JAKARTA – Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menerbitkan Keputusan Menteri Keuangan (KMK) Nomor 29 Tahun 2025 yang merinci pemangkasan anggaran dana transfer ke daerah (TKD) senilai Rp50,59 triliun. Beleid itu menetapkan penyesuaian pencadangan transfer ke daerah dalam pelaksanaan APBN dan APBD 2025, sebagaimana arahan efisiensi anggaran dalam Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2025.

Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan Luky Alfirman di Jakarta, Rabu (5/2) membenarkan, pencadangan yang dimaksud merupakan pemangkasan anggaran tiap instrumen belanja transfer ke daerah. Pemangkasan dilakukan terhadap enam instrumen, di antaranya kurang bayar dana bagi hasil, dana alokasi umum (DAU), dana alokasi khusus (DAK) fisik, dana otonomi khusus (otsus), dana keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), dan dana desa.

Untuk kurang bayar dana bagi hasil, dilakukan pemangkasan sebesar Rp13,90 triliun dari pagu awal Rp27,81 triliun. Alokasi DAU dipangkas sebesar Rp15,68 triliun dari pagu Rp446,63 triliun. Maka, nilai yang akan ditransfer nantinya menjadi sebesar Rp430,96 triliun.

DAK fisik mulanya dianggarkan sebesar Rp36,95 triliun, namun dipangkas sebesar Rp18,31 triliun sehingga menjadi Rp18,65 triliun. Pemangkasan itu dilakukan terhadap DAK fisik bidang konektivitas sebesar Rp14,6 triliun, bidang irigasi Rp1,72 triliun, bidang pangan pertanian Rp675,33 miliar, dan bidang pangan akuatik Rp1,31 triliun.

Dana otsus juga dipangkas sebesar Rp509,46 miliar dari pagu awal Rp14,52 triliun, menjadi Rp14,01 triliun. Rinciannya, dana otsus Papua menjadi sebesar Rp9,7 triliun dan otsus Aceh Rp4,31 triliun.

Sementara itu, dana keistimewaan DIY dipangkas sebesar Rp200 miliar dari pagu awal Rp1,2 triliun, sehingga total alokasi menjadi Rp1 triliun.

Terakhir, anggaran dana desa dipangkas sebesar Rp2 triliun dari pagu Rp71 triliun. Maka, alokasi dana desa menjadi Rp69 triliun. Diktum ke delapan KMK tersebut menyatakan pemangkasan anggaran yang disebut sebagai cadangan itu akan digunakan untuk mendanai kebutuhan prioritas pemerintah. KMK berlaku sejak tanggal ditetapkan pada 3 Februari 2025.

Seperti diketahui, Prabowo mengeluarkan Inpres 1/2025 yang meminta anggaran pemerintah pada APBN dan APBD TA 2025 dipangkas sebesar Rp306,69 triliun. Rinciannya, anggaran K/L diminta untuk efisiensi sebesar Rp256,1 triliun dan transfer ke daerah (TKD) Rp50,59 triliun.

Dalam kesempatan terpisah, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menjelaskan, Presiden Prabowo Subianto menginisiasikan arahan efisiensi anggaran agar kas negara dapat digunakan untuk program yang lebih berdampak langsung terhadap masyarakat. Dia menyebut Makan Bergizi Gratis (MBG), swasembada pangan dan energi, hingga perbaikan sektor kesehatan sebagai contoh program yang dimaksud.

Program Produktif

Pakar Kebijakan Publik UPN Jakarta Achmad Nur Hidayat menilai, Pemerintah harus memastikan efisiensi anggaran agar dialokasikan ke program yang lebih produktif. Sebab, tanpa realokasi yang tepat, efisiensi tersebut justru menghambat pertumbuhan ekonomi dan menurunkan kualitas layanan publik.

“Misalnya, jika efisiensi hanya digunakan untuk membiayai program populis seperti Makan Bergizi Gratis (MBG) atau pembangunan tiga juta rumah tanpa perhitungan matang, kebijakan ini bisa menjadi kontra-produktif,” kata Achmad di Jakarta, Jumat (5/2).

Menurut dia, masyarakat kelas menengah dan bawah, membutuhkan lebih dari sekadar bantuan langsung. Masyarakat memerlukan stabilitas harga, ketersediaan pekerjaan, dan akses permodalan yang fleksibel.

Adapun lewat surat bernomor S-37/MK.02/2025 yang dikutip di Jakarta, Selasa, Menteri Keuangan Sri Mulyani menyatakan surat tersebut merupakan tindak lanjut Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2025. Dalam surat tersebut, pemerintah menetapkan efisiensi anggaran sebesar Rp256,1 triliun.

Guna mengakomodasi arahan tersebut, Sri Mulyani menetapkan 16 pos belanja yang perlu dipangkas anggarannya dengan persentase yang bervariasi, mulai dari 10 persen hingga 90 persen. Menanggapi hal tersebut, Achmad mengungkapkan, inefisiensi belanja negara terjadi akibat perencanaan anggaran yang lemah, birokrasi berbelit, serta korupsi dan penyalahgunaan anggaran.

Program yang tidak berbasis kajian sering kali mengarah pada belanja yang mubazir. Ia juga menyoroti bahwa pemangkasan anggaran dalam jumlah besar berisiko menurunkan kualitas layanan publik dan menghambat kinerja kementerian/lembaga (K/L). Jika tidak diiringi dengan strategi yang jelas, lanjutnya, belanja negara yang menyusut justru bisa memperlambat pertumbuhan ekonomi.

Lebih lanjut, Achmad merekomendasikan lima langkah utama agar efisiensi anggaran tidak sekadar menjadi pemangkasan angka. Pertama, perlunya evaluasi pos belanja. K/L perlu melakukan audit internal untuk mengidentifikasi pengeluaran yang benar-benar bisa dikurangi tanpa menghambat kinerja.

Kedua, penganggaran berbasis kinerja. Setiap belanja harus berorientasi pada hasil konkret, bukan sekadar formalitas.

Ketiga, digitalisasi dan reformasi birokrasi. Pemanfaatan teknologi dapat mengurangi biaya administrasi dan meningkatkan transparansi.

Keempat, pengawasan ketat oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan Kementerian Keuangan. Pemerintah perlu memastikan bahwa efisiensi anggaran tidak merugikan layanan publik.

Kelima, realisasi dana efisiensi ke program produktif. Dana yang dihemat harus dialokasikan untuk menciptakan lapangan pekerjaan, mendukung industri padat karya, dan menurunkan biaya permodalan bagi UMKM.

“Pemerintah harus memastikan, efisiensi ini tidak sekadar menjadi alat penghematan, tetapi juga langkah menuju reformasi anggaran yang lebih transparan dan efektif. Jika dana hasil efisiensi digunakan untuk program yang benar-benar bermanfaat bagi rakyat, maka kebijakan ini akan mendapat dukungan luas dari publik,” ucapnya.

Sumber: validnews.id