Oleh: ACHMAD NUR HIDAYAT
Ekonom dan Pakar Kebijakan Publik UPNVJ
Badan Kepegawaian Negara (BKN) baru-baru ini mengusulkan skema Work From Anywhere (WFA) selama dua hari dalam seminggu bagi Aparatur Sipil Negara (ASN) sebagai bagian dari strategi efisiensi anggaran.
Kebijakan ini bertujuan mengurangi pengeluaran operasional kantor seperti listrik, air, perjalanan dinas, serta berbagai aspek biaya lainnya.
Secara teori, usulan ini terlihat logis, terutama dengan semakin berkembangnya teknologi digital yang memungkinkan pekerjaan dapat dilakukan dari jarak jauh.
Namun, penerapan kebijakan ini tidak bisa dilakukan secara gegabah.
Salah satu risiko utama yang harus diperhitungkan adalah potensi menurunnya kualitas layanan publik.
Sebagai elemen kunci dalam birokrasi pemerintahan, ASN memiliki tanggung jawab besar dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat.
Jika sistem WFA diterapkan tanpa perencanaan matang, bukan efisiensi yang didapat, melainkan ketimpangan dalam kinerja dan ketidakpuasan dari masyarakat terhadap layanan pemerintah.
Tidak Semua Pekerjaan ASN Bisa Dilakukan Secara WFA
Penting untuk memahami bahwa tidak semua tugas ASN bisa dilakukan secara remote.
ASN memiliki peran yang sangat beragam, mulai dari administrasi, pengawasan, pelayanan publik, hingga pekerjaan yang membutuhkan kehadiran fisik langsung seperti tenaga kesehatan, aparat keamanan, dan pegawai layanan kependudukan.
Dalam konteks ini, sistem WFA hanya cocok bagi pekerjaan yang berbasis administratif dan dapat dilakukan dengan perangkat digital.
Kementerian dan lembaga yang memiliki tanggung jawab pelayanan langsung kepada masyarakat akan menghadapi tantangan besar jika kebijakan WFA diterapkan tanpa seleksi ketat.
Layanan publik yang mengandalkan tatap muka seperti pembuatan dokumen kependudukan, pengurusan izin usaha, dan pelayanan kesehatan bisa mengalami gangguan serius jika sebagian besar pegawainya tidak hadir di kantor.
Jangan sampai kebijakan ini justru menciptakan antrian panjang di kantor-kantor pemerintahan atau memperlambat penyelesaian berbagai administrasi publik.
Jika pemerintah benar-benar ingin menerapkan skema WFA, maka perlu dilakukan pemetaan yang jelas terhadap jenis pekerjaan yang memungkinkan dilakukan dari rumah tanpa menghambat kinerja birokrasi.
Kementerian dan lembaga harus memiliki fleksibilitas dalam menentukan apakah kebijakan ini bisa diterapkan di instansi mereka atau tidak.
Efisiensi Anggaran Tidak Boleh Mengorbankan Kualitas Pelayanan
Salah satu alasan utama dari usulan WFA adalah efisiensi anggaran.
Dengan mengurangi jumlah hari kerja di kantor, pemerintah berharap dapat menekan biaya operasional seperti listrik, air, alat tulis kantor, dan perawatan gedung.
Namun, efisiensi anggaran seharusnya tidak hanya berfokus pada pengurangan biaya, tetapi juga mempertimbangkan dampak jangka panjang terhadap kualitas layanan publik.
Jika kebijakan WFA menyebabkan penurunan produktivitas atau memperlambat proses birokrasi, maka anggaran yang dihemat dari sisi operasional kantor bisa jadi malah harus dialokasikan untuk mengatasi permasalahan yang timbul, seperti peningkatan pengaduan dari masyarakat atau biaya tambahan untuk mendukung pegawai yang kesulitan bekerja dari rumah.
Selain itu, ada biaya tersembunyi yang mungkin muncul dari kebijakan ini. ASN yang bekerja dari rumah tetap membutuhkan fasilitas yang mendukung, seperti internet yang stabil, perangkat kerja yang memadai, serta lingkungan yang kondusif untuk bekerja.
Jika tidak ada kompensasi atau dukungan dari pemerintah terkait fasilitas ini, maka beban pengeluaran justru bisa beralih kepada ASN sendiri, yang pada akhirnya bisa mempengaruhi motivasi dan produktivitas kerja mereka.
Sistem Pengawasan dan Evaluasi Harus Ketat
Tantangan terbesar dalam penerapan WFA bagi ASN adalah pengawasan dan evaluasi kinerja.
Saat bekerja di kantor, pengawasan dapat dilakukan secara langsung oleh atasan, dengan sistem absensi dan pemantauan fisik yang lebih jelas.
Namun, ketika ASN bekerja dari rumah, bagaimana pemerintah dapat memastikan bahwa mereka tetap bekerja dengan optimal?
Selama pandemi COVID-19, banyak instansi pemerintah yang menerapkan sistem kerja dari rumah.
Pengalaman tersebut memberikan pelajaran bahwa tanpa sistem monitoring yang ketat, produktivitas ASN bisa mengalami penurunan signifikan.
Beberapa ASN mungkin tetap disiplin dan produktif, tetapi ada juga yang kurang optimal dalam menyelesaikan tugasnya saat bekerja tanpa pengawasan langsung.
Untuk menghindari penurunan kinerja, pemerintah harus menerapkan sistem evaluasi berbasis output dan target yang jelas.
Penilaian kinerja ASN yang bekerja dari rumah harus didasarkan pada hasil kerja, bukan sekadar kehadiran atau absensi online.
Penggunaan teknologi digital seperti aplikasi pelaporan tugas berbasis cloud, sistem manajemen proyek, serta platform komunikasi internal yang efektif dapat membantu meningkatkan transparansi dalam sistem kerja WFA.
Selain itu, kebijakan ini harus disertai dengan mekanisme pengawasan yang ketat dari pimpinan instansi.
Setiap ASN yang menjalani WFA harus memiliki daftar tugas yang jelas, serta batas waktu penyelesaian yang dapat dipantau oleh atasan mereka.
Dengan sistem evaluasi yang transparan dan berbasis hasil kerja, risiko turunnya produktivitas ASN saat bekerja dari rumah bisa diminimalisir.
Tidak Boleh Ada Ketimpangan dalam Beban Kerja
Salah satu dampak yang harus diantisipasi dari kebijakan WFA adalah potensi ketimpangan dalam beban kerja.
Jika tidak dikelola dengan baik, kebijakan ini bisa menyebabkan beberapa ASN memiliki beban kerja yang lebih berat dibandingkan yang lain.
Sebagai contoh, ASN yang bertugas di bidang pelayanan publik tetap harus hadir di kantor selama lima hari penuh karena sifat pekerjaannya yang tidak bisa dilakukan dari jarak jauh.
Sementara itu, ASN yang bekerja dalam bidang administratif mungkin hanya perlu hadir tiga hari dalam seminggu.
Jika tidak ada mekanisme kompensasi atau penyesuaian beban kerja yang adil, hal ini dapat menimbulkan ketidakpuasan di antara pegawai.
Kementerian dan lembaga harus memiliki kebijakan yang fleksibel dalam menyesuaikan jadwal kerja ASN agar tidak terjadi ketimpangan dalam beban kerja.
Pembagian tugas harus dilakukan secara adil dan mempertimbangkan kesetaraan antara ASN yang bekerja dari rumah dan yang tetap bekerja di kantor.
Perlu Perencanaan Matang Sebelum Implementasi, Hati-Hati Jangan Ciptakan Kecemburuan ASN dan Non-ASN
Ide BKN untuk menerapkan skema WFA bagi ASN adalah langkah yang perlu dikaji dengan cermat.
Meskipun ada potensi efisiensi anggaran yang bisa diperoleh, kebijakan ini harus diterapkan dengan hati-hati agar tidak menimbulkan dampak negatif terhadap kualitas layanan publik.
Salah satu aspek yang juga perlu diperhatikan dalam penerapan kebijakan WFA bagi ASN adalah potensi munculnya kecemburuan antara ASN dan pegawai non-ASN, seperti pegawai kontrak atau tenaga honorer.
Selama ini, pegawai non-ASN sering kali memiliki hak dan fasilitas yang lebih terbatas dibandingkan ASN, termasuk dalam hal fleksibilitas kerja.
Jika kebijakan WFA hanya berlaku bagi ASN tanpa ada keseimbangan bagi pegawai non-ASN, maka bisa timbul kesenjangan yang semakin memperburuk kondisi kerja mereka. Pegawai non-ASN yang tetap harus hadir penuh di kantor sementara ASN diberikan kesempatan bekerja dari rumah bisa merasa diperlakukan tidak adil.
Oleh karena itu, pemerintah harus merancang kebijakan yang mempertimbangkan aspek keadilan bagi seluruh pegawai, baik ASN maupun non-ASN, agar tidak terjadi ketimpangan yang berpotensi merusak harmoni dan motivasi kerja di lingkungan birokrasi.
Pemerintah harus memastikan bahwa kebijakan ini hanya diterapkan untuk jenis pekerjaan yang memang bisa dilakukan secara remote tanpa mengganggu pelayanan masyarakat.
Selain itu, sistem pengawasan dan evaluasi kinerja ASN harus diperkuat agar kebijakan ini tidak malah menjadi celah bagi menurunnya disiplin dan produktivitas pegawai.
Efisiensi anggaran tidak boleh mengorbankan hak masyarakat untuk mendapatkan pelayanan yang cepat dan berkualitas.
Oleh karena itu, sebelum kebijakan ini diimplementasikan secara luas, pemerintah harus melakukan uji coba terbatas, mengevaluasi kesiapan infrastruktur digital, serta memastikan bahwa tidak ada ketimpangan dalam beban kerja ASN di berbagai instansi.
Jika kebijakan ini diterapkan dengan strategi yang matang, maka WFA bisa menjadi salah satu langkah inovatif dalam modernisasi birokrasi.
Namun, jika implementasinya tidak terencana dengan baik, maka kebijakan ini bisa menjadi bumerang yang berujung pada ketidakpuasan masyarakat terhadap layanan publik yang semakin lambat dan tidak optimal.
Sumber: koma.id