ULTIMAGZ.com – Dalam beberapa hari terakhir, dunia pendidikan dihebohkan oleh aksi advokasi dan konsolidasi dari beragam institusi sebagai bentuk perlawanan terhadap rencana kebijakan efisiensi anggaran pendidikan. Hal itu dilakukan demi memperjuangkan hak atas pendidikan yang layak, adil, dan terjangkau.

Kekecewaan terhadap pemerintah tercermin dari tagar #DaruratPendidikan yang naik di media sosial. Mahasiswa, dosen, hingga masyarakat membanjiri ruang publik digital dan mempertanyakan efisiensi anggaran yang dinilai mengabaikan sektor pendidikan.

Keramaian bermula ketika Presiden Prabowo Subianto menerbitkan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 1 Tahun 2025 tentang Efisiensi Belanja dalam Pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) pada Rabu (22/01/25). Instruksi ini mengharuskan lembaga dan kementerian mengidentifikasi rencana efisiensi belanja sesuai besaran yang ditetapkan Menteri Keuangan.

Pemerintah menetapkan target penghematan anggaran bagi kementerian, lembaga, dan pemerintah daerah (Pemda) hingga mencapai Rp306 triliun. Melansir kompas.com, inpres tersebut diduga diterapkan untuk menekan beban utang negara yang telah jatuh tempo.

Menindaklanjuti hal ini, Komisi X Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) menggelar rapat kerja untuk membahas efisiensi anggaran dengan beberapa menteri pada Rabu (12/02/25). Menteri tersebut antara lain Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah (Mendikdasmen), Menteri Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi (Mendiktisaintek), beserta Menteri Kebudayaan. 

Dalam rapat kerja yang disiarkan secara langsung pada kanal YouTube KompasTV, Mendikdasmen Abdul Mu’ti menyebutkan bahwa dirinya menerima surat dari Kementerian Keuangan (Kemenkeu) yang berisi efisiensi anggaran sebesar Rp8,03 triliun dari pagu awal Rp33,5 triliun.

Sementara, Mantan Mendiktisaintek Satryo Soemantri Brodjonegoro diminta untuk menghemat anggaran sebesar Rp14,3 triliun dari total pagu awal yang mencapai Rp56,607 triliun. Bahkan, angka tersebut sudah mengalami penyesuaian dari rencana awal yang semula akan dipotong sebesar Rp22,5 triliun.

Ironisnya, sebelum terkena pemangkasan dari rencana efisiensi pun ternyata anggaran pendidikan belum mencapai mandat konstitusi. Seharusnya, minimal 20 persen dari total APBN dipakai untuk anggaran pendidikan. Alokasi APBN 2025 untuk pendidikan hanya 18 persen (Rp651,61 triliun), turun dari anggaran 2024 (Rp665 triliun), dilansir dari akun Instagram @narasinewsroom. 

Satryo dan fraksi-fraksi dari Komisi X DPR RI juga menyoroti bagaimana pemotongan anggaran berdampak pada keberlanjutan beasiswa yang telah berjalan. Hal ini termasuk Kartu Indonesia Pintar Kuliah (KIP-K), Beasiswa Pendidikan Indonesia (BPI), Beasiswa ADIK, Beasiswa Kemitraan Negara Bekembang (KNB), serta beasiswa dosen dan tenaga kependidikan, baik di luar maupun dalam negeri.

Sebagai informasi tambahan, Prabowo telah melakukan perombakan kabinet pada Rabu (19/02/25). Salah satu menteri yang direshuffle adalah Satryo sebagai Mendiktisaintek. Posisi tersebut kini diisi oleh Prof. Brian Yuliarto, guru besar di Fakultas Teknologi Industri (FTI) Institut Teknologi Bandung (ITB).

Pertaruhkan Keberlangsungan Studi Penerima Beasiswa

Berdasarkan tabel Rancangan Perubahan Anggaran Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi Republik Indonesia (Kemendiktisaintek) TA 2025, Ditjen Anggaran (DJA) merencanakan efisiensi beasiswa Kartu Indonesia Pintar Kuliah (KIP-K) sebesar Rp1,31 triliun atau sekitar sembilan persen dari pagu awal.


Skema Perubahan Anggaran Kemdiktisaintek TA 2025 dalam siaran langsung rapat komisi X DPR RI. (YouTube/KOMPASTV)

Usulan unit yang berada di bawah Kemenkeu ini menimbulkan gejolak di masyarakat. Jika KIP-K terimbas, sekitar 200.000 lulusan sekolah menengah atas (SMA) terancam putus sekolah karena terhalang biaya untuk melanjutkan ke jenjang perguruan tinggi. 

Hal ini pun meningkatkan keresahan di masyarakat, terutama bagi kalangan mahasiswa penerima KIP-K karena keputusan tersebut berdampak besar terhadap kelangsungan studi mereka. 

“Kami yang sejak awal bergantung pada KIP-K kini waswas. Jika usulan efisiensi ini tidak diaminkan, bukan hanya calon mahasiswa baru yang terancam, tetapi kami juga bisa putus studi,” ujar Ryan, mahasiswa Kimia Universitas Indonesia (UI) 2022 yang merupakan penerima beasiswa KIP Kuliah kepada ULTIMAGZ, Kamis (13/02/25).

Merespons keresahan publik, Menteri Keuangan Sri Mulyani menegaskan bahwa beasiswa KIP-K tidak mengalami pemotongan atau pengurangan anggaran. 

“Anggaran tersebut tidak terkena pemotongan dan tidak dikurangi. Dengan demikian, seluruh mahasiswa yang telah dan sedang menerima beasiswa KIP Kartu Indonesia Pintar dapat meneruskan program belajar seperti biasanya,” ujar Sri Mulyani dalam konferensi pers di Gedung DPR RI pada Jumat (14/02/25), dilansir dari kemenkeu.go.id.

Dengan demikian, anggaran KIP-K tetap berada di angka Rp14,6 triliun. Selain itu, terdapat beberapa beasiswa lain yang tidak terdampak efisiensi, seperti BPI, ADIK, KNB, hingga beasiswa yang berada di bawah Kemenkeu seperti Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP).

Deretan beasiswa tersebut berperan penting dalam mencetak sumber daya manusia (SDM) unggul. Namun, dengan pemangkasan anggaran, pencairan dana beasiswa ini dikhawatirkan akan semakin tertunda dan mengancam keberlangsungan studi penerima, terutama yang berada di luar negeri.

Oleh karena itu, masyarakat perlu terus mengawasi komitmen pemerintah agar janji ini benar-benar ditepati.

Turut Berdampak pada Bantuan Operasional Perguruan Tinggi dan Uang Kuliah

Tak hanya beasiswa, polemik juga muncul dari pos anggaran lain yang lebih berisiko terkena efisiensi. Berdasarkan rencana efisiensi DJA, seluruh bantuan kelembagaan untuk pendidikan tinggi akan dipotong sebanyak 50 persen dari pagu awal. 

Pagu awal Bantuan Operasional Perguruan Tinggi Negeri (BOPTN) yang diusulkan Kemendiktisaintek sebesar Rp6 triliun mengalami pemangkasan hingga Rp3 triliun. Jika hal ini terjadi, kenaikan Uang Kuliah Tunggal (UKT) pada tahun ajaran 2025/2026 bukan lagi sekadar ancaman, melainkan kenyataan.

Mengutip kemenkeu.go.id, Sri Mulyani menyatakan bahwa efisiensi anggaran di kementerian dan lembaga mencakup aktivitas seperti perjalanan dinas, seminar, pengadaan alat tulis kantor (ATK), peringatan, perayaan, serta kegiatan seremonial lainnya. Perguruan tinggi juga akan mengalami penyesuaian pada pos belanja tersebut.

“Langkah ini tidak boleh, saya ulangi, tidak boleh memengaruhi keputusan perguruan tinggi mengenai UKT yang dalam hal ini baru akan dilakukan untuk tahun ajaran baru (2025-2026) pada bulan Juni atau Juli nanti. Pemerintah akan terus meneliti secara detail anggaran operasional perguruan tinggi untuk tidak terdampak sehingga tetap dapat menyelenggarakan tugas pendidikan tinggi dan pelayanan masyarakat sesuai amanat perguruan tinggi tersebut,” jelas Menkeu.

Meski begitu, ada keraguan bahwa perguruan tinggi mampu menutupi biaya operasional tanpa menaikkan UKT. Ketua Majelis Rektor PTN Indonesia (MRPTNI) Eduart Wolok menegaskan bahwa alokasi BOPTN untuk setiap PTN sebenarnya belum mampu menutupi biaya kuliah tunggal (BKT) per mahasiswa. 

“Pungutan UKT nyatanya masih di bawah BKT, bahkan dengan subsidi pemerintah lewat BOPTN pun belum cukup. Jadi, kami meminta supaya BOPTN dan KIP Kuliah jangan sampai ada pemotongan,” ujarnya kepada Kompas.id.

Kondisi ini diperparah dengan efisiensi Bantuan Pendanaan PTN Berbadan Hukum (BPPTNBH) serta tidak diberikannya tunjangan kinerja (tukin) untuk dosen Perguruan Tinggi Negeri Berbadan Hukum (PTNBH) dan dosen Perguruan Tinggi Negeri Badan Layanan Umum (PTN BLU) yang sudah menerapkan sistem remunerasi. Selain mengganggu kesejahteraan hidup para tenaga pendidik, kebijakan ini menimbulkan ketimpangan dengan dosen-dosen lain yang telah diberikan tukin. Hal ini pun dapat berdampak pada menurunnya kualitas pengajaran karena dosen jadi lebih fokus untuk mengejar remunerasi demi memenuhi kebutuhan hidup.

Melansir jangkauindonesia.com, perwakilan Senat PTNBH menyepakati kenaikan UKT mahasiswa sebagai salah satu opsi untuk mengatasi ketidakseimbangan anggaran akibat tidak dialokasikannya tukin bagi dosen di PTNBH dan PTN BLU yang telah menetapkan sistem remunerasi. Hal tersebut disampaikan melalui rapat Majelis Senat Akademik (MSA) PTNBH yang berlangsung di Universitas Hasanuddin, Jumat (14/02/25).

Dampak terhadap UKT ini menuai keresahan dari masyarakat, khususnya mahasiswa. Hal ini turut disampaikan oleh Fazli Haqqi, mahasiswa Kesehatan dan Keselamatan Kerja UI 2023.

“Kenaikan UKT di tahun 2023 saja sudah mencekik. Bahkan ada institusi yang menyarankan pinjol dan unpaid labour. Jangankan 50 persen, 30 persen pun akan berasa sekali. Apalagi itu kemungkinan terbaik yang bisa di-nego Kemendikti dan DPR ke Kemenkeu? Serius di ekonomi sekarang ini?” ungkap Fazli kepada ULTIMAGZ, Jumat (14/02/25).

Tidak hanya PTN, Perguruan Tinggi Swasta (PTS) juga turut terdampak efisiensi. Bantuan kelembagaan PTS ikut dipotong 50 persen sehingga hanya tersisa Rp182,65 miliar dari pagu awal Rp365 miliar. 

“Kami juga usulkan (bantuan kelembagaan PTS) kembali pada pagu awal Rp365 miliar agar PTS tidak harus menaikkan uang kuliahnya dan tetap beroperasi dengan normal,” tegas Satryo, dilansir dari detik.com. 

Selain kenaikan UKT, pemotongan anggaran berisiko memperlebar kesenjangan kualitas antara PTN dan PTS. Padahal, lebih dari 60 persen angka partisipasi perguruan tinggi berasal dari PTS. Jika pendidikan terus dikorbankan atas nama efisiensi, masa depan mahasiswa akan semakin terancam.

Prioritas Alokasi Efisiensi yang Belum Adil

Sementara anggaran layanan publik dan tukin dosen mengalami pemangkasan, beberapa proyek lain dengan prioritas yang dipertanyakan justru tetap mendapatkan alokasi anggaran yang signifikan walaupun dikritik banyak pihak terkait urgensinya bagi masyarakat luas. Contohnya, program Makan Bergizi Gratis (MBG).

Menurut Achmad Nur Hidayat, Ekonom Universitas Pembangunan Nasional (UPN) Veteran Jakarta, pemerintah seharusnya mengarahkan efisiensi anggaran pada belanja yang berkualitas dan memberikan dampak maksimal bagi perekonomian serta kesejahteraan masyarakat, dilansir dari di neraca.co.id.

Ia menilai bahwa program MBG, yang dialokasikan sebesar Rp71 triliun dan direncanakan meningkat menjadi Rp100 triliun pada 2025 tidak dapat dikategorikan sebagai belanja berkualitas. Menurutnya, rencana tersebut berisiko menimbulkan konsekuensi negatif karena perekonomian yang terbatas.

Pertanyaan pun muncul mengenai prioritas pemerintah dalam mengelola anggaran negara. Pemangkasan pada sektor yang berperan langsung dalam peningkatan kualitas pendidikan dan layanan publik justru berbanding terbalik dengan alokasi besar pada program MBG yang belum terbukti efektivitasnya.

Mengutip ugm.ac.id, pola alokasi anggaran di tingkat pemerintahan cenderung kurang teratur. Hal ini disampaikan oleh Prof. Dr. Wahyudi Kumorotomo, M.P.P., Guru Besar bidang Manajemen Kebijakan Publik dari Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada. 

“Saya melihat sebenarnya kondisi ini tidak sehat karena semua hal terkait pendanaan Kementerian dan Lembaga dasarnya adalah negosiasi politik, bukan berdasarkan kebutuhan objektif dari program di setiap kementerian,” pungkas Wahyudi.

Jika efisiensi anggaran menjadi alasan utama pemangkasan, maka seharusnya kebijakan tersebut diterapkan secara lebih adil dan transparan, bukan hanya mengikuti kepentingan politik semata.

“Walaupun ekonomi negara sedang tidak baik, asalkan kita bisa memperjuangkan mana yang benar-benar wajib dan menggeser dulu yang tidak prioritas, hak pendidikan dapat tercukupi. Dengan kata lain, kembali lagi pada bagaimana pemerintah menentukan skala prioritasnya,” ucap Graciela, mahasiswa Komunikasi Strategis 2024 Universitas Multimedia Nusantara (UMN) kepada ULTIMAGZ, Sabtu (15/02/25).

Pemangkasan anggaran pendidikan bukanlah isu sepele. Meski beasiswa seperti KIP-K diklaim aman, pemotongan anggaran vital lain seperti biaya operasional perguruan tinggi tetap mengancam kualitas pendidikan. Sebagai mahasiswa, Ultimates harus mengawal kebijakan publik, menuntut alokasi anggaran yang adil, serta berpartisipasi dalam diskusi publik. 

Pengalaman sebelumnya menunjukkan bahwa kebijakan yang awalnya hanya berupa rencana dapat terlaksana jika tidak ada tekanan dari publik. Efisiensi anggaran dapat menjadi hal yang bagus selama dilakukan dengan adil dan transparan. Maka dari itu, jangan sampai sektor-sektor penting yang perlu diprioritaskan menjadi dikorbankan, termasuk pendidikan.

Sumber: ultimagz.com