Silicon Valley Bank (SVB) secara tiba-tiba dinyatakan ditutup oleh regulator AS pada Jumat (10/3). Langkah tersebut merupakan kelanjutan dari peristiwa ramainya deposan menarik uang mereka di tengah kekhawatiran atas kesehatan keuangan bank.

Penutupan tersebut diikuti pengumuman dari Federal Deposit Insurance Corporation (FDIC), lembaga seperti LPS di Indonesia, yang menyatakan bahwa FDIC telah mengambil kendali atas simpanan pemberi pinjaman dan mentransfer aset ke entitas yang baru dibuat, Deposit Insurance Bank of Santa Clara.

FDIC mengatakan, kantor SVB akan dibuka kembali pada hari Senin (13/3) sehingga nasabah yang dananya diasuransikan dapat menarik simpanan. Namun, ternyata ada 89% simpanan bank yang tidak diasuransikan. Ini berarti ada miliaran dolar sekarang yang tidak dapat diambil oleh nasabah.

Akhirnya regulator meminta manajemen SVB melakukan langkah bail in yaitu meminta pemilik SVB mencari modal dari bank lain untuk bergabung dengan SVB demi mengamankan simpanan masyarakat tanpa jaminan tersebut.

Penyebab Kebangkrutan

Sebelum ditutup pada Jumat (10/3), selama sepekan sebelumnya SVB mengumumkan bahwa mereka telah kehilangan $1,8 miliar pada penjualan aset yang dilakukan dalam upaya untuk meningkatkan modal untuk mengimbangi arus keluar deposito, dan berencana untuk menjual sekitar $2,25 miliar saham baru.

Pengumuman itu telah memicu lebih banyak penarikan dari nasabah. Akibatnya, saham bank anjlok 60% pada Kamis, dan 60% lainnya dalam perdagangan premarket pada Jumat (10/3).

FDIC terpaksa campur tangan dan menghentikan penjualan karena para deposan menarik uang mereka dengan terburu-buru, sehingga kebangkrutan bank menjadi tidak terhindarkan.

Ada dua penyebab utama runtuhnya SVB. Pertama, adalah kesalahan fatal dari manajemen SVB Bank dan kedua, SVB terlalu fokus pada perusahaan rintisan.

Tidak hanya itu. Manajemen SVB menginvestasikan deposito jangka pendek dalam aset jangka panjang dengan suku bunga tetap. Setelah itu suku bunga jangka pendek naik dan bank gagal pun terjadi.

SVB merupakan Bank yang fokus kepada pembiayaan perusahaan teknologi dan start-up. Bank ini memiliki aset sekitar $209 miliar dan deposito $175,4 miliar dan dinyatakan sebagai bank peringkat ke-16 sebagai pemberi pinjaman AS terbesar pada 2022.

SVB dikabarkan mengalami tekanan hebat karena kekhawatiran resesi, suku bunga yang lebih tinggi, dan perlambatan pasar untuk penawaran umum perdana. Faktor-faktor ini mempersulit start-up untuk mengumpulkan uang tambahan dan membuat nasabah menarik simpanan mereka di SVB.

Runtuhnya bank yang berfokus pada teknologi dan start up menjadi bahan pembicaraan di media sosial. Angel Investor seperti SVB kemarin dipuji karena peranannya dalam mengembangkan perusahaan startup teknologi di AS dan Dunia. Namun pekan ini pujian tersebut runtuh dan masa depan teknologi start-up mengalami nasib diujung tanduk.

Kegagalan SVB dianggap sebagai keruntuhan terbesar dalam sistem perbankan AS melalui kanal Mutual Fund. Pembiayaan menggunakan Mutual Fund banyak digunakan untuk pengembangan start-up, namun kini Mutual Fund diprediksi menjadi sumber krisis baru di sektor keuangan sejak krisis keuangan 2008.

Runtuhnya SVB juga telah mengirimkan gelombang tsunami melalui pasar saham Eropa dan Asia, yang anjlok pada Jumat (10/3), karena investor mulai melepas saham bank AS karena masalah likuiditas tersebut.

Kritik Cara Penanganan Bank Gagal

Banyak analis keuangan berpendapat, bahwa cara otoritas keuangan AS dalam menyelamatkan bank gagal SVB dinilai tidak tepat. Otoritas keuangan sengaja membiarkan SVB runtuh karena otoritas tidak melakukan bail out dan tidak memberikan jaminan kepada dana nasabah yang tidak terasuransikan.

Cara penanganan bank gagal SVB oleh otoritas keuangan AS seperti itu akan menyebabkan dampak buruk yang lebih besar baik di AS maupun di Dunia. Ada konsekuensi mengerikan yang akan dihadapi sektor perbankan setelah ledakan Silicon Valley Bank (SVB). Dampak sistemik akan bermunculan seperti krisis ekonomi yang lebih luas di AS dan di dunia.

Cara penanganan bank gagal terhadap SVB termasuk tidak lazim di AS. Otoritas keuangan AS biasanya rutin melakukan bail out terhadap bank gagal seperti yang diakukan pada krisis keuangan 2008. Mereka menerapkan the lender of last resort dimana regulator kerap melakukan bail out dan menjamin semua uang nasabah yang ditempatkan pada bank gagal bayar tersebut.

Di Indonesia, dulu kita pernah mengenal Bank Century yang di bail out oleh otoritas keuangan Indonesia dan akhirnya diselamatkan menjadi bank entitas baru bernama J Trust Bank.

Apa yang terjadi pada SVB yang dibiarkan runtuh adalah satu sinyal bahwa permainan penyelamatan bank sudah berubah. Dulu dikenal istilah penyelamatan menggunakan konsep bail out, kini penyelamatan menggunakan konsep bail in dimana pemilik bank yang harus bertanggungjawab dalam menyelamatkan bank sendiri. Tidak ada lagi uang publik untuk menyelematkan para pemilik bank.

Perubahan tersebut dampak dari tekanan publik dan para tax payers yang tidak terima pajaknya digunakan untuk mengkompensasi kesalahan para oligarki perbankan seperti sebelumnya. Pelajaran dari krisis keuangan 2008. Namun perubahan permainan “bail in” terhadap SVB punya konsekuensi serius di masa depan dan dapat menyebabkan kehancuran perbankan yang besar.

Setelah kejadian runtuhnya SVB, Dunia kini menyadari apa artinya simpanan nasabah yang tidak diasuransikan. Pelajaran dari SVB, menyebabkan para nasabah yang memiliki simpanan nasabah yang tidak diasuransikan segera menarik dananya di sejumlah bank lainnya.

Efek penarikan dana yang masif tersebut akan menyebakan runtuhnya bank-bank serupa SVB yang khususnya jenis bank yang menggunakan skema mutual fund dalam pembiayaan perusahaan start up.

Third round effect yang mungkin dapat terjadi dari runtuhnya SVB adalah tutupnya banyak perusahaan start-up diseluruh dunia. Mereka ada ribuan usaha yang dikenal sebagai entitas bisnis yang paling cepat dan paling inovatif di dunia. Kekurangan modal terhadap perusahaan start-up akan menyebabkan perusahan tersebut akan gagal melakukan penggajian di masa depan.

Four round effect lain akan terjadi manakala setelah SVB, banyak bank lain runtuh khususnya mereka yang bergerak membiayaan start up, maka keruntuhan bank akan segera menyebar ke seluruh nadi keuangan dunia dan memunculkan krisis keuangan baru di tahun 2023. Ini adalah pengulangan siklus 15 tahunan dari krisis keuangan 2008 sebelummnya.

Semoga efek runtuhnya SVB tidak menyebabkan “guncangan besar” bagi dunia keuangan di Indonesia, meski sebenarnya banyak lembaga keuangan baik BUMN maupun swasta, yang melakukan skema mutual fund yang sama untuk membiayai start-up di Indonesia.

Meski demikian, otoritas keuangan Indonesia harus berhati-hati mencermati dampak runtuhnya SVB terhadap sektor keuangan Indonesia. Paling tidak dengan melakukan update pengawasan terbaru sehingga pantauan risiko sistem perbankan menjadi efektif.

Patut diingat, bahwa bank gagal terjadi karena lemahnya pengawasan risiko sistem keuangan yang dilakukan oleh para otoritas keuangan. Manajemen bank mungkin melakukan kesalahan namun kenapa kesalahan tersebut dibiarkan itu adalah tanggunjawab otoritas stabiltias sistem keuangan yang kini menggunakan UU Omnibuslaw Sektor Keuangan PPSK terbaru, yaitu tanggungjawab bersama antara Bank Indonesia, OJK, LPS dimana Kementerian Keuangan merupakan leading sector-nya.

Oleh: Achmad Nur Hidayat, Ekonom dan Pakar Kebijakan Publik

Sumber: neraca.co.id