Oleh: Achmad Nur Hidayat, Ekonom dan Pakar Kebijakan Publik UPN Veteran Jakarta

Dalam debat ketiga Pilpres 2024, Prabowo Subianto menarik perhatian dengan ekspresi emosionalnya yang mencuat beberapa kali. sikap Prabowo yang terkesan mengedepankan emosinya dibanding argumen saat disodorkan pertanyaan oleh Anies dan ganjar.

Banyak publik yang simpati karena merasa prabowo di sudutkan, tetapi simpati yang diberikan publik pada Prabowo perlu dipertanyakan, mengingat fakta lahan 340 ribu hektar yang dimilikinya kontras di saat Indonesia di hadapkan dengan ketimpangan lahan yang dahyat.

Dalam konteks ini, pandangan simpati publik seharusnya terarah pada permasalahan yang dihadapi oleh masyarakat itu sendiri.

Data akurat yang diungkapkan oleh Anies menyoroti ketidaksetaraan dan ketidakadilan yang masih merajalela di Indonesia.

Kementerian Pertahanan Dibobol Hacker, Pertanyaan atas Efektivitas Anggaran

Di tambah lagi Ironisnya, Kementerian Pertahanan pada tahun 2023 menjadi korban peretas, menghadirkan paradoks yang mencolok.

Dalam situasi ini, pertanyaan muncul: bagaimana anggaran sebesar Rp 700 triliun tidak mampu mempertahankan keamanan sistem pertahanan negara dari serangan siber?

Penggunaan dana yang besar untuk membeli alutsista bekas menyoroti ketidakseimbangan yang mencolok.

Sementara anggaran yang signifikan dialokasikan untuk perlengkapan militer, separuh lebih anggota tentara malah belum memiliki rumah dinas.

kondisi ini menggambarkan ketidakseimbangan dan ketidakrasionalan dalam pengelolaan sumber daya negara.

Pengalihan fokus dari pemenuhan kebutuhan esensial prajurit ke investasi militer yang kurang efektif menjadi sorotan utama.

Kritik Terhadap Respons Prabowo: Pengelakan Tanpa Jawaban Jelas

Respon Prabowo terhadap pertanyaan Anies tentang etika dalam debat ketiga Pilpres 2024 terlihat defensif dan mengelak tanpa memberikan jawaban yang konkret.

Meskipun setuju akan pentingnya nilai-nilai fundamental dalam kepemimpinan, Prabowo kemudian menuduh Anies menghasut tanpa memberikan klarifikasi atas pelanggaran etika yang disinggung.

Kurangnya penjelasan yang substansial menciptakan ketidakjelasan terkait kesiapan Prabowo untuk membahas isu etika yang krusial, memengaruhi persepsi publik terhadap transparansi kepemimpinan.

Prabowo Subianto yang menyindir Anies Baswedan terkait isu etika

Pernyataan Prabowo Subianto yang menyindir Anies Baswedan terkait isu etika dalam debat ketiga Pilpres 2024 menciptakan dinamika kritis di ranah politik.

Prabowo mengklaim bahwa Anies tidak pantas bicara mengenai etika terkait kinerja pertahanan. Namun, pertanyaan muncul, seharusnya kebebasan berpendapat tidak menjadi alasan untuk mengecualikan kritik, terutama dalam konteks perebutan jabatan tertinggi negara.

Prabowo berkilah bahwa isu-isu yang dibawa Anies keliru dan menyesatkan. Namun, bukankah transparansi dan kejujuran merupakan nilai esensial dalam kepemimpinan? Sikap menutup-nutupi data karena alasan keamanan nasional dapat diartikan sebagai taktik untuk menghindari pertanggungjawaban publik.

Lebih dari itu, melabeli Anies sebagai “menyesatkan” dan menyebutnya tidak berhak bicara soal etika mencerminkan sikap defensif yang dapat merugikan tatanan demokrasi. Seharusnya, kandidat presiden harus bersedia menghadapi kritik terbuka sebagai bagian dari ujian kepemimpinan.

Dalam konteks pemilihan presiden, publik seharusnya sadar bahwa kritik dan debat adalah sarana untuk menguji kemampuan calon pemimpin. Penolakan untuk membuka data dan fakta di ranah publik dapat menimbulkan pertanyaan tentang transparansi dan akuntabilitas di masa depan.

Sebagai cerminan bagaimana calon presiden menanggapi kritik dan berkomunikasi dengan publik, peristiwa ini mengajukan pertanyaan yang mendalam tentang kualitas kepemimpinan dan kesiapan untuk menjalankan amanah rakyat.

Ketidakmampuan Prabowo menyajikan data yang memadai juga menciptakan keraguan terkait transparansi dan akuntabilitas dalam kepemimpinan.

Sebagai pemimpin Kementerian Pertahanan, diharapkan Prabowo dapat memberikan klarifikasi yang lebih substansial, menjelaskan langkah-langkah yang telah diambil, dan menyajikan indikator kinerja yang konkret.

Dalam konteks debat, di mana argumen harus didukung oleh data kuat, kurangnya respons yang bersifat terbuka dan berbasis fakta dapat mempengaruhi persepsi publik terhadap integritas dan kemampuan kepemimpinan Prabowo.

Menjauhi Kritik, Menuju Kepemimpinan Yang Otoriter?

Pernyataan Prabowo yang menyatakan Anies tidak pantas bicara mengenai etika menciptakan gambaran potensial tentang kepemimpinan yang tidak toleran terhadap kritik.

Sikap anti-kritik ini menciptakan keraguan terhadap kesiapan Prabowo dalam menghadapi tantangan dan transparansi kepemimpinan.

Publik seharusnya membuka mata terhadap indikasi sikap otoriter yang mungkin muncul jika Prabowo terpilih sebagai presiden.

Debat bukan hanya ujian bagi calon, tetapi juga kesempatan bagi publik untuk melihat bagaimana seorang pemimpin potensial menanggapi kritik dan menjalankan amanah rakyat.

Sebagai calon presiden, kontrol emosi menjadi kunci penting dalam menyampaikan gagasan. Dalam suasana debat yang kritis, Prabowo perlu memastikan bahwa ekspresi emosinya tidak mengambil alih substansi dari isu-isu penting yang dibahas.

Berbeda boleh, tapi sikap emosional yang terlalu mendominasi perlu dievaluasi. Kehadiran Prabowo di panggung debat menegaskan pentingnya keselarasan antara retorika dan kontrol emosi dalam membentuk citra kepemimpinan yang kuat dan meyakinkan.