen. Di sisi lain, pemerintah memproyeksikan angka inflasi hanya di kisaran 3 persen secara agregat sampai akhir 2022.

Dengan potensi inflasi, secara langsung akan menjadi pengurang tingkat kesejahteraan masyarakat. Sebuah capaian pertumbuhan ekonomi yang tinggi, akan menjadi tidak bermakna ketika inflasi juga tidak terkontrol. Karena secara substantif, tingkat kesejahteraan masyarakat tidak naik.

“Efek kenaikan BBM akan memberikan dampak kenaikan inflasi. Ada dua hal, yaitu karena aspek keekonomian dan aspek psikologi pasar,” kata dia.

Dalam konteks ekonomi, setiap kenaikan Harga Pokok Produksi (HPP), pasti akan berakibat secara langsung terhadap harga akhir barang atau jasa. Sehingga harga di tingkat konsumen akhir atau masyarakat akan mengalami kenaikan. Sedangkan dalam konteks psikologi pasar, masyarakat yang terbebani konsumsinya karena kenaikan harga-harga juga akan menaikkan harga produksinya, walaupun tidak ada efek secara langsung atas kenaikan HPP-nya.

Menurut Ajib, ada hal yang menarik ketika pemerintah membuat paket kebijakan dengan menggelontorkan bansos yang langsung dicairkan pada September ini. Bansos ini terbagi dalam 6 paket; Bantuan Subsisdi Upah (BSU); BLT Dana Desa; Kartu Prakerja; BLT Masyarakat; Bantuan Pokok Nontunai (BPNT); dan BLT UMKM. 

Alokasi bansos ini diambil dari dana APBN, yang bersumber dari program penanganan pandemi COVID-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN). Paket kebijakan pemerintah dengan memberikan bansos, relatif bisa menjawab potensi masalah dalam menjaga daya beli masyarakat. Pertanyaan selanjutnya adalah, bagaimana pemerintah akan menjaga inflasi? Ketika belum ada regulasi yang didorong untuk mengendalikan inflasi, maka proyeksi pemerintah akan sulit tercapai.

“Proyeksi inflasi akan terkerek di atas 4 persen secara agregat di akhir 2022. Jadi, pemerintah sudah relatif bisa menjaga potensi masalah jangka pendek atas tertekannya daya beli masyarakat, tapi masih ditunggu kebijakan strategis jangka panjang untuk bisa mengendalikan meroketnya inflasi,” jelasnya.

Sabtu (3/9/2022), Presiden Joko Widodo menyampaikan bahwa pemerintah telah memutuskan untuk mengalihkan sebagian subsidi dari bahan bakar minyak (BBM) untuk bantuan yang lebih tepat sasaran.

Pemerintah memutuskan untuk menyesuaikan harga BBM subsidi Pertalite dari Rp7.650 per liter menjadi Rp10.000 per liter, kemudian Solar subsidi dari Rp5.150 per liter menjadi Rp6.800 per liter, Pertamax nonsubsidi dari Rp12.500 per liter menjadi Rp14.500 per liter.

“Ini adalah pilihan terakhir pemerintah, yaitu mengalihkan subsidi BBM, sehingga harga beberapa jenis BBM yang selama ini mendapat subsidi akan mengalami penyesuaian,” ujar Presiden.

Kepala Negara menuturkan bahwa pemerintah telah berupaya untuk melindungi masyarakat dari kenaikan harga minyak dunia melalui subsidi BBM. Namun, Presiden menyebut bahwa kompensasi BBM tahun 2022 telah meningkat tiga kali lipat.

“Saya sebetulnya ingin harga BBM di dalam negeri tetap terjangkau dengan memberikan subsidi dari APBN. Tetapi anggaran subsidi dan kompensasi BBM tahun 2022 telah meningkat tiga kali lipat dari Rp152,5 triliun menjadi Rp502,4 triliun, dan itu akan meningkat terus,” tutur Kepala Negara.

Presiden mengatakan bahwa pemerintah akan menyalurkan bantuan yang lebih tepat sasaran, yaitu melalui Bantuan Langsung Tunai (BLT) BBM yang akan diberikan kepada 20,65 juta keluarga yang kurang mampu.

“Bantuan Langsung Tunai (BBM sebesar Rp12,4 triliun yang diberikan kepada 20,65 juta keluarga yang kurang mampu sebesar Rp150 ribu per bulan dan mulai diberikan bulan September selama empat bulan,” jelas Presiden.

Selain BLT BBM, pemerintah juga telah menyiapkan anggaran untuk bantuan subsidi upah yang diberikan kepada pekerja dengan gaji maksimum Rp3,5 juta per bulan.

“Pemerintah juga menyiapkan anggaran sebesar Rp9,6 triliun untuk 16 juta pekerja dengan gaji maksimum Rp3,5 juta per bulan dalam bentuk bantuan subsidi upah yang diberikan sebesar Rp600 ribu,” tuturnya.

Lebih lanjut, Presiden Jokowi telah menginstruksikan pemerintah daerah untuk menggunakan anggaran sebesar 2 persen dari dana transfer umum, salah satunya untuk bantuan sektor transportasi.

Sumber: infoindonesia.id