MEDIA24.ID, YOGYAKARTA – Pemerintahan Presiden terpilih Prabowo Subianto menghadapi masalah ketenagakerjaan yang cukup pelik karena dominasi pekerja informal dalam perekonomian nasional.

Ekonom UGM Yogyakarta Akhmad Akbar Susamto mengatakan pasca-pandemi COVID-19, jumlah pekerja sektor informal jauh lebih besar.

Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) pada Februari 2024 memperlihatkan bahwa dari 142,18 juta orang bekerja ada 59,17% penduduk yang bekerja di kegiatan informal atau sebanyak 84,13 juta orang.

Penduduk yang bekerja di kegiatan formal pada Februari 2024 hanya sebesar 40,83%.

“Kondisi ketenagakerjaan belum pulih sepenuhnya, di sisi lain orang butuh makan. Jadi apa saja dikerjakan, serabutan membuat sektor informal meningkat,” ujar Akbar Susamto, pada Media24.id

Kondisi perekonomian menurut dia sebenarnya tidak terlalu buruk, karena bisa bertahan pada pertumbuhan 5 persen.

Menurut Akbar Susamto pemerintahan Prabowo menghadapi masalah defisit anggaran yang cukup besar.

Hingga Juli 2024, defisit sudah mencapai Rp93,4 triliun yang membuat ruang fiskal pemerintah terbatas. Akibatnya, kemampuan pemerintah untuk menggerakkan perekonomian menjadi sulit.

APBN menurut dia akan lebih terbatas karena harus membiayai janji-janji politik populis seperti makan siang bergizi hingga melanjutkan pembangunan IKN.

Di sisi moneter, pemerintah mempertahankan kebijakan suku bunga tinggi yang membuat sektor usaha kian susah bergerak.

Kebijakan ini mengacu pada The Federal Reserve System (Fed) yang juga meningkatkan suku bunga sebagai respon atas inflasi di Amerika. Meski The Fed sudah menurunkan 0,5%, tapi Bank Indonesia tetap mempertahankan pada di angka 6% untuk mempertahankan nilai tukar rupiah.

“Kemampuan sektor moneter dalam mendukung perekonomian nasional itu juga rendah sebenarnya. Segi moneter ini juga tidak bisa bergerak bebas, karena banyak bergantung pada kebijakan inflasi luar negeri,” jelas Akhmad.

Dengan demikian, kata Akhmad pemerintah mendatang akan menghadapi kesulitan dalam bidang fiskal maupun moneter, meski pertumbuhan cenderung stabil.

“Tidak mudah menghadapi tantangan itu, pemerintahan Prabowo sebaiknya fokus memperbaiki ketahanan ekonomi,” ujar dia.

Kelas Menengah Turun

Pemerintahan Prabowo secara umum menghadapi masalah turunnya jumlah kelas menengah, padahal keberadaan golongan ini sangat penting untuk perekonomian nasional karena kekuatan belanjanya.

Dalam kurun waktu 2019 hingga 2024, jumlah kelas menengah berkurang hingga 10 juta orang. Pada 2019 jumlah kelas menengah sebanyak 57,33 juta orang, turun menjadi 47,85 juta orang tahun ini.

Sebaliknya, kelas menengah rentan naik dari 128,85 juta jiwa pada 2019 menjadi 137,5 juta jiwa pada 2024.

Kelas menengah adalah rumah tangga dengan pengeluaran Rp2 hingga Rp9,9 juta per bulan.

Jumlah kelompok miskin pun meningkat menjadi 25,22 juta jiwa pada tahun ini, padahal pada 2019 lalu jumlahnya baru 25,14.

Menurut BPS hal ini terjadi karena efek pandemi COVID-19 yang membuat gelombang PHK di berbagai industri. Menurut data Kementerian Tenaga Kerja, sebanyak 46.240 pekerja mengalami PHK pada periode Januari – Agustus 2024.

Peneliti LPEM Universitas Indonesia Jahen Fachrul Rezki pemerintah harus menjaga stabilitas kelas menengah karena peran penting mereka. Dengan jumlah mencapai 66,35% dari penduduk Indonesia, kelas menengah adalah penopang utama ekonomi domestik dengan kekuatan belanja rumah tangga hingga 81,49% dari total konsumsi.

Pertumbuhan ekonomi 5 persen menurut Jahen tidak bisa menciptakan lapangan pekerjaan dengan nilai tambah dan produktivitas tinggi.

Pekerjaan yang tersedia saat ini malah bersifat low value added (bernilai tambah rendah) seperti pada sektor retail maupun ekstraktif.

Pemerintah tidak mampu menggerakkan sektor manufaktur atau jasa dengan nilai tinggi seperti sektor informasi dan teknologi komunikasi.

“Yang muncul malah pengemudi Gojek dan gig economy lain berbasis freelance dengan value added rendah. Harusnya pekerjaan itu sampingan saja, tapi di sini malah jadi pekerjaan utama,” ujar dia dikutip dari Benarnews.org

Kelemahan Struktural Ekonomi Indonesia

Pengamat Kebijakan Publik UPN Veteran Jakarta Achmad Nur Hidayat mengatakan ada banyak kelemahan struktural perekonomian Indonesia yang tidak pernah diungkapkan pemerintah.

Menurut dia pemerintah hanya membanggakan kondisi surplus neraca perdagangan Indonesia 53 bulan berturut-turut yang disebut menjadi sinyal ketahanan ekonomi. Padahal kondisi di balik data-data statistik perekonomian perlu diwaspadai.

Menurut Nur Hidayat surplus perdagangan hingga USD3,26 miliar pada September 2024 terjadi karena penurunan impor alih-alih peningkatan ekspor yang signifikan.

Penurunan impor ini sebenarnya mengindikasikan bahwa ada permintaan domestik yang melemah dan stagnasi ekonomi internal.

Selain itu terjadi defisit sektor migas hingga USD66,93 miliar yang menunjukkan ketergantungan Indonesia terhadap impor energi. Ekspor non migas memang tercatat surplus US$ 224,15 miliar, namun banyak berasal dari komoditas mentah.

“Ini menandakan minimnya nilai tambah yang dihasilkan di dalam negeri akibat kurangnya hilirisasi,” ujar dia.

Ekspor sepanjang Januari – September 2024 yang mencapai USD192,85 miliar juga terjadi karena booming harga komoditas, bukan peningkatan produktivitas atau daya saing produk yang tinggi.

Menurut dia Indonesia juga masih mengalami ketergantungan pada China, Amerika Serikat, dan Jepang sebagai negara mitra utama ekspor.

Keempat negara ini menguasai kontribusi hingga 43,57% dan menimbulkan risiko jika salah satu negara tersebut mengalami perlambatan ekonomi.

Di sisi lain, impor barang modal yang naik 18,44 persen (USD170,87) pada Januari-September 2024 juga menandakan industri domestik masih sangat bergantung pada teknologi dan bahan baku impor.

“Jadi ada kelemahan struktural yang memerlukan perhatian serius. Kita belum tangguh dalam menghadapi perubahan global, dan perlu dorongan lebih kuat untuk hilirisasi serta diversifikasi ekonomi,” ujar dia.

Sumber: media24.id