AHLI kebijakan Publik UPN Veteran Jakarta Achmad Nur Hidayat mengkritisi dampak program makan bergizi gratis. Menurutnya terdapat beberapa alasan klaim program itu cenderung terlalu optimistik.

Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) merilis terkait program Makan Bergizi Gratis (MBG) mengklaim bahwa alokasi belanja sebesar Rp71 triliun pada tahun 2025 akan membawa dampak positif terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia. Dengan proyeksi pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) sebesar 0,06% atau Rp14,61 triliun, peningkatan penyerapan tenaga kerja sebesar 0,19%, dan kenaikan upah sebesar 0,39%, laporan ini mencoba memberikan gambaran optimistis atas program MBG.

“Ketidakselarasan antara besaran anggaran yang dialokasikan dengan dampak ekonomi yang dihasilkan, proyeksi impor yang tinggi, serta penggunaan data yang terbatas menunjukkan bahwa laporan ini jauh dari kata sempurna,” ungkapnya, Selasa (22/10).

Ia menjelaskan perlu pendekatan yang lebih kritis untuk memahami program MBG benar-benar dapat mencapai manfaat yang disebutkan dalam laporan tersebut.

Pertama, iujar Achmad, proyeksi dampak program terhadap PDB menimbulkan banyak tanda tanya. Alokasi belanja sebesar Rp71 triliun diharapkan hanya menghasilkan pertumbuhan PDB sebesar 0,06% atau sekitar Rp14,61 triliun.

“Jika kita membandingkan besarnya anggaran dengan dampak ekonomi yang dihasilkan, rasio ini tampak sangat rendah. Dalam teori ekonomi, efek pengganda (multiplier effect) dari pengeluaran pemerintah biasanya diharapkan dapat memicu pertumbuhan ekonomi yang lebih besar. Namun, dalam laporan tersebut, multiplier effect yang disajikan tampak terlalu kecil untuk membenarkan alokasi anggaran yang begitu besar,” kata Achmad Nur Hidayat.

Hal ini menurutnya menimbulkan pertanyaan mendasar terkait dana besar yang benar-benar diperlukan untuk program MBG. Ia menyebut jika alokasi belanja sebesar Rp71 triliun hanya mampu menghasilkan pertumbuhan PDB sebesar Rp14,61 triliun, efektivitas penggunaan anggaran patut dipertanyakan.

“Apakah ini cara terbaik untuk memaksimalkan penggunaan anggaran negara, atau seharusnya dana tersebut dapat dialokasikan ke sektor lain yang memiliki dampak ekonomi lebih besar?,” lanjutnya.

Kedua, sambung dia, salah satu tujuan utama dari program MBG yakni mendukung penggunaan bahan baku lokal guna mengurangi ketergantungan pada impor. Namun, laporan INDEF justru menunjukkan bahwa alokasi belanja MBG diproyeksikan akan mendorong pertumbuhan impor sebesar 0,24%, yang lebih tinggi dibandingkan pertumbuhan ekspor (0,13%) dan investasi domestik (0,06%). Angka-angka ini dinilai bertentangan dengan tujuan awal program, yang seharusnya fokus pada pengembangan sektor pertanian lokal dan pemberdayaan UMKM.

“Pertumbuhan impor yang lebih tinggi daripada ekspor dan investasi dalam negeri ini mencerminkan bahwa program MBG, meskipun diklaim bertujuan untuk memberdayakan sumber daya lokal, pada kenyataannya justru bisa memperburuk ketergantungan Indonesia pada impor bahan pangan,” kata Achmad Nur Hidayat.

“Hal ini berpotensi memperburuk defisit neraca perdagangan Indonesia dan merusak keseimbangan ekonomi domestik. Sebuah program yang dimaksudkan untuk mendukung perekonomian lokal seharusnya tidak mendorong peningkatan impor sebesar itu,” ujar dia.

Sumber: mediaindonesia.com