Jakarta – Pemerintah berencana menaikan tarif pajak bangun rumah atau Pajak Pertambahan Nilai Kegiatan Membangun Sendiri (PPN KMS) di tahun 2025. Rencana ini menimbulkan kritik bagi sebagian masyarakat.
Diketahui, kenaikan tarif PPN KMS dari 2,2% menjadi 2,4%. Hal itu sejalan dengan peningkatan tarif PPN umum dari 11% menjadi 12%.
Ekonom dan Pakar Kebijakan Publik UPN Veteran Jakarta Achmad Nur Hidayat mengatakan kebijakan tersebut tidak sejalan dengan prinsip keadilan. Pasalnya, kenaikan pajak ini akan berdampak pada masyarakat kelas menengah dan bawah.
Dalam perspektif kebijakan publik, ia mengatakan kebijakan ini harus dievaluasi secara mendalam untuk memastikan penerapannya benar-benar adil dan efektif. Achmad menyoroti efektivitas kebijakan untuk menyasar masyarakat menengah ke atas.
“Salah satu alasan pemerintah memberlakukan PPN KMS adalah untuk menciptakan keadilan antara masyarakat yang membangun rumah dengan bantuan kontraktor dan mereka yang membangun rumah sendiri. Namun, kebijakan ini justru berpotensi membebani kelompok masyarakat yang bukan menjadi target utamanya,” ujar Achmad dikutip dari keterangan tertulis, Minggu (22/9/2024).
Kriteria yang digunakan untuk mengenakan pajak, seperti luas bangunan minimal 200 meter persegi, mungkin dianggap sebagai indikator kemewahan. Namun, sebenarnya tidak semua rumah dengan luas tersebut dibangun oleh orang kaya.
“Di berbagai daerah, terutama di pedesaan atau pinggiran kota, membangun rumah dengan luas di atas 200 meter persegi bisa jadi merupakan kebutuhan dasar, bukan kemewahan. Banyak masyarakat menengah dengan keluarga besar atau kebutuhan spesifik yang memerlukan rumah dengan luas tertentu,” jelasnya.
Alih-alih berhemat dengan membangun rumah sendiri karena keterbatasan anggaran untuk menyewa kontraktor, pengenaan pajak ini justru akan memperberat beban finansial mereka.
Menurutnya, pemerintah perlu membuat kebijakan yang lebih fokus dan tepat sasaran kalau memang ingin menyasar masyarakat menengah atas.
“Jika tujuan pemerintah adalah untuk menargetkan masyarakat kaya, kebijakan ini perlu disesuaikan. Fokus seharusnya pada rumah-rumah mewah dengan nilai tertentu, bukan sekadar luas bangunan,” katanya.
Achmad mencontohkan kebijakan menetapkan pajak berdasarkan nilai rumah atau properti, sehingga lebih tepat sasaran dan tidak membebani masyarakat yang membangun rumah sederhana.
Selain itu, rumah dengan nilai di atas standar kemewahan tertentu yang dimiliki oleh orang kaya bisa dikenakan pajak yang lebih tinggi, sementara masyarakat dengan rumah di bawah nilai tersebut dapat dikecualikan.
Sumber: detik.com